Part 12. Kaget

821 Kata
Fene... Brian mengejar Fene saat tiba dirumah, "mami, why did you leave me for so long? uncle asked me to call him daddy!" senyum Brian saat berada dipelukan Fene. "Mami is going to Grandpa's room, you play first, okay? cup cup cup. Fene memberi Brian pada babysitter dihadapannya. Hanz sudah menunggu Fene diruangan desaign clasik itu. Tok tok tok... "Ya, masuk." "Pi, papi nyari aku?" Fene menghampiri Hanz, memeluk erat tubuh pria tampan itu. Hanya bisa menangis saat ini, tanpa berucap. "Apakah kamu sudah ada jawaban dari permintaan Adrian?" tanya Hanz lembut. "Not now pi." Fene duduk disofa berbarengan dengan Hanz. "Aku ingin kamu bahagia, tidak lebih, apapun keputusanmu, setidaknya Adrian sudah berjuang agar kalian bisa bersama." Hanz menelan salivanya. Menatap dalam mata putrinya. "Aku mencintai Adrian, tapi aku tidak sanggup berbagi." isak tangis Fene. "Wooooow." Hanz memeluk kembali tubuh yang bergetar meratapi cintanya. "Why, Jasmine wanita baik Fen! dia sanggup berbagi dengan mu, apakah putriku seorang wanita yang egois?" Hanz kaget, mendengar ucapan Fene. Fene menyeka wajahnya, "apakah aku terlihat sedang menggoda Adrian? hingga dia rela menjadikan aku yang kedua! kenapa baru sekarang dia memperjuangkan aku? why?" Fene masuk kembali keperasaannya dalam pelukan Hanz. "Hmmm." Hanz mengusap lembut punggung putrinya. "Jika kalian memang saling mencinta, kenapa kamu menerima pinangan Bram?" Ada perasaan kesal dihati Hanz, menganggap putrinya terlalu bodoh. "Aku tidak mengerti perasaanku pi, mereka memperlakukan aku sangat baik, sehingga aku bingung." jawab Fene menunduk. "Aku dapat memahami pribadimu, kamu sama persis dengan ku, mau mengorbankan kebahagiaan mu demi orang lain, kamu mendapatkan Bram, pria yang menyayangi mu hingga menutup mata." Mata Hanz basah seketika mengenang menantunya. "Terakhir dia memelukku saat dirumah sakit, dia begitu manja, cemburu, ternyata aku kehilangannya." kenang Fene dalam isakan tangisnya. "Ups... sweety, Bram sudah bahagia. Tatalah masa depanmu, Adrian ada benarnya, kamu berhak diperjuangkan dan Brian harus tumbuh ditangan ayah yang tepat, semua ada pada Adrian. Adrian pria yang baik," ucap Hanz menenangkan putri pertama, yang tidak pernah merasakan kasih sayang darinya. "Apakah Adrian sudah bicara pada papi?" tanya Fene sedikit penasaran. "Ya, dia memintamu pada ku, jika kamu siap, katakan padaku." Hanz mengecup lembut kepala putrinya. Tok tok tok... "Pi." Holi mendongakkan kepalanya. "Hmmm, kalian melupakan aku," kesalnya terkekeh menghampiri Fene dan Hanz. Fene menyambut Holi agar memeluknya. "Petter kemana?" Hanz mengusap lembut kepala Holi. "Pergi, Kevin dan Adrian, ada urusan pria kata mereka." wajah Holi menekuk kesal. Hanz tertawa mendengar celoteham putri keduanya. "Kamu itu, tidak mau ditinggal, persis Irene." goda Hanz mencubit puncak hidung Holi. "Hmmm... kalau mereka pulang bawa cewek lagi aku nggak rela, aku bukan Jasmine." senyumnya menatap Fene. "Jangan gitu deh, Jasmine itu wanita baik, sangat baik, wanita pejuang, aku sudah mendengar alasannya." rundung Fene. "Lo ikhlas, membagi Adrian?" tanya Holi penasaran. "Ntahlah, yang pasti gue sudah mendengar mereka, dan gue menghargai keputusan mereka." jawab Fene enteng. "Emang, kalau punya istri dua itu ribet nggak yah?" tanya Holi ingin tau. "Mana gue tau, belum pernah ngalamin, lo browsing, jangan ke gue." kekeh Fene menangkup wajah adiknya. "Gue seneng sama Adrian, dia memang pria gantle, nggak setengah-stengah, salut gue." Holi mengenang sosok Adrian, tersenyum sendiri. "Pasti menghayal jorok yah." ledek Fene menunjukkan jarinya kewajah Holi. Holi tersipu malu, menatap Hanz dan Fene. "Jangan bilang lo pernah nakal sama dia!" Fene membesarkan bola matanya. "Aaaagh... nggak, dulu Adrian lagi galau, nggak serius kok." kekeh Holi memeluk Hanz dan Fene. Mereka tertawa hangat saling menggoda. Hanz merasakan kehangatan kedua putrinya, 'suatu hari kita akan merindukan suasana ini.' batin Hanz. Hanz mendengar celotehan kedua putrinya, memahami apa yang mereka butuhkan saat ini. Adrian memang pria baik untuk Fene, lebih baik semenjak dia menjadi seorang mualaf. "Kapan lo balik?" tanya Fene pada Holi. "Lusa, karena kami akan ke Berlin, Petter menemui keluarganya." "Aaaaaaah... gue ikut, gue rindu daddy, apakah kita akan terbang bersama pi?" lirik Fene kepada Hanz, tidak bisa menolak lagi. "Hmmm, why not." Hanz memeluk kembali kedua putrinya. "Yeeez, setidaknya aku berziarah, membawa Brian." senyum Fene. "Ya, kita akan menghabiskan waktu disana," hibur Hanz. "Mami Marisa ikut juga pi?" tanya Fene dan Holi bersamaan. "Ooogh my God, aku melupakan adik kesayanganku." kekehnya. Menggapai hpnya, menghubungi Marisa. Panggilan tersambung, "hmmm, aku fikir kau melupakan ku Hanz." rungut Marisa. "Merry christmas adikku." kekeh Hanz. "You to." jawab Marisa garing. "Halo mami..." teriakan Fene dan Holi memecahkan kekesalan Marisa. "Haiii... aku merindukan kalian, selamat natal putri cantik Parker." suara Marisa seketika berubah bahagia. "Brian mana?" tanya Marisa, "main sama Jasmine dan Nichole mi." jelas Holi. "Ooogh, aku sangat merindukan Brian." kenang Marisa. "Kami akan segera ke Berlin, kita ngumpul disana yah mi." jelas Holi. "Oke, kabari saja." tawa Marisa terdengar sangat bahagia. "Oke mami, i love you." "I love you too." Mereka menutup telfon memberi pada Hanz. "Kenapa kalian menutupnya, aku belum bicara." sungut Hanz. "Sory papiiii..." Fene dan Holi memeluk Hanz. Irene dan Brian masuk keruangan Hanz. "Apa aku telah menjadi bahan gosip kalian?" kekeh Irene. Brian berlari kearah Hanz, berkali-kali mencium pipi Hanz.***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN