Dipaksa Bercerai

1680 Kata
PART 2 Dari dalam dapur aku dengar, tidak ada satu pun yang menjawab salam suamiku. Tidak dari orang-orang yang ada di ruang tamu, tidak juga dari saudara-saudaraku yang berdiri tidak jauh dari pintu dapur dan ruang tengah. Aku yang berada di pojok ruangan dekat kompor saja masih bisa mendengarkan. Bapak dan ketiga saudara-saudaraku langsung menuju ke ruang tamu. Perasaanku gelisah, pasti mereka akan terus menghina dan menyudutkan Bang Riswan, bahkan jelas-jelasan Bapak menunjukkan rasa ketidak sukaannya dengan suamiku. Memintaku untuk meminta cerai kepada Bang Riswan, dan aku jelas-jelasan menolak mengikuti keinginannya. Apalagi alasannya karena kami miskin. Aku mengangkat baskom tempatku memarut kelapa ke depan pintu masuk dapur, yang berbatasan dengan ruang tengah, lalu melanjutkan pekerjaan memarut di situ. Aku hanya ingin mencuri dengar apa saja yang akan mereka katakan terhadap Bang Riswan. "Anak-anakmu dari rumah tidak disiapkan sarapan Wan? Datang-datang langsung nyomot makanan di piring, macam anak-anak kurang jajan saja." suara abangku Amran, sudah memulai pembicaraan yang bagiku terdengar menyakitkan. Tidak terdengar jawaban dari suamiku. "Memangnya kamu tidak pernah ajarkan adab sama anak-anakmu, Wan? Main comot-comot makanan saja," sindir Bapak. 'Ya Allah ... Bapak, anakku masih lima dan empat tahun, tadi saat aku ada di ruang tamu pun, kulihat ponakan-ponakan yang usianya jauh lebih besar bolak-balik mengambil jajanan pasar di piring tanpa ijin, tapi Bapak diam saja' rintih batinku. "Maaf, Pak," ucap Bang Riswan pelan. Dari pintu ruang tengah dan dapur tempatku memarut kelapa, terlihat jika suamiku hanya duduk bersila di lantai dekat pintu masuk rumah. Menunduk, dengan putri bungsuku Neti berada di pangkuannya. "Wan, nanti kau ambilkan pupuk dari koperasi kelurahan, tiga karung antarkan ke rumah," kata Bang Amran, kembali dalam hatiku beristighfar. "Iya, Kang," jawab Bang Riswan. Aku langsung bangun berdiri, kutinggalkan parutan kelapa yang tinggal sedikit. 'Ini tidak bisa lagi dibiarkan' teriak hatiku. Mereka seenaknya menghina dan merendahkan suamiku, tetapi selalu memanfaatkan tenaga suamiku secara gratisan. Sudah seringkali mereka memanfaatkan kebaikan Bang Riswan, tetapi masih terus menghina dan merendahkannya. Saudara-saudaraku memang tidak tahu diri. Mencarikan rumput buat ternak mereka, membeli pakan ternak, dan kali ini di minta untuk membawa pupuk tiga karung, tetapi tidak pernah mengijinkan suamiku memakai kendaraan motor milik mereka untuk mengangkutnya. Hingga suamiku harus bolak-balik mengangkat karung satu persatu bolak-balik dengan berjalan kaki. Jangankan untuk memberikan uang lelah, ucapan terima kasih pun tidak terlontar dari mulut mereka. Aku lantas berdiri, gegas melangkah ke ruang tamu yang hanya berjarak sekitar empat meter. "Maaf, Kang Amran, aku tidak mengijinkan suamiku untuk mengangkut pupuk milikmu," ucapku tegas. Berdiri di samping suamiku yang masih duduk bersila. Bapak melotot ke arahku tajam, Kang Amran sedikit terperangah, begitupun dengan Ela dan Samsiah. "Kenapa kamu yang nolak, Riswannya sudah mau, kok," kilah Amran. "Iya, suamiku bersedia, karena tidak enak hati, kalian ini sering memanfaatkan tenaga suamiku, untuk kepentingan kalian sendiri, tanpa ada jasa imbal baliknya, yang ada kalian malah sering menghina Bang Riswan. Macam orang tidak punya malu!" sindirku, telak. "Risma! Kurang ajar kamu yah!"bentak Bapak. Emak kulihat tergopoh-gopoh keluar dari dalam dapur. "Neng, sabar Neng," bujuk Bang Riswan, menenangkan aku. "Sabar! Sabar! Kurang sabar apa kita Bang!" Suamiku yang sekarang jadi sasaran kekesalanku. "Eneng tuh cape, Bang. Kehidupan kita selalu dihina. Abang selalu direndahkan, tetapi tenaga Abang dimanfaatkan gratis oleh saudara-saudara eneng," ucapku sembari terisak. "Sudah, Neng, sudah, yah," ujar Bang Riswan, menenangkan. "Abang kenapa sih, diam saja tidak mau melawan!" geramku pada Bang Riswan. Diam dia, menyaksikan aku marah seperti ini. "Sudah Risma, malu banyak orang," ucap Emak menenangkan. "Dasar si Risma nggak punya adab, kamu memang tidak mengajarkan adab sama istrimu, Wan! Sudah susah, miskin tata Krama," sindir Bapak. "Dimata Bapak, keluarga Risma nggak pernah dianggap benar," keluhku pada Bapak. Langsung berbalik badan ke arah Bang Riswan. "Mungkin bagi Abang, sabar nggak ada batasnya, tapi bagiku nggak bisa, Bang ... Sakit hatiku, Bang, mendengar Abang selalu direndahkan oleh saudara-saudara eneng," jelasku terisak-isak. Aku langsung menggendong si bungsu Neti. Berjalan cepat meninggalkan rumah Emak, tanpa permisi lagi. Hatiku benar-benar terluka. Terlihat suamiku Bang Riswan mengikuti dari belakang, juga sembari menggendong putri pertama kami, Yuli. Menjauhi rumah keluarga besarku. Aku kesal dengan kesabaran suamiku. "Neng, tunggu abang atuh, Neng," panggil Bang Riswan, sedikit di belakangku. Kuacuhkan saja, hatiku masih kesal. Malah semakin kupercepat langkah. Sebenar jarak rumah kami dan rumah keluarga besarku tidaklah terlalu jauh, karena memang daerah yang kami tinggali berkontur perbukitan, posisi rumahku sedikit lebih ke atas dari rumah emak yang dekat dengan jalan utama kampung kami. Kampung tempat kami tinggal memang ada di antara gunung dan perbukitan dengan udara yang sejuk, dekat dengan perkebunan teh milik perusahaan swasta terkenal, seluas ratusan hektar. Kedua orang suami adik-adikku juga bekerja di perkebunan ini, sebagai mandor perkebunan. Mereka pun sama seperti istri-istrinya yang juga adik-adikku, tidak suka dengan Bang Riswan. Saat kuutarakan kepada Bang Riswan tentang ketidak sukaan saudara dan ipar-iparku, enteng saja ucapnya. "Biar saja, Neng, asal jangan Allah yang benci dengan kita." Sesantai itu Bang Riswan menanggapinya, sementara aku sendiri sudah cape hati. Setibanya di rumah, langsung kuturunkan putri bungsuku Neti dari gendongan di ruang tamu, sementara aku sendiri langsung masuk ke kamar. Menutup dan mengunci pintunya, menangis sepuasnya di atas kasur dengan ditutupi bantal agar tangisku tidak terdengar. "Neng, buka pintunya, Neng," panggil Bang Riswan, sembari terus mengetuk-ngetuk pintu kamar. Aku pura-pura tidak mendengar. "Neng, tolong dibuka, Neng, kita bicara sebentar," pinta suamiku, aku tetap tidak menghiraukan. Aku kesal dan kecewa dengan Bang Riswan. "Neng." Pintu kamar terus diketuk-ketuknya. Aku bangun dari kasur, terduduk di sisi ranjang. "Neng, buka pintunya, kenapa jadi marah sama abang, Neng?" tanyanya lagi dari balik pintu kamar. Aku berdiri berjalan mendekati pintu. "Abang mau tahu, kenapa eneng marah sama Abang," jawabku dari balik pintu. "Buka dulu pintunya atuh Neng, biar enak kita bicaranya," pinta Bang Riswan. "Nggak perlu!" sentakku, masih menyimpan rasa kesal. Sebenarnya, jika tidak dalam kondisi kesal seperti ini, cara bicara suamiku sering membuat tertawa. Dialeknya sudah mengikuti gaya bicara sebagian besar suku asli desa ini. Padahal dulu, saat pertama kali aku mengenalnya, gaya bicaranya juga cara bersikapnya terkesan formil dan kaku. Ukuran tubuh dan tinggi badan pun suamiku tergolong berbeda jika dibandingkan dengan pemuda-pemuda di kampung ini. Dengan tinggi 180 cm, dan berat badan 68 kilogram, seharusnya Bang Riswan tidak perlu takut untuk melawan, bahkan jika perlu berkelahi untuk membela harga diri. Mungkin aku termasuk istri dan saudara yang tidak baik, karena suka membayangkan andai saja suamiku tidak hanya diam dan menurut, tetapi juga sesekali harus melawan jika di-zalimi. "Neng," panggilnya, sembari terus mengetuk pintu. Mengagetkan lamunanku, yang sedang membayangkan Bang Riswan berkelahi membela diri. "Berisik Bang, Nang-neng, Nang-neng terus!" ujarku, kesal. Berniat untuk kembali ke tempat tidur. "Ada Emak ini, Neng," kata Bang Riswan dari luar kamar. "Sudah Bang, jangan Emak dijadikan alasan, Eneng lagi kepingin sendiri." Sembari mulai naik ke atas kasur. "Risma, buka pintu, Ris." 'Emak' batinku, membatalkan untuk mencoba tidur, turun ke lantai kembali, dan langsung cepat-cepat membuka pintu, sembari menyeka air mataku dengan ujung lengan baju. "Apa, Mak?" tanyaku, saat pintu kamar sudah terbuka separuh. Sementara Bang Riswan yang berdiri di belakang Emak, senyum-senyum mencoba mengambil hatiku, tetapi malah kuplototi. Dia lalu menggaruk-garuk kepalanya, lantas menggendong Neti, dan melangkah ke luar pintu rumah. Kamu kok pulang? Siapa yang mau bantu emak." Ya, Allah ... sedih aku mendengarnya, dan aku tidak punya keberanian untuk membantah, ataupun meminta Emak agar menyuruh anak-anak perempuannya yang lain, karena aku tahu sifat pemalas kedua adikku itu, yang rajin hanya mulutnya saja jika sedang menyindir. "I-iya, Mak, Risma nanti langsung ke rumah. Emak menatap mataku lekat, berbicara pelan. "Orang sabar itu memang tidak enak, Ris, selalu pegal hati, maka itu harus ditambah dengan bersikap ikhlas," ucap Emak, langsung melangkah keluar rumah, berdiri sebentar di depan pintu. "Jangan lama-lama yah, Ris, takut akangmu dan keluarganya dari kota keburu datang, dan semua belum selesai." "Iya, Mak, Risma pasti langsung ke rumah." Emak sudah beranjak pergi, aku lantas kembali ke dalam kamar untuk mengambil hijab yang tadi kugeletakkan di kasur, merapikan pakaian yang sedikit kusut, lantas segera pergi menyusul. Bang Riswan terlihat sedang bersama kedua anak kami memetik tanaman cabai yang sedang berbuah. "Bang, aku ke rumah Emak dulu," ujarku cepat, langsung bergegas pergi, tidak ingin berbicara lama. "Neng," panggil Bang Riswan, sedikit berlari mendekat. Aku lantas berhenti, berbalik menatapnya. "Maafkan Abang ya, Neng, sudah membuat Eneng kesal," ucapnya pelan. Kutatap mata suamiku dalam. "Eneng hanya cape, Bang, mendengar dan melihat Abang selalu direndahkan dan dimanfaatkan oleh saudara-saudara eneng," jawabku, juga pelan. "Biarkan saja, Neng, asal jangan Eneng saja yang merendahkan Abang," ujar suamiku, sembari menggenggam tanganku. "Tapi eneng tidak rela, Bang, seolah-olah Abang itu tidak ada harga dirinya di mata saudara-saudara eneng. Abang terlalu diam dan sabar menghadapi mereka, itu yang membuat saudara-saudara eneng semakin berbuat seenaknya sama Abang," jelasku lagi. "Tetapi Abang ikhlas kok, Neng," ucap Bang Riswan. Kutepiskan pelan tangan suamiku, agar terlepas dari jemariku. "Iya, Abang ikhlas, tapi Eneng nggak!" jawabku ketus, langsung berbalik badan meninggalkan Bang Riswan. Suamiku itu benar-benar bikin dongkol, nggak ngerti sama sekali dengan perasaan istrinya, padahal aku berkata seperti ini karena kasihan melihat dia diperlakukan sembarangan. Bang Riswan kembali lari mengejar, dan menahan langkahku. Kembali aku berhenti. "Neng, maafkan Abang yah, tetapi tidak rugi kok Neng, jika kita mau berlaku ikhlas dengan apa yang sedang menimpa kita," jelas Bang Riswan, dan aku menganggapnya keras kepala. Kali ini mataku menatap jauh lebih tajam. "Abang ikhlas, jika kita bercerai, dan anak-anak jauh dari Abang?" tanyaku, menekan. "Kok Eneng bicaranya sejauh itu?" terheran suamiku mendengar ucapanku, ucapan yang selama ini aku sembunyikan darinya. "Asal Abang tahu, jika eneng tuh selalu didesak oleh Bapak dan saudara-saudara Eneng yang lain agar meminta cerai sama Abang, karena Abang dianggap miskin." Terperangah suamiku saat mendengarkan aku menceritakan apa yang sebenarnya tidak ingin suamiku ketahui. "Makanya Eneng minta sama Abang, gak apa-apa kita dibilang miskin, tetapi jangan sampai Abang dianggap tidak punya harga diri. Jika semuanya habis mereka injak, apa lagi yang bisa eneng banggakan dari suami sendiri Bangg ...," ucapku, kembali menangis terisak. Suamiku diam terpaku, sepertinya dia kaget mendengar jika aku pun dipaksa untuk bercerai darinya. "Titip anak-anak, Bang, aku harus segera membantu Emak." Sembari mengusap air mata, aku lantas beranjak pergi, meninggalkan Bang Riswan yang masih berdiri diam terpaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN