Bab 3 - Membenahi Diri

1218 Kata
Satu bulan sudah Devan selalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia hanya libur satu hari di hari jumat. Rasanya aneh sekali, biasanya pulang pergi ngampus bareng Dev, sekarang aku harus sendirian naik kendaraan umum. Papa belum menemukan sopir pribadi yang cocok untuk aku. Awal-awal Dev kerja sih bisa antar aku pulang dulu, sudah satu minggu ini, Dev berangkat selalu gugup, jadi kasihan kalau harus antar aku sampai rumah, lalu dia berangkat kerja. Kenapa harus kerja sih? Kan sebel aku nggak punya teman ngobrol jadinya. Salah sendiri ikut ke sini, harusnya dia jadi temanku, enggak usah ke mana-mana, dan menemani aku. Kalau gini kan aku jadi ingetnya Arkan terus. Dia pasti sudah bahagia, mungkin Thalia sudah hamil, dan entahlah, aku tidak mau mengingatnya lagi. Tapi, tetap saja ingat. Aku mendengar bel pintu rumahku berbunyi. Aku memang tinggal di rumah sendiri, mama dan papa punya rumah di sini, karena dulu papa juga pernah  lama menetap di sini untuk mengurus bisnisnya. Jadi kalau kita sedang di sini, pasti memakai rumah ini untuk sementara kami tinggal. Aku membukakan pintu depan. Sedikit kaget dengan sosok yang datang di siang bolong sekarang ini. Devan. Dia datang dengan membawa dua box pizza dan beberapa minuman, juga cemilan lainnya. “Dev? Kamu bolos kerja?” tanyaku dengan menautkan kedua alisku. “Bolos-bolos ... enggak, lah! Aku dapat cuti satu hari. Aku traktir kamu makan nih, ini uang jerih payahku sendiri, Ca. Manis kayaknya di nikmati. Biasanya kan aku traktir kamu pakai uang papa. Sudah gitu, aku kerja di kantor papa ogah-ogahan. Bukan passion ku di kantoran, Ca. Enggak enjoy!” ucap Dev yang langsung nyelonong masuk ke dalam. “Cie ... habis gajian, ya?” ledekku dengan mencubit perutnya. “Hemb ... aku baru ngerasain benar-benar kerja dan nerima gaji, Ca. Senangnya ... apalagi bosku baik sekali, Ca. Cantik lagi! Masih muda sekali,” ucap Devan sambil membuka pizza yang ia bawa. “Naksir, ya?” ledekku lagi. “Cie jatuh cinta ...,” pungkasku dengan tertawa. “Naksir? Enggak, cantikan kamu, Ca!” Jawabnya dengan merangkul pundakku dan menatapku. Kebiasaan sekali dia seperti ini. “Lepas, berat, ih!” Aku menyingkirkan lengan Dev  yang ada di pundakku. “Tante sama om belum pulang, Ca?” tanya Devan. “Belum, nanti sore paling,” jawabku. Aku duduk di karpet bulu yang berada di ruang tengah sambil menikmati pizza yang Devan bawakan untukku. Dia benar-benar bekerja, dan tidak kupungkiri, sekarang dia tambah berubah, tidak arogan lagi. Devan lebih dewasa sekarang. Aku tiba-tiba memikirkan ucapan Tante Leli yang tiba-tiba menanyakan aku kapan siap dilamar oleh Kak Satria. Aku tidak menyangka, beliau sangat antusias dengan hubunganku dan Kak Satria. Padahal kami belum ada hubungan apa-apa, dan hanya sekadar kakak adek yang ketemu udah gede. Aku pun sama sekali belum ada rasa dengan Kak Satria. Aku dari tadi bingung memikirkan itu, apa aku cerita sama Devan? Tapi, kalau dia marah gimana? Apalagi dia sensitif sekali kalau aku cerita soal Kak Satria. “Makan itu dikunyah, jangan melamun? Kenapa? Ingat Arkan lagi? Sudah dong, Ca, jangan nyiksa batin kamu. Tuh orang sudah jadi suami wanita lain, Ca!” Devan marah lagi kalau aku menampakkan wajah yang galau macam ini. Padahal aku bukan mikirin Arkan. Ya, meski aku masih sangat mencintainya sih. “Ca? Kenapa, sih?” tanya Devan lagi. “Tante Leli, Dev.” Aku menarik napasku, dan menjeda ucapanku. “Kenap tante Leli?” tanya Devan. “Kemarin, Tante Leli menelfon aku, Dev. Tanya waktu kemarin Kak Satria ke sini, sudah melamarku belum, dan bagaimana? Terus tanya mau siap dilamar kapan? Dev, aneh tau! Kenapa sih gak ada yang ngerti sama aku? Sama hatiku ini yang masih belum bisa nerima laki-laki lagi. Aku masih trauma dengan kejadian sama Arkan, Dev!” Aku mengeluarkan semua unek-unekku sama Devan, dia memang yang paling mengerti aku di antara temanku yang lain. Iya sih, Kak Satria justru lebih dewasa dan mengerti aku? Tapi ibunya, ditambah mama dan papa malah ikut-ikutan. “Lalu kamu jawab apa?” “Aku belum jawab apa-apa, gak tahu lah, Dev ... pusing aku, aku ke sini untuk melupakan Arkan, dan untuk mencari ilmu lagi, malah seperti ini? Kenapa enggak pada ngertiin perasaanku sih?” protesku denga sedikit sewot. “Jangan sewot gitu. Habiskan dulu makananmu, nanti baru kita bicarakan,” ucap Devan. Entah kenapa dia semakin menjadi dewasa, tidak dikit-dikit pakai emosi, enggak seperti dulu. Dulu selalu pakai otot kalau bicara, arogan dan bar-bar sekali dia. Tapi, sekarang dia lebih dewasa, dan lebih bertanggung jawab dengan pekerjaan dan kuliahnya. “Bosmu siapa namanya?” tanyaku iseng-iseng. “Aiko. Dia lebih tua dari kita tiga tahun, tapi dia punya bisnis kuliner di beberapa negara. Beberapa restorannya ternyata ada di Indonesia juga. Keren ya? masih muda tapi sudah punya bisnis seperti itu,” jelas Devan dengan memuji bosnya yang katanya cantik. “Dia sama karyawannya juga care. Banyak yang karyawan part time seperti aku,” imbuhnya. “Dibetah-betah kerjanya. Cari uang susah, kan? Jangan apa-apa serba papa dan mama kamu,” tuturku. “Iya, iya .... Memang sih, dengan kerja seperti ini, kerasa sekali beratnya dan susahnya cari uang. Kadang sepintas aku berpikir, aku terlalu mengandalkan orang tuaku, aku jadi malu dengan kamu yang sudah bisa memimpin perusahaan sendiri,” ucapnya. “Makanya berubah! Jangan gitu terus, kasihan papa dan mamamu, kan?” ucapku. “Iya nanti aku berubah jadi ultramen!” jawabnya dengan tertawa. “Dasar!” tukasku. Terkadang, aku berpikir, kurang apa Devan ini sampai aku menolaknya berulang kali untuk jadi kekasihnya. Dia tampan, kaya raya, sabar kalau ngadepin aku yang ngambek, meski kadang arogan sekali, dan bar-bar. Dari SMP dia sudah ngomong sayanglah, cinta-cintaan lah, dan banyak lagi rayuan gombalnya yang bikin mual. Sekarang pun dia masih menyimpan perasaan yang sama. Tapi, aku masih saja menolak, karena aku nyaman dengan jadi sahabatnya saja. “Ca, lebih baik kamu coba terima Kak Satria deh!” ucap Devan yang entah ada angin apa dia bicara seperti itu. “Maksud kamu?” tanyaku. “Ya, terima saja Kak Satria, toh dia sudah mapan, dia dewasa, sepertinya dia cocok untuk membimbing kamu. Sudah lupakan orang yang plin-plan, Ca! Kamu harus bahagia, tunjukkan kalau kamu itu bisa move-on dan bahagia tanpa Arkan!” Devan malah semangat sekali menyuruh aku seriusan sama Kak Satria. “Aku nunggu lulus S2, Dev. Enggak mau mikirin itu. Lagian aku sudah bahagia dengan hidupku sekarang ini,” jawabku. “Ya, itu sih terserah kamu, Ca. Pokoknya aku minta, lupakan Arkan, kamu harus bahagia, Ca! Aku nyuruh kamu melupakan Arkan, bukan karena aku ingin kamu sama aku. Itu tidak mungkin sekali. Perkara jodoh aku tidak peduli nantinya bagaimana. Aku juga masih banyak kurangnya. Aku mau membenahi diri dulu, biar enggak ancur kek ginilah,” ucap Devan. “Sama, aku pun iya. Aku mau membenahi hatiku yang retak, dan nyaris hancur. Mungkin sudah hancur, hancur banget malah,” ucapku. “Ya sudah, kita sama-sama membenahi diri, Ca. Kamu membenahi hatimu yang berantakan, aku membenahi hidupku yang porak-poranda,” ucapnya sambil terkekeh. Adanya Devan di sini, membuat aku menjadi lupa tentang Arkan. Dia selalu menghibur aku, meski aku selalu jahat dengannya. Selalu marah-marah dengannya. Dia sabar sekali denganku. Aku kira dengan adanya dia di sini, ikut melanjutkan kuliah di sini, malah akan memperkeruh suasana, tapi ternyata aku salah, dia malah menjadi teman dan hiburanku disaat aku terlalu memikirkan Arkan, dan larut dalam kesedihan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN