Sayangnya, saat langkah mereka belum jauh, sosok yang meringkuk mengerikan di tepi danau membuka matanya. Seperti ular, tetapi bertanduk. Chandra dan Wira mundur dan berlindung di balik punggung Andraga dan Alvian. Itu karena Andraga dan Alvian selalu berhasil menaklukkan ular berbisa yang mereka temui.
Andraga mundur, rasanya makhluk itu tidak hanya satu. Dia memberi kode dan berjalan mengendap agar tidak membangunkan dia yang bermata semerah api. Lelaki berusia dua puluh tahun itu memberi kode agar tidak bergerak.
"Jika ada ular di depan, sebaiknya diam saja. Jangan bergerak bahkan jingkrak-jingkrak. Ular sebenarnya memiliki penglihatan yang agak rabun. Dia akan mengira kaki manusia adalah pohon. Dia akan mengabaikan manusia itu jika diam tak bergerak. Tapi jika bergerak, entah itu kaget atau berusaha kabur maka ular tersebut akan mengira manusia itu sebagai ancaman." Andraga menjelaskan.
"Memangnya itu ular?" tanya Wira. Baru pertama kali melihat ular dengan tanduk di kepalanya dan bermata semerah darah.
"Bisa jadi. Sudah diam, jangan bergerak jangan banyak tanya."
Mereka mematung bergerak sedikit saja bisa membuat mereka jadi santapan lezat ular tersebut. Ukurannya sebesar batang pohon, bukan tidak mungkin tubuh ramping mereka bisa disantap dalam sekali telan.
Beberapa pasang mata berwarna merah itu akhirnya meredup dan kembali merunduk. Seakan suara suara gaduh sebelumnya bukanlah hal yang dapat mengusik ketenangan hidup mereka.
Dalam beberapa menit senyap. Makhkuk-makhluk itu kembali tidur dalam senyap.
Akhirnya Chandra bisa meraup sebanyak-banyaknya udara. Lega rasanya, Andraga memberi kode agar mereka berjalan dengan cara mengendap.
Baru saja melangkah, entah siapa di antara mereka yang menginjak ranting kering hingga membuat suara retakan yang kembali membangunkan salah satu ular raksasa tersebut.
Aksi membeku kembali mereka lakukan kala melihat seekor di antaranya yang berdiri meliuk-liuk bagai ular naga dalam sebuah legenda China.
Mereka kembali melakukan aksi diam. Diam ditempat seperti Malin Kundang yang dikutuk jadi batu karena durhaka kepada orang tua.
Sayangnya pekikan seorang perempuan tidak hanya membangunkan seekor yang hampir tidur, melainkan kepala kepala lainnya bangun dan seketika mengamuk.
Bukannya diam, Chandra yang panik malah melarikan diri.
Mau tidak mau yang lainnya ikut menyelamatkan diri dari amukan binatang yang ternyata jumlahnya satu ekor dan berkepala banyak.
Perempuan yang membangunkan makhluk itu terpaku dengan tubuh bergetar hebat. Jaraknya dengan makhluk itu tinggal beberapa meter lagi.
"Kalian ingat cewek itu gak?" tanya Alvian sambil berusaha menyelamatkan diri, mereka bersembunyi di balik batu besar dekat dengan danau.
"Itu cewek yang minta gabung dengan rombongan kita bukan sih? Kok bisa ada di sini?" Andraga mengangguk, benar cewek yang temannya cedera karena terkilir.
Rupanya selama ini gadis itu yang mengikuti mereka, gadis itu yang menangis saat hujan dan badai. Gadis itu juga yang menyalakan api unggun di lembah ular.
Tatapan mereka kembali beralih ke arah binatang tersebut. Binatang mirip Hidra dari mitologi Yunani.
Gadis itu memejamkan mata, siapa yang tega melihat gadis lemah itu hamlir jadi santapan makhluk mengerikan itu.
"Bro kalian berdua cari pintu masuk yang ada di peta ini. Lihat lambang ini, pasti asa di sekitar sini. Dek, lo selamatin cewek itu, biar gue pancing itu monster biar ngejar gue." Alvian menyerahkan peta kepada Wira.
Lalu berteriak memanggil binatang itu. Kesebelas kepala ular itu berbalik arah, lalu dengan kecepatan sebisanya mengejar Alvian menuju satu lubang.
Andraga buru buru menarik tangan gadis yang tengah ketakutan itu.
Lantas menyusul Wira dan Chandra yang
memanjat tebing yang licin.
"Lo bisa manjat?" tanya Andraga pada gadia berpipi merah yang masih sangat ketakutan.
Banyak pertanyaan yang ingin Andraga utarakan, mengapa gadis itu bisa sampai ada di sini.
Bagaimana bisa melewati lembah ular, babi hutan dan binatang buas lainnya.
Di peta ada sebuah lambang, mirip crop circle yang pernah dia temui di internet.
Tekan lambang itu. Itulah perintahnya.
Sementara itu Alvian masih berjibaku melawan hidra. Sebut saja begitu, mereka tidak tahu persis apa nama makhluk itu.
Andraga setelah membantu perempuan pembuat kekacauan itu memanjat dia turun dan membantu sang Kakak.
Dua orang melawan satu makhluk mengerikan dalam gua.
Mereka tidak menggunakam s*****a apa pun. Ada safety tools yang biasa digunakan menghandle orang. Andraga mengacungkam benda itu tepat di salah satu kepalanya, kepala lainnya mengamuk dan membuat tongkat itu terlempar.
"Bro periksa lubang itu," perintah Andraga.
Alvian mundur, dia memeriksa lubang yang cukup besar di dinding gua. Lubang itu buntu, tetapi ada lubang lain yang ukurannya lebih kecil dari lubang sebelumnya.
"Lo ngumpet di sana. Nanti tutup lubangnya pakai batu. Gue keluar lewat celah kecil itu," ucap Alvian setelah memeriksa kondisi sekitar.
Hidra semakin mengamuk, tiga orang di belakang sana dengan cemas memperhatikan apa yang sedang terjadi di bawah sana.
Alvian terus memancing makhluk itu masuk ke dalam lubang. Kondisi lubang yang sempit dan pengap membuat Hidra terkurung di dalamnya.
Andraga menutup lubang itu
menggunakan bebatuan dengan hati yang gerimis. Bagaimana jika sang kakak tidak pernah keluar dari sana?
Bukan hanya Andraga, Wira, dan Chandra Pun memekik panik melihat pengorbanan Alvian.
Meski baru kenal beberapa hari, mereka tidak mungkin pergi meninggalkan aang pemimpin yang selalu bijak dan disiplin.
Hidra terkurung, mereka aman. Lalu bagaimana dengan Alvian?
"Kak, lo ngapain pake ngorbanin diri kek begitu? Kak keluar lo. Jangan becanda."
Andraga berteriak histeris.
Wira yang hampir mencapai tujuan untuk membuka pintu seperti perintah peta. Namun melihat keadaan Andraga yang menangis histeris di sana membuat dia mengurungkan maksudnya.
Lantas dia memberi kode pada Chandra untuk turun, meinggalkan gadis yang terpaku. Melewatkan begitu saja seolah gadis itu adalah makhluk tak kasat mata.
"Dia pasti keluar, Bro. Dia itu tangguh dan cerdas," hibur Wira.
"Keluar darimana? dia satu ruangan dengan monster. Gara-gara misi lo, gara gara peta s****n lo gue kehilangan kakak, Anjiing, lo. Apa yang harua gue katakan sama Mami saat pulang nanti."
Air danau yang tenang jadi saksi, seorang adik menangis histeri karena sang Kakak mengorbankan diri agar Hidra itu tidak sampai memangsa sang adik dan teman-temannya.
Gadis dengan rambut diikat ekor kuda itu menghampiri. Dengan ragu dia menyentuh bahu Andraga.
Tangis itu berhenti, lalu menatap benci pada gadis yang sudah membangunkan Hidra dan membuatnya mengamuk.
"Lo ngapain ngikutin kami, hah? lo ngapain? Lo kan yang selama ini nguntit kami?"
"Maaf!"
"Apa maaf lo bisa bikin semua balik lagi? Tadi kita hampir selamat kalau lo gak menjerit lebay. Anjir lo, kalo saja bukan cewek udah gue hajar sampe ... Ah!"
Andraga berusaha menekan emosinya. Gadis itu menunduk, menangis sesungguhnya dia pun menyesal mengikuti empat pria ini. Dia tidak pernah menyangka pendakian ini berbeda dari biasanya.
Dia sudah tersiksa sendirian, dia tersiksa melawan ular ular dan kedinginan di tengah badai.
Kini dia tersiksa karena menjadi penyebab hilangnya Alvian ditelan lubang panjang yang ada di gua ini. Bersama makhluk menyeramkan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya.
Bahu gadis itu berguncang hebat, tidak ada satu orang pun yang peduli. Yang mereka khawatirkan saat ini adalah keselamatan Alvian.