Part 1

1359 Kata
Waktu masih menunjukkan pukul delapan malam. Tapi jalanan nampak sepi. Mungkin, karena cuaca yang dingin dan gerimis kecil seperti ini lebih cocok untuk dibuat rebahan daripada berkeliaran. Setelah menyelesaikan pembayaran, Nabila keluar dari mini market dengan memasang hodi jaketnya. Berjalan menyusuri trotoar sambil memikirkan perusahaan mana yang akan dia datangi besok. Sudah banyak tempat yang dia datangi. Namun, hasilnya nihil. Tak satupun ada panggilan untuk sekedar interview. Sebenarnya Nabila punya motor keluaran terbaru yang cicilannya juga belum lunas. Tapi kembali lagi ke masalah awal. Dia sedang menghemat BBM didalam tangki maticnya agar besok bisa keliling Jakarta mencari pekerjaan lagi. Tidak terlalu jauh memang jarak antara rumah Nabila dengan mini market. Hanya perlu melewati beberapa rumah makan, jembatan besar yang airnya selalu deras dan beberapa outlet pulsa. Maka, sampailah dia di rumahnya. Rumah dengan gaya minimalis yang dia beli dari sisa harta orang tuanya. Belum, Nabila belum sampai rumah. Dan disinilah dia sekarang. Berdiri terpaku diatas jembatan sambil melihat sosok pria yang memanjat teralis disisi tengah jembatan. Pria itu berdiri diatas teralis dan merentangkan kedua tangannya. Dengan langkah sedikit berlari, akhirnya Nabila sampai tepat di bawah pria tersebut. "Kamu mau ngapain?" tanya Nabila dengan polosnya dan mendongak tinggi agar bisa melihat wajahnya. "Astaga!" pekik pria itu kaget dan oleng, namun langsung bisa menyeimbangkan tubuhnya. "Kalau mau bunuh diri jangan disini. Jembatan ini udah banyak hantunya." Nabila tak peduli dengan raut terkejut pria itu yang sekarang sedang menatapnya jengkel. "Kalau mau bunuh diri mending ke laut aja," lanjutnya "Disini mati disana mati. Terus apa bedanya? Hah?!" ketus pria itu. "Ya beda dong, Syamsul. Kalo disini susah nemuin jasad kamu. Iya kalo kamu tenggelam, kalo terseret arus bisa ratusan kilometer. Nyusahin tim sar. Kalo dilaut pencarian cuma beberapa radius. Kalo nggak ketemu ya sudah, tinggal lempar bunga harpa. Beres!” jawab Nabila asal asalan. Dia mana tau soal begituan. "Aku bukan orang sembarangan ya! Kalaupun mati nanti, pasti bakal ada acara penghormatan terakhir yang sangat mengharukan. Dan lagi, namaku bukan Syamsul." sergahnya tak terima. Nabila hanya manggut-manggut mendengarnya. "Kenapa? Kamu nggak percaya kalo aku bukan orang sembarangan?!" tanyanya tak terima dengan tatapan Nabila yang seakan menilai dirinya dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Ya sudah. Lompat aja kalau mau lompat. Semoga kamu tenang di alam sana," jawab Nabila cuek sambil berlalu. Jangan sampai dia terjerat masalah baru. Statusnya sebagai pengangguran saja belum kelar, apalagi harus menjadi saksi seseorang bunuh diri. Nabila harus segera pergi dari sini. "Eh, kata-katamu seakan aku udah mati beneran tau nggak!" teriak pria itu tak terima. Nabila sama sekali tak menghiraukan. Dia berjalan dengan santai sambil mengayun-ayunkan tas kreseknya dan bersenandung kecil. Seakan tak mendengar suara apapun. Kesal, bermaksud ingin turun dan memaki Nabila, pria itu malah terpeleset dan.. Byuuurrrr........ "Omaigat!! Dia lompat beneran." Nabila segera berbalik. Berlari kecil dan melongok ke bawah. Tak jua melihat pria itu muncul ke permukaan, akhirnya Nabila mengeluarkan ponsel dari saku hodinya dan menekan tombol darurat. "Fix, dia tenggelam. Dasar merepotkan!" umpat Nabila lalu menempelkan benda pipih itu ke telinganya. *** Dewinta bersama suaminya, Adam Yudhistira berjalan tergesa-gesa menyusuri lorong rumah sakit setelah mendapat telepon dari anak sulungnya, Bima Tirta Yudhistira. Hati orang tua mana yang tak terkejut mendengar kabar bahwa anak mereka ditemukan tim sar mengapung di bendungan tengah kota tersebut. Memang benar kata orang jika tak ada hal lain yang lebih menghawatirkan bagi orang tua kecuali keselamatan anaknya. Dalam sekali belokan diujung lorong rumah sakit tersebut, Dewinta bisa melihat seorang pria tinggi berkemeja hitam bersandar pada tembok. Dan itu adalah Bima Tirtha Yudhistira, anak sulungnya. Wajahnya begitu pucat pasi, penuh dengan kekhawatiran. Menunduk dalam menatap sepasang sepatunya. Seakan-akan sepatu itu adalah satu-satunya hal yang menarik saat ini. "Bagaimana keadaan Cakka, Bima?" tanya Dewinta yang langsung disertai isak tangis. "Dokter masih didalam, Ma. Mama tenang dulu." Bima sambil menuntun mamanya duduk dideretan kursi tunggu dan mengusap-usap punggung mamanya untuk menyalurkan ketenangan. "Apa yang terjadi, Bima?" kali ini suara bass Adam yang masuk ke gendang telinga Bima. "Bima juga tidak tahu pasti, Pa. Tadi ada telepon dari polisi yang menemukan mobil Cakka terparkir ditepi jalan dekat jembatan. Dan ada seorang wanita yang menelpon tim sar. Dia bilang, dia melihat laki-laki terjatuh dari jembatan. Bima pikir itu tidak mungkin Cakka. Tapi ternyata, dari identitas yang ditemukan dia memang Cakka, Pa." jawab Bima panjang lebar memberikan informasi. "Anak itu masih saja seperti anak kecil," umpat Adam. "Tidak sama sepertimu." tambahnya dengan nada kecewa. "Papa, sudahlah," tukas Bima lembut. Dia masih sibuk menenangkan mamanya. Di dalam hati sebenarnya Bima kasihan dengan nasib tragis yang dialami adiknya. Sekalipun tindakan Cakka juga tak benar, tapi ini bukan saat yang tepat untuk mendebat papanya. *** "Nabilaaa...!! Naa...!! Bilaaa...!!" Lilip menggedor-gedor pintu rumah temannya. Nabila yang sedang mengaduk teh di dapurpun meletakkan sendoknya dan bergegas membuka pintu. "Ada apa?!" panik Nabila setelah membuka pintu dan melihat wajah Lilip. Diapun celingukan, mengedarkan pandangan ke sekitar. Jangan-jangan ada maling seperti tempo hari. "Ayo sini! Aku mau cerita." dengan tidak sabar Lilip menarik lengan temannya itu yang masih mengedarkan pandangannya. "Eh!" pekik Nabila pelan saat tubuhnya didorong dengan kasar dan pantatnya menubruk sofa. "Dengerin aku! Pasang telinga kamu baik-baik," ucap Lilip sambil meraba-raba telinga Nabila, seakan telinga Nabila baru saja jatuh dan dia pasang kembali. "Ih, geli tauk!?" Nabila menepuk lengan Lilip agar menyingkir. "Hehehe.. maaf-maaf," kekeh Lilip. "Jadi gini, pas aku kesini tadi di jembatan rame banget. Aku pikir ada kecelakaan ternyata ada cowok tenggelam. Aduh Na, kasian banget tau. Aku tuh lihat sendiri jasadnya ditandu masuk ambulance. Wajahnya kayak tergores-gores ranting gitu. Sumpah serem aku lihatnya." Lilip sambil mengusap-usap lengannya ngeri. "Kalo ada goresan berarti hanyut Lip bukan tenggelam," celetuk Nabila membenarkan. "Ah, bodo amat deh. Pokoknya gitu," jawab Lilip. Nabila memutar bola mata malas, "Dasar gak jelas," umpatnya kemudian. "Ya, kan aku kesana pas udah rame, Na. Aku tanya sama salah satu warga jawabnya, ada orang tenggelam gitu doang." Lilip membela diri. Nabila hanya manggut-manggut mendengar cerita teman rempongnya itu. Dia sama sekali tidak tertarik dengan urusan orang lain. Otaknya sudah lelah memikirkan hidupnya sendiri. Kalaupun lelaki itu mati, itu sudah takdirnya. "Awalnya aku cuek aja sih. Tapi pas aku lihat ada mobil Pak Bima, aku jadi kayak pengen mastiin gitu. Dan ternyata itu beneran Pak Bima," lanjut Lilip. "Pak Bima, siapa?" "Pak bos aku, Na. Masa sih lupa? Ah, payah kamu." Alis Nabila mengeryit, matanya menerawang ke atas seperti mengingat-ingat sesuatu. Tapi, tetap saja tak ingat. "Yang mana?" jawab Nabila akhirnya. Ya tuhan, sumpah demi apa? Lilip ingin sekali mengeluarkan otak Nabila dan menganti onderdil syarafnya dengan yang baru. Memiliki teman pelupa itu sangat menjengkelkan. "Yang ganteng, tinggi, sexy, hot. Yang pundaknya sandaranable. Yang dadanya pelukaneble. Yang bi-" celoteh Lilip antusias namun terpotong oleh ucapan Nabila. "Stop! Aku udah inget." potong Nabila yang telunjuknya sudah mendarat di bibir Lilip. "Yang mana coba?" tanya Lilip memastikan. Dia ragu teman pikunnya ini bisa ingat dengan baik. "Yang bikin raahim kamu basah kalau dia balas senyum saat disapa karyawannya setiap pagi," jawab Nabila tepat sasaran sambil bersedekap d@da. "Hahaha..." tawa Lilip meledak. Dari sekian banyak hal keren yang dimiliki pak bosnya, kenapa harus bagian itu yang diingatnya. "Kamu emang awesome, Na," jawab Lilip masih diiringi sisa tawanya. Nabila geleng-geleng kepala, bagaimana bisa dia punya teman se-astajim ini? Diapun bangkit ingin mengambil teh yang dia aduk tadi. "Mau kemana?" Lilip menarik lengan Nabila agar gadis itu duduk lagi. "Ambil minum." "Yang cerita aku kok yang haus kamu?" Nabila berdiri lagi, tak menghiraukan Lilip. Dia benar-benar butuh asupan zat cair. Sebenarnya dilain sisi Nabila berpikir, kalau tadi dia tak pergi begitu saja. Mungkin lelaki malang itu tak akan menceburkan diri. Apa secara tidak langsung aku juga ikut bersalah? batin Nabila. Tunggu, kenapa aku jadi perduli? Ini seperti bukan diriku. Lupakan! Kamu nggak kenal sama dia. Batinnya mengingatkan dirinya sendiri. "Buatin sekalian buat aku ya, Na?!" teriakan Lilip dari ruang tamu sedikit membuyarkan lamunannya. "Oh, O-oke," balas Nabila yang wujudnya tak terlihat. Hanya suaranya yang sampai ke ruang tamu. "Na, udah jam sembilan nih. Aku nginep ya?" Lilip mulai rebahan di sofa dan matanya melihat jam dinding. "Oke." teriak Nabila lagi. Dia tak punya jawaban selain meng-oke-kan saja permintaan Lilip. Otaknya sibuk mengingat pria tadi. Kalau dia mati, dia nggak bakal gentayanganin aku,kan? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN