Part 8

1002 Kata
Jangan lupa untuk tap love-nya ya, Kak. "Setia, ya?" Pak Dirga menatapku lekat, seolah dia sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan. "Tentu saja, Pak. Dia adalah wanita yang langka,” jawabku bangga. Tentu saja kebenarannya memang seperti itu, buktinya dia tetap mau menempel padaku. Padahal kan dia juga sudah tahu kalau mamaku dan Ica hanya sering merajuk padaku. "Oh, ya sudah, kalau seperti itu. Aku juga berharap kau juga bisa setia dan menjadi orang yang langka," ucapnya berpesan. ”Tentu saja", jawabku dalam hati. "Karena kalau tidak, mungkin saja akan ada laki-laki yang datang dan membuat istrimu berpaling darimu," lanjutnya membuatku bingung. "Kau ini!" Bara menginjak kakiku, untunglah aku sudah menjauhkan kaki indahku ini sebelum dia menginjaknya. "Kenapa? Kalau mau tanya, tanya aja. Enggak usah pake k*******n," ucapku mendengus kesal. "Saya juga berharap bisa bertemu dengan istri setia anda, bisa saja dialah wanita yang saya cari selama ini," ucapnya membuatku dan Bara bingung. "Maksudnya, Pak?" tanyaku memastikan. Meskipun aku mendengarnya dengan jelas, tapi tetep saja tidak mungkin jika Pak Dirga yang muda, kaya, dan sukses ini mau menjadi suaminya Rania yang pelit dan perhitungan ini. Enggak mungkin banget. Jadi, aku pasti salah dengar. "Hem, maksudnya semoga saya juga bisa mendapatkan seorang istri yang setia dan siap menemani saya dalam suka dan duka," jelasnya membuatku tenang. Benar, ternyata tadi pendengaranku yang bermasalah. Mana ada Rania menjadi istri Bos, istriku saja banyak ruginya. *** "Kau sudah kelewatan!" Bara mendengus kesal ketika kita baru saja keluar dari pintu ruangan Pak Dirga. "Apanya? Aku tidak meras kelewatan, kok," ucapku heran. Dari tadi Bara terlihat sensi. Apa dia sedang datang bulan? Tidak mungkin, dia kan laki-laki. "Menurutmu begitu, tapi apa kau tidak merasa kalau pertanyaan Pak Bara penuh jebakan?" tanyanya membuatku semakin pusing. Jebakan? Dia pikir ini sinetron. Ada-ada saja. "Ini dunia nyata, Bara." "Lalu, apa hubungannya?" tanyanya lagi. Masa begitu saja tidak mengerti. "Maksudku jebakan itu hanya ada di sinetron atau hidup orang-orang yang suka drama." "Seperti dirimu?" Bara menunjukku dengan telunjuknya yang panjang. "Kau! Aku mana ada." "Buktinya kau bilang membenci Rania dan tidak mencintainya, tapi kau sendiri yang tidak mau bercerai, kan?" Bara melayangkan tatapan melecehkan. "Berhenti! Aku tidak ingin membahas pribadiku, cukup hentikan sampai di sini," ucapku kesal. Aku mempercepat langkah dan segera masuk ke ruanganku. "Aku pastikan kamu akan menyesal karena sudah menganggap remeh nasehatku!" teriaknya yang masih bisa kudengar. Bodo amat! *** "Rik, Mama bisa minta uang?" pinta mama memelas. Aku paling tidak suka mama memasang wajah seperti ini. Dialah memang wanita yang paling penting untukku, tapi tidak seperti ini juga. Baru saja beberapa hari lalu aku memberikan mama dan Ica yang dua puluh juta, kenapa sekarang sudah minta lagi? Mana aku baru selesai kerja lagi. "Rania, Rani!" Beberapa kali aku memanggil, tapi Rania masih belum menampakkan batang hidungnya. "Rania!" aku terus memanggilnya. "Ada apa, Mas?" tanyanya tanpa rasa bersalah. Aku mengulurkan tangan agar dia menciumnya, seperti biasa. Tapi entah kenapa beberapa waktu ini Rania berubah. Dia tidak pernah lagi mencium tanganku, katanya lupa. Jadi harus aku yang lebih dulu mengulurkan tangan. Padahal kan harusnya seorang istri sudah faham. "Mana minumku?" tanyaku ketika melihat meja makan masih kosong. Biasanya sudah ada makanan ringan dan segelas minuman segar. "Tidak ada," jawabnya santai. "Ngapain aja kamu dari pagi?" tanyaku penuh penekan, tapi Rania masih diam. "Kamu tahu aku, suamimu ini baru saja pulang kerja? Bukankah harusnya seorang istri menyiapkan apa yang akan menjadi kebutuhan suami? Bukan malah seperti ini," ucapku panjang lebar. "Inginku seperti itu, Mas. Tapi...." ucapnya terhenti. "Apa?" kutatap matanya tajam. "Aku tidak punya uang," jawab Rania lirih. "Ya ampun, Rania. Masa kamu tidak punya uang? Kan kerja. Perhitungan sekali kamu!" tuduhku beruntun. Tapi Rania kembali diam. "Loh, Mbak Rania kan sudah mengundurkan diri, Mas," sahut Ica. Mengundurkan diri? Benar, kenapa aku bisa sampai lupa kalau dia sudah mengundurkan diri. Ah, kesal. Kini aku teringat lagi kalau semua kebutuhan rumah akan sangat menguras isi dompetku. Aku mengacak rambut frustasi. *** "Cepat beli bahan yang sangat kita butuhkan dan jangan sampai ada barang yang tidak penting. Nanti aku akan masukan barang-barangnya sebagai hutang kau padaku," ancamku pada Rania. Dia hanya mengangguk dan berjalan dengan membawa troli. Lalu, mengambil beberapa produk yang menurutku perlu. Tunggu, untuk apa dia beli tepung terigu? "Untuk apa ini?" tanyaku pada Rania dan menunjuk ke arah terigu kemasan yang ada di troli. "Buat makanan ringan, Mas. Daripada beli, lebih baik buat. Bukankah katanya Mas mau berhemat?" jawabnya masuk akal. Hanya saya kenapa dia sampai mengatakan aku mau berhemat, sih? Jadinya kan semua orang mendengar dan melihat ke arahku. "Mas, lihat tuh, totalnya," ucap Rania mengingatkan. "Iya, aku tahu." Setelah selesai bayar, aku dan Rania kembali menuju pintu keluar pusar perbelanjaan. "Mas, kamu enggak mau bantu aku apa? Ini berat banget tahu," ucapnya manja. "Kamu itu tidak pantas dibantu." tolakku kesal. "Lihat gadis cantik itu, dia begitu baik sama ibunya," ucapku sambil menunjuk seorang gadis yang sedang berbincang-bincang hangat dengan seorang wanita tua dan dua anak kecil. "Kalau aku punya istri seperti itu, pasti akan tambah cinta setiap harinya," lanjutku dengan hati berbunga-bunga, sambil membayangkan. Sangat indah. Rania hanya tersenyum. "Gadis itu, Mas?" tanyanya seperti mengejekku. "Tentu saja," jawabku bangga. Kami langsung melangkah mendekat ke arah Ibu tersebut. "Maaf, Bu, tapi anak ibu yang barusan cantik sekali, ya? Baik hati lagi,” ucapku percaya diri. "Oh, yang barusan?" jawab ibu tersebut sedikit bingung. "Tentu saja, Bu," sahut Rania. "Maaf, Pak, Bu, tapi wanita itu bukan putri saya. Dia seorang preman di wilayah ini, kita disuruh ngamen dan minta-minta. Kalau setoran kurang, maka dia hanya akan marah-marah. Senyuman tadi akan langsung hilang," jelasnya sedih. Aku hanya bisa melongo. Kenapa tidak sesuai dengan perkiraanku? Rania menatapku dengan tatapan mengejek. "Makan tuh cinta!" serunya sambil tertawa cekikikan dan meninggalkan aku sendirian. Dasar istri enggak tahu diri. *** Makan tuh cinta! Kau yang tidak tahu diri Riko! Dikasih hati, malah minta jantung. Next? sekilas info, update cerita ini untuk sekarang seminggu sekali dulu, ya, Kak. Setelahnya baru setiap hari. Yuk bantu share ke teman-temannya ya, Kak, agar lebih cepat update setiap harinya. Terima kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN