GM-27-Menjadi seorang ibu yang sesungguhnya

1262 Kata
Sudah hampir sepekan berlalu, tapi Gia tidak kunjung mendapat kabar mengenai penulis baru bernama Sian yang Axen ceritakan sebelumnya. Sudah berapa kali ia harus katakan pada pria bodoh itu, kalau pria itu harus bergerak secepatnya. Kepala Gia rasanya akan pecah, karena mendapat tekanan dari petinggi negeri sia**n secara terus - menerus. Wanita itu mendesah seraya menatap layar benda berbentuk kotak yang masih menyala. Wanita itu menguap beberapa kali, membuatnya melirik jam beker digital yang ada di nakas. Angka yang tertera di sana sudah hampir pukul satu dini hari. Saat - saat melelahkan seperti ini membuatnya ingin memeluk seseorang yang ia cintai. Maka dari itu, Gia memutuskan untuk turun dari kasur. Melangkah ke luar kamar. Menuju kamar yang ada di sebelahnya. Kamar bernuansa putih abu - abu itu nampak tetap bersih dan terawat. Meski penghuninya hanya berbaring di atas tempat tidur tanpa ada pergerakan apapun. Ditatapnya dengan sendu sosok yang kini berbaring di sana. Ditutupnya pintu dengan pelan. Melangkah masuk dan ikut membaringkan tubuhnya di samping pria itu. Mengembuskan napas lega seraya melingkarkan lengannya di atas pinggang pria yang kini nampak terlelap dengan begitu tenang. Tak apa, yang penting kamu ada di sisiku. Gak akan ke mana - mana dan selalu ada saat aku butuh pelukan. Ucapnya pelan di samping telinga kekasihnya itu. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas karena sosok yang selalu didambakannya bisa ia peluk erat seperti saat ini. "Selamat malam My Nik," ucapnya dengan mesra seraya mengecup bibir pucat itu dengan lama. Wanita itu terlelap dengan lengan yang memeluk erat pinggang pria yang ada di sampingnya. *** Jika sebelumnya, hari weekend merupakan hari yang sangat terasa membosankan. Karena Tri hanya bersemedi di dalam kamar, sebab pasca acara kaburnya dari rumah. Ia dilarang meninggalkan rumah tanpa izin kedua kakaknya. Lalu, ditambah dengan ultimatum yang dikeluarkan papa dan mamanya. "Jangan ke luar rumah, kecuali karena keperluan sekolah. Selain itu, tidak boleh!" Kalau saja Tri bukan tipikal gadis yang hiperaktif dan juga ambisius. Maka dapat dipastikan, kalau ia benar - benar akan berakhir mati kebosanan di dalam kamarnya sepanjang weekend. Gadis itu adalah Triana. Gadis cerdas yang tidak mudah menyerah akan sesuatu yang ia inginkan. Ia sudah menyusun rencana agar dapat ke luar dari rumah yang mengekang kebebasannya. Belum lagi, mamanya yang mencoba mengakrabkan diri akhir - akhir ini. Membuatnya jengah dan ingin sekali menagatakan kalau ia sudah besar. Gadis itu sudah beranjak dewasa. Bukan lagi balita yang mau dimanja dan diajak membaca buku dongeng atau menonton serial kartun di tv. Ia sudah tidak menyukai itu semua. Oleh karena itu, gadis itu kini melangkah menuruni anak tangga seraya bersenandung kecil. Di tangan kanannya terdapat paperbag berwarna biru putih dengan figur karakter boneka musang yang terkenal. Doraemon. Gadis aneh! Ngakunya gak suka serial kartun, tapi nyatanya ia masih menonton serial kartun yang satu itu. Bahkan barang - barangnya bergambarkan boneka musang dari negeri tirai bambu itu. "Adek mau ke mana, pagi - pagi begini?" Tri menoleh saat langkahnya mencapai lantai dasar. Mendapati sang mama tengah mengupas beberapa buah seraya menonton serial drama dari negeri Ginseng. Entah sejak kapan serial drama dari negara itu mulai masuk ke negeri Krypton. Badan Filterasi Penyiaran Krypton harus memperhatikan apa - apa yang masuk ke negeri ini. Entah itu tontonan, kebudayaan atau apapun yang tidak berasal dari dalam negeri harus disaring. Tri berjalan ke arah sofa yang tengah diduduki sang mama. Mendaratkan bokongnya di sana. "Mau ke rumah Kana, temen sekolah Tri." Mamanya mengalihkan tatapan pada Tri. Wajahnya nampak berpikir sejenak sebelum akhirnya wanita cantik ber anak tiga itu melayangkan pertanyaan baru. "Mau ngapain ke sana? Kalau gak penting, ga usah," ucap mamanya dengan seenaknya. Membuat Tri menggeram tertahan seraya memutar bola mata jengah. "Justru karena penting. Makanya Tri mau ke sana. Udah ah, mumpung masih pagi. Tri berangkat diantar mang Kar. Tri janji gak akan pulang telat." Gadis itu beranjak dari sofa setelah mengatakan kalimat panjangnya barusan. Melangkah dengan cepat meninggalkan mamanya setelah mengucapkan salam dengan cepat. Wanita berwajah oval dengan alis tipis itu hanya bisa menatap kepergian anak bungsunya dengan nanar. Tidak bisakah, anak gadisnya itu memberikan kecupan singkat untuknya. Seperti yang dilakukan anak - anak teman arisannya saat ingin pergi ke luar rumah. Atau, tidak bisakah anak gadisnya itu meraih tangannya. Lalu mencium punggung tangannya sebelum pergi? Ah, iya. Iya lupa. Kalau anak - anak bahkan tidak mendapat hak - hak mereka sebagai anak dengan baik. Ia lupa bahwa ia pernah melalaikan tugas dan kewajibannya sebagai seorang ibu yang baik untuk anak - anaknya. Lalu, sekarang ia ingin menuntut sang anak agar menjadi seperti yang ia harapkan dan yang ia inginkan? Rasanya ia harus lebih sering berkaca. Introspeksi atau muhasabah diri. Merenungi apa - apa saja yang sudah ia lewati begitu saja tanpa pernah memikirkan anak - anaknya. Ah, tidak. Ia bekerja begitu keras justru karena ia sangat memikirkan masa depan anak - anaknya. Ia tidak ingin anak - anaknya merasakan kesusahan yang dulu ia rasakan. Ia tidak ingin anaknya merasakan betapa menyakitkannya dipadang sebelah mata oleh orang - orang, karena miskin. Ia tidak ingin anak - anaknya hampir mengadaikan harga diri dan kehortan. Karena saking putus asanya dengan keadaan. Kekurangan ekonomi adalah hal yang paling ia hindarkan dari anak - anaknya. Tapi, ia lupa. Bahwa seorang anak tidak hanya membutuhkan materi materi dan materi. Tidak semua hal di dunia ini bisa dibeli dengan uang. Seperti halnya kasih sayang. Uang tidak bisa menggantikan kebutuhan kasih sayang untuk anak dari figur orang tuanya. Uang tidak dapat membeli waktu - waktu yang telah ia lewati tanpa ada dia di sisi anak - anaknya. Di dalam proses pertumbuhan anaknya menjadu dewasa. Uang tidak dapat membeli itu semua. Tak terasa, air mata itu sudah menggenang di pelupuk matanya. Wanita itu kembali ditampar oleh kenyataan. Kalau saja ia tak pernah mendengar keluh kesah anak bungsunya itu, kalau saja gadis kecilnya itu tidak memberontak. Kalau saja ia tak melihat adegan di mana anak teman - temannya begitu dekat dengan putri mereka. Mungkin, ia tak pernah menyadari. Bahwa ia telah gagal dalam menjankan tanggungjawab dan tugasnya sebagai seorang ibu. Tidak ada kata terlambat untuk mereka yang ingin berubah menjadi lebih baik. Selagi Yang MahaKuasa masih memberikan nikmat sehat dan nikmat waktu luang. Maka kesempatan masih ada. Saat lamunannya semakin jauh, air mata yang semula menggenang, kini berlomba - lomba ingin turun dan membasahi pipi. Saat dentingan yang berasal dari ponsel berhasil mengalihkan fokusnya. Wanita itu buru - buru menyeka air mata yang menempel di pipinya yang terlihat sedikit kerutan. Ditatapnya layar benda berbentuk pipih itu dengan heran dan penasaran. Pasalnya, ada satu pesan masuk dari anak bungsunya. From : Litle Girl Mama Tri pulangnya agak telat gapapa, kan? Soalnya mumpung hari libur. Tri kerja kelompok sekalan belajar bareng buat persiapan ulangan pekan depan. Matanya yang semula akan mengering dari air mata. Kini kembali berkaca - kaca dan berair. Kalau gadis itu ada di sini. Apa mungkin ia akan bercerita mengenai sekolahnya sepanjang ini? Dengan cepat, ia mengetikkan pesan balasan. To : Litle Girl Mama Iya, gapapa dek. Tapi kabarin kalau ada perlu apa - apa, ya. Jangan pulang terlalu sore. Nanti mama masakin makanan kesukaan adek. Setelah pesan balasan itu terkirim. Tidak menunggu waktu lama. Satu pesan masuk kembali muncul di notifikasi. From : Litle Girl Mama Siyap nyonya! Hehe, bercanda. Iya, nanti Tri kabarin. Padahal hanya pesan sederhana antara ibu dan anak. Tapi karena ini merupakan hal baru. Hatinya menjadi hangat dan wanita itu tak bisa menahan kedua sudut bibirnya untuk tertarik ke atas. Membentuk lengkungan. Meski air matanya masih setia mengalir. Ia tersenyum seraya tak henti - hentinya menatap ke layar benda berbentuk pipih yang masih menampilkan ruang obrolan mereka. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN