Bandung, 2018
Namanya Garal, panjangnya Garal Adinata Pradipta. Tetapi aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan "Gar", karena dia yang memintanya. Katanya agar lebih singkat dan mudah diingat.
Namanya memiliki arti, Ramalan yang paling cemerlang. Awalnya aku bingung mengapa orang tuanya memberikan nama yang sulit diingat seperti itu, tetapi setelah mengenalnya beberapa hari, aku paham alasan orang tuanya memberikan nama itu.
Sesuai dengan artinya, Gar selalu tahu apa yang sedang aku pikirkan. Bukan karena dia peramal, tetapi karena dia mempunyai kelebihan yang tak dimiliki oleh kebanyakan manusia. Gar itu unik dan langka.
Baiklah, aku akan mengajak kalian mengenal Gar lebih jauh. Tapi sebelum itu, aku mau mengingatkan agar kalian tidak menyukainya apalagi sampai jatuh cinta dengannya. Bukanya apa-apa, aku hanya tidak mau membuat kalian patah hati. Sebab, Gar pernah bilang bahwa ia hanya mencintaiku dan akan tetap mencintaiku.
《》《》《》
Bandung, 2015.
Hal yang paling dihindari oleh para pelajar adalah tugas yang menumpuk. Tugas yang satu belum selesai, malah ditambah dengan tugas yang baru. Begitulah yang kurasakan saat ini, disaat semua siswa-siswi berhamburan keluar sekolah, aku malah masih setia dengan buku Fisika yang tebalnya bisa membuat mata berputar-putar di kelopaknya.
Awalnya aku mau mengerjakan di rumah saja, tetapi mengingat begitu banyak pekerjaan rumah yang belum kuselesaikan, membuatku mengurungkan niat itu.
Seorang penjaga sekolah yang tak kuketahui namanya datang menghampiriku, "Nak, masih mau di sini? Saya mau kunci kelasnya," ucap bapak itu.
"Eh..., iya, Pak. Udah siap, kok." Aku langsung memasukkan buku-buku ke dalam tas, dan setelahnya beranjak. Meninggalkan sang bapak yang sudah bersiap untuk mengunci pintu.
Jam sudah menujukan empat sore, biasanya jam segini bus lewat dari depan sekolah. Dan benar saja sebuah bus yang biasa kutumpangi kini sedang berhenti tepat di halte depan sekolah. Aku langsung mempercepat langkahku agar tidak tertinggal.
Langkahku terhenti ketika seorang lelaki juga berjalan menuju bus yang sama. Jarak kami tidak terlalu jauh, hanya saja dia berada beberapa langkah di depanku.
Ia menatapku ketika sudah berada tepat di depan pintu bus. Lalu tersenyum. Senyum yang kuartikan sebagai isyarat agar aku masuk terlebih dahulu. Dia terlihat lelaki yang baik. Walaupun penampilannya tidak mendukung, tetapi raut wajahnya memperlihatkan sebuah ketulusan dari dirinya.
Aku masuk. Didalam bus hanya ada dua bangku yang kosong. Dan aku memilih duduk di dekat jendela, sementara lelaki tadi duduk di sebelahku.
Sama halnya seperti kebanyakan remaja, untuk menghilangkan kejenuhan, kuambil heandset dari saku rok, lalu mulai mendengar musik. Mataku terus melihat jalanan yang saat itu lumayan ramai, karena cuaca juga tidak terlalu panas.
Ketika sedang asyik melihat jalanan, tiba-tiba bus berhenti. Dari jendela aku dapat melihat sepasang suami istri mencoba naik bus. Istrinya terlihat sedang hamil besar dan sang suami menuntun sang istri untuk masuk.
Setelahnya aku tidak terlalu peduli lagi. Kembali sibuk dengan kegiatanku tadi. Namun, aku merasa seseorang di sebelahku bangkit dari tempatnya. Lantas kulirik dia yang kini sudah berjalan menuju sepasang orang tua tadi. Ia tampak berbincang dengan sang bapak, dan setelahnya menuntun sang ibu untuk duduk di sebelahku.
Perlakuannya terbilang biasa, namun berhasil membuatku merasa sedikit tersentil atau lebih tepatnya tersindir. Entah dapat pikiran dari mana, yang jelas saat itu mungkin telah direncanakan oleh semesta. Aku yang biasanya tidak peduli dengan hal seperti itu, tiba-tiba saja bergerak bangkit dari tempat dudukku dan meminta sang bapak untuk duduk bersama dengan istrinya.
Kini aku dan dia berdiri di samping bangku barisan kedua.
"Terkadang kita harus mau mengalah ketika melihat seseorang lebih membutuhkan dari kita."
Aku melirik kearahnya, "Kakak bicara denganku?"
"Tidak. Berbicara pada bus." ia melirikku sekilas. "Bus, hati-hati, ya. Saat ini kau sedang membawa puan kecil yang sangat polos."
Entahlah, aku tidak mengerti dengan lelaki asing yang berada di sampingku saat ini. Baiklah, aku tidak akan memperdulikannya. Toh, setelah ini kami juga tidak mungkin bertemu lagi. Ya, kecuali semesta yang memintanya.
"Kelihatanya kamu gadis yang tidak perduli dengan orang di sekitarmu." kulirik lagi dia yang kini tengah memandang keluar. "Saya sedang berbicara denganmu."
"Ah? Sorry..., Emm, tebakan kakak tidak terlalu salah."
"Itu bukan tebakan."
"Lalu?"
"Kamu sendiri yang beri tahu."
"Hah? Kapan?"
Dia terkekeh pelan. "Dari tingkah lakumu."
Aku hanya terkekeh pelan. Ya, sedikit merasa aneh dengan lelaki ini.
"Kamu kelas sepuluh, ya?"
"Tebakan kakak benar lagi."
"Itu juga bukan tebakan, puan kecil."
"Lalu? Jangan bilang karena badanku yang kecil?"
Dia tampak tersenyum. Senyum penuh ketulusan. "Bet kamu bintangnya satu."
Aku menepuk jidatku. Ah, bagaimana mungkin bisa melupakan ini. Sungguh ini memalukan. "Kakak, kerja atau kuliah?" kini aku yang bertanya padanya.
"Muka saya setua itu, ya? Sampai kamu pikir saya kuliah apalagi kerja."
"Emm..., enggak kok, kak. Maaf kalau salah."
Lagi-lagi bibirnya menyunggingkan sebuah senyum. Entahlah, senyumnya terlihat begitu tulus.
"Pasti kamu jarang keluar kelas, ya?"
"Kakak yakin bukan peramal?" aku memicingkan mataku. Sementara dia lagi-lagi tersenyum.
"Cuma murid yang hobinya di dalam kelas yang gak kenal saya."
Jujur saja aku masih tidak mengerti dengan ucapannya. Apa dia memang sengaja membuatku bingung?
"Sudahlah, Rhea. Iyakan saja semua ucapannya. Sebab dia hanya orang asing dan besok dia sudah tak terlihat lagi." ujarku dalam hati.
"Jika kamu menganggap kita tidak bertemu lagi, maka kamu salah."
Tuhan, apa dia mengetahui isi hatiku? "Maksudnya?"
"Kita akan terus bertemu. Karena semesta telah merencanakannya."
Dia makin tidak jelas. Tuhan, kenapa bus ini berjalan terlalu lambat?
Tak lama, bus berhenti tepat di halte yang berada depan g**g rumahku. Aku langsung meminta sang supir untuk berhenti, lantas segera turun dari sana.
Tapi anehnya, lelaki itu juga turun bersamaku. Ia bahkan berjalan tepat di sampingku.
"Rumah kakak daerah sini juga?"
"Tidak."
"Lalu?"
"Saya cuma mau jalan-jalan."
"Oh, oke." aku kembali melanjutkan jalanku, pun dengan dia. Sekilas kulirik penampilannya yang tidak terlalu rapi. Hoodie hitam, celana jeans hitam yang bagian lututnya sobek, dan sepatu converse berwarna hitam yang terlihat sudah lesuh. Sepertinya ia suka warna hitam, sungguh orang aneh.
"Rumah kamu masih jauh?"
Sekilas kulirik dia. "Iya."
"Oke."
"Kakak tahu daerah sini?"
"Tidak."
"Lalu kenapa memilih kesini?"
"Nantinya daerah ini akan sering saya kunjungi."
"Kenapa begitu?"
"Karena ada kamu."
Aku terdiam. Mulutku serasa bisu. Sungguh, dia lelaki aneh nan asing yang tiba-tiba hadir di hidupku, tapi anehnya bertingkah seolah mengenalku dekat.
Semesta, rencana apa lagi yang telah engkau siapkan? Aku akan terima apa pun itu, asal tak berujung dengan air mata.
"Melamun?"
Aku tersentak, lantas mendongak. Melihat wajahnya yang lebih tinggi dariku. "Tidak."
"Masih jauh?"
"Apanya?"
"Rumahmu."
"Oh, Tidak terlalu jauh, sebentar lagi udah kelihatan."
"Besok-besok kamu gak akan berjalan lagi."
"Kenapa begitu?"
"Karena saya yang akan mengantar dan menjemputmu."
Tuhan, apa yang dikatakannya? Apakah dia lupa bahwa dia hanyalah orang baru dalam hidupku. Bahkan kami baru bertemu beberapa jam yang lalu.
"Orang baru bukan berati tidak bisa menjadi dekat, kan?" ucapnya.
Dia mengetahui isi hatiku lagi.
"Mungkin."
"Rumahku sudah kelihatan."
"Yang mana?"
Aku menunjuk rumah yang berwarna biru. Bukan rumahku, tapi rumah orang tuaku.
"Kakak pulang naik apa?"
"Tidak usah dipikirkan."
"Oke. Tahu jalannya?"
"Tidak usah dipikirkan." dia mengulang kalimatnya lagi. Aku terdiam. Baiklah dia lelaki aneh, tetapi lebih aneh denganku yang seolah menerima kehadirannya.
"Aku duluan, ya."
"Iya, Hati-hati."
Aku mengangguk dan berlalu meninggalkannya. Dari belakang, aku masih merasa dia ada di sana. Seperti memandangiku. Tapi aku sama sekali tidak berani memutar tubuh, walau hanya untuk memastikan bahwa dia sudah tidak lagi di sana.
Ketika sudah sampai di depan rumah, aku langsung membuka sepatu. Dengan sedikit keberanian, kuputar tubuhku untuk melihat ke arah di mana lelaki tadi kutinggalkan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, aku dapat melihat sebuah motor baru saja melaju dan keluar dari g**g rumahku. Tidak, bukan motornya yang menarik perhatianku. Tetapi, orang yang mengendarai motor itu, yang tidak lain adalah dia. Lelaki asing yang beberapa menit lalu berjalan bersamaku.
Tuhan, siapa dia? Kenapa dia begitu aneh dan misterius?
《》《》《》