6
Camelia POV
Aku terkejut saat mobil Daniel berhenti di depan sebuah rumah mewah bergaya klasik yang lebih mirip istana dengan pilar-pilar menjulang tinggi. Tamannya sangat luas dengan wangi semerbak bunga-bunga.
“Pak?” tanyaku bingung sambil menoleh ke arah Daniel yang sedang bersiap keluar dari mobil.
“Saya harus bilang berapa kali? Jangan panggil Bapak lagi, nanti kamu keceplosan di depan keluargaku,” kata Daniel dengan nada jengkel.
Aku terdiam ditegur olehnya.
“Dan lagian, jaga sikapmu jangan terlihat kaku. Aku nggak mau nanti banyak omongan dikeluarga besarku,” kata Daniel lagi. Ia membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
Aku cemberut tapi tetap ikut keluar dari mobil. Dadaku sesak sekali saat ini. Aku sungguh tertekan hadir di acara keluarga besar Daniel, yang kalau dilihat dari jenis mobil-mobil mewah yang terpakir di depan sana, mereka adalah keluarga kaya-raya dan glamor.
Daniel mengitari mobil dan mendekatiku. Ia langsung menyiapkan lengannya untuk kurangkul. Dengan perasaan campur aduk, aku mengaitkan tanganku di lengan Daniel, dan melangkah dengan hati-hati menuju rumah mewah di depanku.
Aku mengenakan gaun panjang semata kaki, dengan belahan tinggi hingga di atas setengah paha. Model gaun berwarna putih ini sangat seksi, bahunya terbuka dengan ukiran lekukan di depan d**a yang menonjolkan belahan dadaku yang tersembul sempurna.
Dengan d**a berdebar, aku melirik Daniel yang berjalan di sisiku. Ia mengenakan setelan jas lengkap. Terlihat sangat tampan dan gagah.
Aku menarik napas panjang dan mengeluh dalam hati. Ternyata tanpa kusadari, di alam bawah sadarku, aku terus memuji keindahan fisik Daniel.
“Nah… ini tamu penting kita sudah datang,” kata seorang wanita separuh baya yang sangat anggun begitu melihat kami masuk ke ruangan gedung yang sangat mewah.
Aku merasa berada di dalam pesta para bangsawan. Semua yang hadir terlihat begitu bergaya dan glamor.
Semua mata menoleh ke arah kami saat mendengar kalimat si wanita.
“Tante, kenalin, Ini Camelia, calon istriku,” kata Daniel pada si wanita dengan senyum lebar. “Mel, ini Tante Jena, adik papaku,” kata Daniel.
Aku tersenyum manis dan menyambut cipika-cipiki dari tantenya Daniel.
“Mel, kamu hebat sekali bisa menaklukkan singa jantan ini!” canda Tante Jena sambil tersenyum.
Aku tersenyum kaku menanggapi kalimatnya. Daniel di sampingku ikut tersenyum tipis.
Setelah berkenalan dengan Tante Jena, Daniel mengajakku bertemu nenek, orangtua dan semua keluarga besarnya. Jujur aku tidak tahu lagi dengan siapa aku dikenalkan atau dengan siapa aku bersalaman dan cipika-cipiki.
Ruangan mewah dengan lampu kristal yang sangat indah menghiasi langit-langit ruangan ini terlihat luar biasa dengan para tamu yang berpenampilan sangat mirip artis yang sedang berpesta.
Tua muda semua berkumpul di sini. Aku tidak tahu acara makan malam seperti apa ini? Banyak keluarga Daniel yang hadir, bukan hanya tante-tante atau om-omnya Daniel, sepupu-sepupunya juga turut serta. Semua terlihat ceria.
Sepanjang malam telingaku terus memanas mendengar pujian dari hampir seluruh anggota keluarga besar Daniel. Mereka bahkan menganggapku hebat bisa menaklukkan playboy sejati seperti Daniel. Pria yang katanya selama ini sangat takut berkomitmen tiba-tiba dikabarkan akan menikah denganku membuat semua keluarga besar mereka mendapat kejutan telak dan akhirnya mengadakan acara makan malam ini untuk berkenalan denganku.
Hampir dua jam aku terus berusaha mengukir senyum. Pipiku kebas, tapi Daniel tak kunjung mengajakku pulang. Dia malah mengambil kesempatan dengan bersikap mesra padaku layaknya sepasang kekasih. Dia terus berusaha merangkul pinggangku atau meremas jemariku, membuatku terus mendelik ke arahnya karena tidak suka ia mengambil kesempatan atas diriku.
Tapi Daniel tidak peduli. Walau aku mendelikkan mata memprotesnya hingga mataku hampir keluar, dia hanya acuh tak acuh dan justru semakin menjadi-jadi. Sering dia bukan hanya merangkul pinggangku, tapi juga meremas pinggulku, membuat tubuhku yang hanya ber-balut gaun ketat berbahan lembut ini harus berdesir mendapat sentuhan darinya. Bahkan tak urung wajahku sering memanas.
Hampir pukul sepuluh malam saat Daniel akhirnya mengajakku berpamitan pulang. Aku menarik napas lega saat selesai bercipika-cipiki dengan para tamu wanita dan berpamitan dengan sopan pada seluruh keluarga besarnya.
Aku memejamkan mata saat mobil Daniel mulai menyusuri jalan raya menuju rumahku.
“Cape?” tanya Daniel.
Aku hanya diam tanpa berusaha menjawabnya. Aku masih kesal karena dia berani meremas pinggulku.
“Mel...”
Aku tetap tidak menyahut, malah memejam mata rapat-rapat.
Tiba-tiba pipiku terasa hangat. Aku membuka mata. Dan wajah Daniel sudah di depan mataku.
Aku membeliak. Daniel menunduk dan mencium bibirku dengan lembut. Membuat seluruh tubuhku berdesir. Aku tidak sempat menolak ciumannya. Daniel terus memagut bibirku tanpa perlawanan sedikit pun dari-ku.
Aku mendorong d**a Daniel saat sudah hampir kehabisan napas dicium olehnya. Ternyata saat aku memejamkan mata tadi, Daniel menghentikan mobilnya di pinggir jalan raya yang agak sepi. Daniel memang pria dengan otak m***m. Di mobil pun dia masih berusaha mengambil kesempatan atas diriku.
Wajahku memerah, “kamu lanc…”
Belum selesai kalimatku untuk mengatakannya lancang, Daniel menukas:
“Aku hanya ingin membangunkan bibirmu yang sedang tertidur…”
Wajahku memerah. Jadi karena aku tidak menjawab pertanyaannya, dia menciumku? Atau sebenarnya itu hanya alasannya saja.
Daniel kembali menundukkan wajahnya. Sebelum bibirnya sempat menyentuh bibirku, aku mendorong dadanya.
“Hentikan!” teriakku kesal. Napasku turun naik menahan amarah. Seenaknya saja dia terus mengambil kesempatan atas diriku.
“Kenapa? Bukankah sepasang kekasih berciuman adalah hal yang wajar?” godanya sambil tangannya mulai mengelus bahuku yang terbuka.
Wajahku memanas. Aku berusaha menepis tangannya. Tapi usahaku bukannya berhasil, Daniel justru meraih tanganku dan membawa ke pipinya yang kasar bekas cukuran cambang.
“Lepasin,” teriakku sambil menarik tanganku. Tanganku terlepas dari pipi Daniel. Tapi sekali lagi tindakanku bagai senjata makan tuan. Aku mengikuti pandangan mata Daniel. Astaga. Dia sedang menatap dadaku yang terekspos sempurna yang sedang bergerak turun naik dengan cepat. Sebelum aku sempat berbuat apa pun, Daniel menunduk dan menyentuh belahan dadaku yang tersembul dari balik gaunku yang memiliki model bahu terbuka. Lidahnya dengan hangat menyapu kulit dadaku membuat tubuhku menggelenyar.
“d**a yang sangat indah!” bisik Daniel sambil makin gencar memainkan bibirnya di dadaku.
Aku tersadar oleh kalimatnya. Dengan keras aku mendorong kepalanya. Wajahku terasa panas.
“Antarkan aku pulang, sekarang!” teriakku marah. Napasku memburu.
Daniel tersenyum nakal padaku. “Baiklah, Sayangku,” katanya menurut. “Ngomong-ngomong. Besok aku ingin mencicipinya lagi,” goda Daniel dengan tawa kecil.
Aku segera mengambil tasku dan membanting ke wajah Daniel. Kekesalanku padanya menjadi belipat-lipat ganda. Tapi Daniel hanya tergelak.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink