Pesan Inbox

1271 Kata
[Terimakasih sudah di konfir mamah Winda.] Pesan dari M Ilham Satyawan. Nama akunku sendiri Sarah Fahrani. Aku membalasnya. [Sama-sama.] Dia membalas cepat karna sedang online. [Bukunya sudah dibaca, suka tidak?] Buku? Ohh, aku belum membacanya. [Belum. Belum sempat, nanti kubaca.] [Semoga suka ya, sama ceritanya.] [Iya, bang. Terimakasih.] Kupikir dia tidak akan membalas lagi setelah itu, tapi muncul pesan lagi. [Windanya ada, sedang apa?] [Ada. Lagi nonton Tv.] Satu menit tidak ada balasan lagi sampai lima menit kemudian. Aku ke luar dari f*******: dan beralih ke w******p lagi. Kali ini centang dua bewarna biru, chat ku sudah dibaca Bang Akmal. [Aku baru selesai solat, baru kebaca.] Aku tersenyum sendiri membacanya, senang mengetahui suami sudah solat. Dia tidak melupakan kewajiban muslim yang satu itu, di mana pun. [Syukurlah udah solat, tapi udah makan?] [Udah. Dikasih sama Ibunya Ilham.] [Oh, syukurlah. Ilhamnya gak pulang, ya?] [Gak, di tempat kerja.] [Ohh ... ] [Winda anakku lagi apa?] [Lagi nonton Tv tuh.] [Udah ya, gak bisa lama-lama. Aku mau lanjut kerja.] [Yaudah, hati-hati.] Aku menutup aplikasi itu. Aku pun merasakan lapar dan makan sambil menyuapi Winda. Setelahnya melaksanakan solat dzuhur lalu tidur siang. **** Jam setengah tiga aku bangun dan bergegas masak ke dapur. Menumis kangkung, menggoreng ikan asin dan membuat sambal. Hanya menu itu. Bang Akmal menyukai menu seperti itu. Tidak harus macam-macam, tidak harus mewah. Aku masak apa pun dia menyukainya dan lahap. Makan dengan ikan asin saja jadi, atau hanya telur dadar saja, makannya tetap nikmat. Itulah Bang Akmal yang tidak belagu soal makanan. Setelah selesai aku mencuci semua perabotan bekas memasak. Terdengar kumandang adzan ashar, aku mengambil handuk dan lekas mandi. Tidak lupa aku ajak Winda untuk mandi bersamaku sekalian. Sudah rapi dan berhijab aku keluar membawa buku pemberian Bang Ilham. Duduk bersandar pada tiang rumah, kubuka segel plastik pembungkus novelnya. Tampak lebih jelas cover yang emboss dan cukup tebal dari buku itu. Rembulan Tenggelam di Wajahmu, itu judul novelnya. Sebuah karya yang sangat bagus dari Tere Liye, salah satu penulis hebat di negri ini. Ceritanya sarat akan ilmu dan pelajaran hidup. Itu yang kutahu dari reviuw buku ini di Google. Aku tertarik dan ingin membeli, tapi belum kesampaian. Hingga aku bisa mendapatkannya dari Bang Ilham. Sebuah keberuntungan. Kubuka lembar pertama dan mulai membaca. Cerita di lembar awal membuatku berselera untuk membuka halaman berikutnya dan seterusnya. Aku seperti dibawa ke dimensi lain bersama si tokoh utama. Kisah ini flashback masa mudanya. Aku tenggelam dalam ceritanya. Cerita tertunda begitu mendengar suara klakson motor, aku mendongak. Rupanya Bang Akmal sudah pulang. Aku menunda kegiatan membaca, enghampiri Bang Akmal mencium punggung tangannya. "Serius banget tadi bacanya, sampai gak tau suaminya datang." "Hehe ... Ceritanya seru. Aku sampe gak 'ngeh' suara mesin motor Bang Akmal." Bang Akmal membuka jaket dan nampaklah kaosnya yang kotor tanah dan adukan semen. Kulihat celana pendeknya juga kotor. Aku membuntuti langkahnya ke dalam rumah. "Ambilin air minum, Sar." Dia duduk bersandar dekat televisi. "Sebentar." Bergegas ke dapur, aku ambil satu gelas besar air minum. Kuberikan dan Bang Akmal meneguknya sampai habis. "Mau langsung mandi atau makan dulu?" "Mandi dulu. Ambilkan handuknya." "Iya." Aku keluar sebentar mengambilkan handuk suamiku yang tersampir pada tali jemuran membawannya ke dalam. "Winda ke mana, udah mandi belum?" "Udah, lagi main sama Maya." Maya adalah anak tetangga. Begitu selesai kudandani sehabis mandi, Winda bergegas pergi. Maya sudah menunggunya di luar. Dia mengajak Winda ke rumahnya. "Udah dikasih makan?" "Belum. Tadi siang sudah kusuapi, nanti kita makan bersama aja." "Yasudah, aku mandi dulu, ya." Aku mengangguk. Di dapur aku membuka tudung saji di meja. Menyiapkan piring dan menuangkan air di gelas. Aku panggil Winda dari luar menyuruhnya pulang untuk makan bersamaku dan Bang Akmal. Dari kejauhan anak itu mendekat dan meninggalkan Maya. "Sini sayang, makan dulu sama Ibu sama Bapak." Aku menggandeng lengan Winda dan menuntunnya ke dalam. "Winda belum laper, Bu. Kan tadi udah makan siang." Aku gemas sekali dengan gaya bicaranya dan tersenyum. Aku cubit pipinya pelan, dia mendesis cemberut. "Gak apa-apa makannya sedikit juga, ya. Nanti kalo malem laper makan lagi." "Iya, tapi disuapin." "Iyaa." Di sinilah kami berkumpul di meja dapur yang merapat ke tembok dan hanya ada dua kursi. Winda duduk dipangkuanku, aku menyuapinya. Bang Akmal tampak lahap menyantap makanannya. Setelah menyuapi Winda aku menyuapi nasi ke mulutku sendiri. "Udah, ah, Bu." "Tiga suap lagi, ya." "Enggak ah, kenyang." "Yaudah, satu suap deh, ya?" Winda diam, tapi dia membuka mulut saat kusuapi. "Habis makan jangan lupa minum. Jangan langsung lari." Bang Akmal memberitahu. Aku memberikan mugh plastik, Winda meneguk minum. Setelahnya ia pergi ke luar. "Mau ke mana?" "Mau main lagi, Paak!" Setelah melihat kepergian Winda, aku beralih pada Bang Akmal yang kini sudah selesai makan. Sementara makanku masih ada sedikit. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan padanya, tapi ragu. "Bang." Pelan aku panggil dan dia menoleh. "Kenapa?" Aku sungkan ingin bicara, tapi aku harus mengatakannya. "Ada apa?" tanya Bang Akmal lagi sesaat setelah meneguk minum. "Besok abang dua hari kerja. Bisa tidak pulangnya minta kasbon dulu, seratus ribu aja buat bekal kita. Tinggal tiga puluh ribu, gak ada uang lagi." Aku menanti jawaban Bang Akmal sedikit cemas. Benar-benar tidak ada uang lagi selain tiga puluh ribu itu. Aku bingung untuk bekal besok-besok. "Bisa. Aku akan minta. Ilham pasti ngasih, kamu tenang aja, ya." Aku lega mendengarnya. Aku mengabaikan perasaan malu karna baru bekerja dan besok kami minta upah. Semoga Bang Ilham mengerti, ucapku dalam hati. "Seratus ribu cukup?" "Iya, bang. Segitu aja dulu." "Yaudah, sepulang kerja aku akan minta." "Pagi tadi ada tujuh puluh lima ribu, aku pake isi token listrik, beli sayur sama jajan Winda, tinggal sisa tiga puluh ribu itu." "Iya, gak apa-apa. Besok aku ambil kasbon." "Ada sih uang celengan. Tapi, gak bisa diambil. Mau dibongkar tapi sayang buat nanti." "Gak usah dibongkar celengannya. Aku sekarang lagi kerja, cukup dengan upahku saja." "Iya." **** Malam hari pukul setengah sembilan Bang Akmal sudah pulas. Mungkin capek, jadi tidur lebih awal. Tidak apa, tadi kulihat dia sudah solat isya. Aku bersandar pada besi ranjang duduk berselonjor kaki di sampingnya. Tadi aku menemani Bang Akmal mengobrol sampai dia tertidur. Aku meraih handphone yang tergeletak di nakas. Kuaktifkan data perangkat dan mulai berselancar di dunia maya. Ada beberapa pemberitahuan di f*******: soal info grup. Dan, apa ini? Ada belasan info, M Ilham Satyawan menyukai poto anda. M Ilham Satyawan menyukai tautan yang anda bagikan. Aku terus mensecroll ke bawah. Ada dua belas like yang diberikan akun Ilham itu. Enam diantaranya like poto, sisa enam lainnya like tautan yang aku bagikan. Tautan-tautan itu adalah status terbaruku. Tautan yang berisi resep makanan dan cerbung di sebuah grup. Tapi, enam poto yang di like sudah lama sekali aku menguploadnya. Bukan poto aku sendiri, poto bersama beberapa saudara perempuanku di momen hari raya dan momen berlibur ke tempat rekreasi. Itu sudah lima tahun lalu. Juga poto anakku yang masih bayi dan poto aku bersama suamiku. Itu sudah dua tahun yang lalu. Poto-poto itu bukan postingan baru. Aku jarang upload poto dan sudah lama tidak melakukan itu. Aku mengerut kening. M Ilham Satyawan sudah mengintip akunku? Bang Ilham sudah melihat-lihat semua postinganku. Ah, biarkan sajalah. Cuma like, kupikir tidak apa. Aku kembali ke beranda mencari-cari cerbung yang menarik yang akan dibaca. Aku lewatkan cerita bertema pelakor, tidak suka membacanya membuatku gerah saja. Aku secroll terus ke bawah. "Bu ... temenin Inda nonton TV, pengen ditemenin sama Ibu." Winda menghampiriku, dari tadi ia sendiri di ruang tengah. "Iya, sayang. Yuk!" Aku bangkit ke ruang tengah menemaninya. "Kalo ngantuk matiin, ya." "Iya, Bu." Dia menonton serial sinetron kolosal Raden Kian Santang. Winda menyukai tokoh cilik itu. Aku membiarkannya. Aku ikut tiduran di sampingnya sambil membaca cerbung yang aku sukai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN