Jangan Dekat Dia

3622 Kata
Putusin Fania." "Mas Novan!" Fania langsung menarik mundur kakaknya ke belakang. Fania memukul d**a kakaknya, dan menatap tajam ke arah kakaknya. "Mas Novan tuh apa-apaan sih?!" kesal Fania atas apa yang baru saja dikatakan oleh kakaknya. Enggan meladeni Fania yang terus mengomelinya, Novan gantian menarik Fania ke belakang tubuhnya. Ia menahan lengan adiknya yang kembali ingin meronta pergi. Mata Novan kembali fokus menghadap ke depan. Ia menatap tajam ke arah cowok yang kini berdiri tak jauh darinya. "Putusin Fania. Sekarang, di depan gue." Azka menggeram kesal. "Kenapa sih Van? Gue cuma telat sedikit anter Fania pulang. Kenapa lo jadi minta gue buat putusin Fania?" "Telat sedikit lo bilang? Lo nggak tahu sekarang jam berapa?!" "Ini semua karena jalanan macet, Van. Lo jangan berpikiran yang nggak-nggak dong." "Ciri cowok b******k adalah cowok yang nggak pernah tepatin janjinya mengenai perempuan. Kalau emang jalanan macet, harusnya lo bisa sadar untuk segera bawa Fania pulang. Dan lo," jari telunjuk Novan menunjuk tepat ke arah Azka. "Ini adalah ketiga kalinya gue ngedapetin lo telat anterin Fania pulang ke rumah." "Mas Novan!!" Air mata mulai membanjiri kedua pipi Fania. Ia sungguh membenci kakaknya. Ia benci pada kakaknya yang selalu saja ikut campur urusannya. Ia benci pada kakaknya yang tak pernah bisa mengerti perasaannya. "Pergi lo sekarang! Jangan pernah lo hubungin atau deketin Fania lagi!" Azka akhirnya pergi dengan beribu kekesalan pada Novan. Walau ia sempat tak tega karena mendapati Fania yang menangis di belakang tubuh Novan. Novan memijit pelipisnya setelah banyak emosi tadi. Ia kembali berdecak pelan saat mengingat bagaimana emosinya memuncak saat tahu adiknya baru saja pulang ke rumah saat jam 10 malam lewat. Novan memutar tubuhnya, dan bergeming di tempatnya. Adiknya masih sibuk terisak. "Masuk, udah malem. Mas Noval udah nungguin kamu di dalam," kata Novan. Saat ia hendak merangkul pundak Fania, Fania langsung menepisnya mentah-mentah. "Mas Novan jahat!" bentak Fania. "Kenapa Mas malah lakuin ini sama Fania?!" Novan menatap lurus mata cokelat milik Fania. Berharap adiknya dapat mengerti maksud baik dirinya. "Jangan marah sama Mas, karena ini demi kebaikan kamu sendiri." Mata Fania menyorot kemarahan dan emosi yang memuncak. "Apanya yang demi kebaikan Fania? Toh, Mas Novan sama Mas Noval juga nggak pernah seneng liat Fania bahagia. Dari dulu juga Mas berdua selalu minta Fania untuk ngejauh dari Kak Azka, kan? Padahal Mas sendiri tahu kalau Fania sayang sama Kak Azka!" Mata Novan menyipit menatap Fania. Ia ikut emosi mendengar Fania yang menyatakan sayang hanya untuk lelaki b******k seperti Azka. ersorot emosi di dalamnya. "Jangan pernah kamu berani menjelaskan soal besar cinta kamu ke Azka, di saat kamu bahkan nggak bisa lihat cowok seperti apa Azka itu." "Kenapa Mas Novan selalu aja menjelekkan Kak Azka seperti itu? Apa sih salah Kak Azka sama Mas?!" "Salahnya adalah, dia udah berani buat adek Mas suka sama dia." Novan melangkah maju terlebih dahulu. Ia meninggalkan adiknya seorang diri di halaman depan rumahnya yang meneriakkan sebuah kalimat yang membuatnya sedih. "FANIA BENCI MAS NOVAN!! FANIA BENCI!!" Degup jantung Fania langsung berpacu lebih cepat. Alis matanya hampir menyatu bersamaan dengan kedua matanya yang segera terbuka dengan lebar. DEG!! Fania mendesah panjang saat memimpikan kembali kejadian 3 tahun ke belakang. Saat di mana ia dipaksa putus dengan Azka, kakak kelas sekaligus pacarnya saat kelas 2 SMA, oleh Novan. Ya, Fania memang pernah menjalin hubungan pacaran dengan seorang laki-laki. Itu pun tanpa sepengetahuan kedua orangtuanya, karena kalau sampai orangtuanya tahu, Fania bisa kena pasal berlapis dalam keluarga. Sejak pemaksaan putusnya dengan Azka, Fania masih menjomblo hingga sekarang. Selain dilarang keras oleh semua keluarganya, kini Fania masih terjebak perjodohan yang juga masih jalan di tempat. Penasaran dengan kelanjutan perjodohan Farel dan Fania? Keduanya sama-sama tidak ada yang bergerak. Farel tak menyetujuinya karena merasa menikah muda adalah sesuatu yang tidak ia butuhkan, sedangkan Fania tetap tak menyetujuinya walaupun sekarang ia tahu kalau ia sudah mulai menyukai Farel. Hhhhhh... Fania sering merasa miris kalau sadar ia bisa jatuh dalam perasaan cinta Farel sesingkat dan secepat ini. Padahal waktu SMA, boro-boro mereka ngobrol bareng, yang ada mereka sering berdebat walaupun karena masalah sepele. Tapi interaksi perdebatan mereka saat SMA tak se-intens dan sesering saat kuliah sekarang. Entahlah, antara Farel dan Fania sama-sama menganggap satu sama lain menyebalkan. Fania bangkit berdiri dari atas tempat tidur. Kakinya melangkah menuju kamar mandi setelah mengambil handuk pinknya. Hari ini Fania harus berangkat ke kampus sebelum jam 10 karena telah memiliki janji dengan sahabatnya. Sekitar 15 menit berada di kamar mandi, Fania keluar dengan menggunakan handuk yang melilit tubuhnya. Fania bergerak menuju lemari pakaian untuk mengambil satu stel baju yang ingin ia kenakan hari ini. Celana jeans serta kaos pendek berwarna hitam yang dibalut dengan outer bermotif abstrak menjadi pilihan Fania hari ini. Ia juga mengambil kerudung segi empat berwarna hitam untuk melengkapi outfit-nya. Hampir setengah dari satu lemari itu berisi celana jeans dengan berbagai jenis warna. Sedangkan untuk atasan, Fania lebih suka menggunakan kemeja atau outer. Setelah siap dengan pakaian, Fania kembali beralih menuju meja riasnya. Ia mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer dan menguncir rambut ikalnya. Fania menyempurnakan dirinya dengan kerudung segi empat berwarna hitam yang ia bentuk segitiga untuk menutupi kepalanya. Sebaik-baik wanita adalah yang melindungi perhiasannya. Dan tubuh/aurat, adalah perhiasan milik wanita yang harus selalu tertutupi dengan hijab dari orang yang bukan mahramnya. Dan walaupun Fania belum bisa berpakaian seperti bundanya atau muslimah seutuhnya, setidaknya Fania sudah bisa konsisten memakai hijab walaupun hijabnya itu masih terkesan pendek. Untuk berdandan, sebenarnya Fania tak terlalu menyukainya. Fania merasa, jika ia menggunakan make up, kulit wajahnya akan terasa gatal, walaupun ia memakai alat make up yang mahal atau berdasarkan saran dokter sekalipun. Tapi tetap untuk melindungi kulit wajahnya, Fania menggunakan pelembab dan krim yang berguna untuk melindungi kulit dari sengatan sinar matahari. Tapi memang dasarnya orang cantik, nggak pakai make up pun, Fania tetap terlihat cantik. Kulit Fania yang berwarna kuning langsat dan bibir yang sudah sesuai dari warna aslinya itu mampu membuatnya terlihat seperti orang yang ber-make up tipis. Siap dengan pakaian dan polesan tipis di wajahnya, Fania kembali menatap pantulan wajahnya dari dalam cermin. Kemarin, setelah entah berapa lama waktu yang tak Fania ingat, ia kembali dipertemukan oleh cinta pertamanya yaitu Azka. Azka adalah sosok laki-laki yang berarti untuk Fania. Tapi sayang, kedua kakaknya tak pernah ada yang menyetujui bahkan ketika Fania dan Azka hanya sebatas adik-kakak. Kemarin saat Fania turun dari mobilnya Novan, Fania tak sengaja bertabrakan dengan seorang laki-laki saat ia sedang terburu-buru. Itulah, di mana Fania baru sadar jika laki-laki yang ia tabrak adalah Azka. Walaupun lama tak saling kontak, Fania dan Azka langsung bisa berkomunikasi dengan baik. Mereka bertukar kabar, dan sesekali balas tawa karena hal lucu yang sederhana. Tapi sayang, saat kebersamaan yang menyenangkan itu baru dimulai, sosok laki-laki yang sedang mengganggu hatinya malah ikut hadir. Siapa lagi kalau bukan Farel. "Hhhhh.. Mimpi lo ketinggian Fan kalau mau balik sama Kak Azka. Impossible," kata Fania dengan menatap lesu wajahnya. Ya mau berharap lebih kan juga tidak boleh. Toh, jika kedua kakaknya saja tidak setuju, bagaimana mau membuat kedua orangtuanya ikut setuju? Lagi pula, saat ini Fania sedang sibuk menata hatinya untuk seseorang yang baru. "Lo diskusiin sama Farel aja kalau gitu." Kening Fania langsung berkerut. "Kok, Farel?" tanyanya dengan bingung atas usulan Puput. "Ya, kan, kalau mata kuliah kaya gini mah pilihannya cuma 2. Lo mau belajar dari Farel atau Lian? Kalau Farel kaya kutub es, kalau Lian... Ya... Lo tau lah, dia...kaya gimana." Ujar Puput dengan mengangkat bahunya tak acuh. Fania menghela napasnya pasrah saat melihat hasil ujian kemarin. Mata kuliah Rangkaian Listrik Fania mendapatkan nilai D, yang artinya ia tidak lulus di mata kuliah tersebut dan wajib untuk mengulang mata kuliah yang sama. "Kalau Papah gue tau nilai gue D, bisa digantung di pohon toge, gue." Keluh Fania dengan menjatuhkan kening ke atas meja. Puput dan Elis bertukar pandang sesaat dan menggeleng pasrah secara bersamaan. Mau bagaimana lagi, mereka tau kalau Fania itu memang paling lemah dalam mata kuliah itu dan sejenisnya. Mereka saja sampai sekarang masih tak nyangka kalau Fania akan mengambil fakultas Ilmu Teknik, lebih tepatnya jurusan Teknik Fisika. Bikin shock memang. "Jangan nyerah, Fan. Lo pasti bisa," ucap Elis menyemangati. "Seketika gue menyesal kenapa gue ambil jurusan ini. Bener-bener bikin gue mati perlahan," keluh Fania lagi. Puput sontak memukul punggung Fania hingga membuat gadis itu meringis sakit. "Kalau ngomong jangan sembarangan." "Iih, tapi susah Put!" hentak Fania yang jadi kesal sendiri. Ia bahkan sudah mengangkat kepalanya. "Kalian tau sendiri gue paling b**o sama matkul beginian." Wajah Fania kembali lesu dan menelusup kepada lipatan lengannya. "Bisa, Fan. Lo pasti bisa. Lo tinggal lebih rajin belajar aja." "Kalian mah enak. Walaupun kadang gesrek, tapi otaknya encer dan pinter. Nggak kaya gue." "Ih, Fania.... Lo gimana sih, setiap orang itu pasti punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kalau kelemahan lo itung-itungan dan fisika semacamnya, gue sama Puput juga punya pelajaran yang kita nggak bisa. Jadi jangan merasa pundung gitu lah..." "Iya Fan, santai aja sih. Kita juga bakalan bantu lo." Fania mengangkat kepalanya, lalu menatap kedua sahabatnya dengan tatapan jengah. "Lo berdua itu pinter itung-itungan, tapi bukan orang yang bisa mengajar atau membagikan ilmu kalian ke orang lain." Ujar Fania yang membuat Puput dan Elis sontak bertukar pandang. "Ngaku kan akhirnya?" sindir Fania. Puput dan Elis sama-sama mengerutkan keningnya, tapi sedetik kemudian keduanya mendesis panjang. "Ya elah, Fan....." kesal Puput dan Elis bersamaan. "Fakta," lanjut Fania saat melihat kedua sahabatnya terlihat akan mengamuk sebentar lagi. "Nggak semua orang bisa jadi dokter, begitu juga dengan guru, Fan. Emang lo kira jadi guru gampang apa? Susah tau." Ujar Elis yang mulai mengeluarkan kalimat pembelaannya. "Dan kita bukannya nggak bisa ngajarin lo. Kita cuma suka bingung, gimana caranya ngajarin orang." Ujar Fania memutar bola matanya malas. "Sama aja!" "Udah sih Fan, cara terakhir adalah lo berguru dari sang master." Kata Puput. "Betul kata Puput. Lo harus berguru sama yang ahli, Fan." "Yang lo berdua maksud dengan master dan ahli itu, siapa?" "Farel lah, Faniaaaaa..." jawab Puput dan Elis kompak. "Chat atau telepon?" "Kayanya sih, mendingan chat aja ya?" "Tapi kalau nanti dibalesnya lama, gimana? Mendingan telepon aja, dong?" "Atau ngomong langsung aja?" Fania langsung menggeram sebal. "Nggak tahu ah, nggak tahuu!!" ia langsung merebahkan tubuhnya dan menutup wajahnya dengan bantal. "Masa harus gue duluan sih, yang w******p dia?" tanya Fania dengan menyingkirkan bantal dari wajahnya. "Tapi mau nunggu kingkong sampe bertelur juga nggak bakalan lah, dia w******p gue. Emang siapa gue, sampe dia whatsapp." Fania mulai membuka ponselnya dan akhirnya membuka aplikasi yang sejak tadi ia pikirkan. Kedua ibu jari Fania langsung berselancar di atas layar ponsel. Ia mencari-cari nomor Farel, si manusia kutub, si wajah papan triplek, manusia menyebalkan, yang ketampanannya juga tak bisa ditampikkan. Muka papan triplek Assalam Delete. Rel Delete. Fania meringis. Bingung mau mengetikkan pesan pembuka seperti apa pada Farel. Karena jujur saja, kalau kalian mau tahu, Fania dan Farel hampir tidak pernah berhubungan melalui roomchat. Fania menyimpan nomor Farel pun sudah saat ia kelas 2 SMA dulu, saat ia pernah terlibat satu kelompok tugas praktikum, dulu. Dan terakhir kali ia mengirimkan pesan pada Farel pun yaa... hanya saat itu. Itu pun Farel hanya membalasnya satu kali. Assalamu'alaikum. Send. Sent. Fania mengembuskan napasnya perlahan. Akhirnya ia telah mengirimkan salam pembuka pada Farel. Walaupun gugup dan bingung, tetap Fania lakukan. Karena bagaimanapun, saat ini ia harus membuang jauh rasa gengsi, demi kebaikan nilai mata kuliahnya yang mengulang. 10 menit. 30 menit. 60 menit. Dari Fania tiduran, tengkurap, duduk, berdiri, sampai duduk lagi, tiduran lagi, Farel tak kunjung membalas pesannya. Jangankan dibalas, di read aja nggak. Fania masuk kembali ke dalam kamarnya setelah mengambil air mineral dari dapur. Ia kembali duduk di kasurnya lalu mengecek notif ponselnya. "Tuh, kan, Fan!" Kesal Fania langsung muncul begitu melihat pesannya yang tak kunjung terbalaskan. "Udah se-jam lewat lo w******p dia, tapi nggak dibales juga. Ini anak emang kelewat ngeselin ya." Bibir Fania langsung mengerucut sebal. Ia langsung melempar ponselnya ke dekat bantal dan bangkit berdiri. Fania mendekat ke kursi belajarnya dengan hentakan kaki kesal. Dengan lesu bercampur kesal, Fania mulai membuku buku materinya. Apa yang mau ia harapkan dari seorang Farel? Berharap laki-laki itu membalas pesannya, lalu berharap laki-laki itu mau menjadi guru dalam waktu singkatnya. Bibir bawah Fania semakin mengerucut maju, begitu melihat berbagai rumus yang terpampang di dalam buku. Ia bingung, dan tak mengerti. Tak tahu harus mulai belajar dari mana untuk memperbaiki nilainya. Tling! Dengan cepat Fania langsung berdiri dan menyambar ponselnya. Senyumnya mengembang mendengar suara notifikasi. Sepertinya itu adalah notifikasi dari pesannya yang terbalaskan. Kak Azka Antara sedih dan bahagia. Sedih karena nyatanya Farel belum juga membalas pesannya, tapi ia juga bahagia karena akhirnya ia mendapat pesan dari Azka. Kemarin saat pertemuannya lagi dengan Azka, Fania tak menolak saat Azka meminta nomor teleponnya. Hai, Fania.  Lagi apa? Senyum Fania mengembang cerah. Ia duduk bersila di atas temlat tidur, lalu mulai menggerakkan kedua ibu jarinya dengan cepat untuk membalas pesan dari Azka. Hai juga, Kak. Lagi duduk di kamar aja. Nggak ngapa-ngapain. Kamu gabut ya? Hehe Besok, mau jalan sama Kakak, nggak? "Jalan????!!!" pekik Fania. "Demi apa?! Ya Allah.... Mimpi apa aku semalem sampe diajak jalan Kak Azka?" mata Fania jadi semakin berbinar. Ia langsung melupakan semua rasa betenya pada Farel karena Azka. Iya Kak. Jalan ke mana? Bioskop, mau? Lagi ada film bagus, loh. "Bioskop?" gumam Fania dengan menatap layar ponselnya. "Kalau ketahuan Mas Novan dan Mas Noval, pasti aku bakalan diomelin. Tapi aku juga kangen sama Kak Azka. Gimana dong?...." "Rel?" Yang dipanggil namanya tak kunjung menyahut, apalagi menoleh. "Rel?!" "Woi Farel!!" panggilan kencang beserta gebrakan di meja mmebuat Farel akhirnya menoleh. Alis tebalnya menukik ke atas karena kesal. Ia kaget. Aldi nyengir. Memperlihatkan deretan giginya dengan wajah tak berdosa. "Sorry. Lo dipanggilin dari tadi nggak nyahut, sih." "Berisik," ketus Farel dengan menatap sinis wajah Aldi. "Yeeee... Mikirin apaan sih, lo?" tanya Aldi kepo. Akhir-akhir ini memang Aldi sering mendapati Farel yang sedang melamun. Seperti sedang memikirkan sesuatu. "Otak gue," jawab Farel dengan kembali menghadap ke depan. Kening Aldi langsung mengkerut bingung. "Otak lo? Lo kan mikir pake otak. Terus, kenapa lo malah mikirin otak lo yang udah lo pake untuk mikir itu?" "Ada yang nggak beres sama otak gue." "Kenapa? Lo sakit?!" tanya Aldi dengan suara yang tiba-tiba meninggi. "Aldi berisik!" seru Sinta dari kursi belakang. "Sinta Jojo, bawel!" balas Aldi. "Aldi Taher!" Farel memutar bola matanya malas. Kayaknya memang sudah takdir Farel di dalam semesta ini, ia selalu bertemu dengan orang-orang yang berisik. Apalagi di kelasnya Farel ini, kalau sudah tidak ada dosen atau lagi break itu ramainya melebihi pasar. Padahal sudah kuliah, tapi kelakuan masih seperti anak sekolah. Farel memilih berdiri dari duduknya. Ia membawa tas hitam miliknya yang ia sampirkan sebelah talinya di bahu kanan. Kedua tangannya masuk ke dalam saku, dengan tangan kanan membekap ponsel. "Eh, Rel. Mau ke mana?" "Cari angin. Lo berisik." Jawab Farel tanpa menoleh pada Aldi. Itu baru karena Aldi dan Sinta, bagaimana jika ada Fania dan dua sahabatnya yang juga punya mulut mercon itu? Bisa pecah kepala Farel. Kebetulan di mata kuliah ini, Farel mengambil dosen yang berbeda. Langkah kaki Farel membawanya ke taman belakang fakultas. Keadaannya sepi, sehingga Farel hanya melihat beberapa manusia ada di sana. Mungkin karena biasanya ini adalah waktu mahasiswa berada di dalam kelas perkuliahan umum. Inilah yang Farel tidak suka. Jika ada dosen yang tidak hadir, tapi juga tak menitipkan tugas untuk dikerjakan, sehingga yang ada seperti tadi. Kelas malah jadi ladang gosip, dan obrolan tak faedah. Farel tiba di salah satu bangku panjang yang ada di taman tersebut. Ia duduk dengan punggung bersandar penuh pada sandaran bangku. Untungnya, di samping bangku ada sebuah pohon palem botol, sehingga sangat membantu menutupi tubuhnya dari terik matahari. Farel mulai mengeluarkan ponsel dan earphone miliknya. Farel memilih sebuah lagu klasik Beethoven Fur Elise. Lagu yang menenangkan dan membuatnya nyaman. Sebenarnya Farel tak terlalu menyukai lagu. Karena kebetulan ia sering diberitahu oleh ayahnya, bahwa mendengarkan musik itu tidak baik dan lebih baik mendengarkan murotal Al Qur'an. "Farel!!" teriak salah satu perempuan yang juga sedang berada di taman. Alis tebal Farel langsung menukik ke atas, seraya matanya yang mencari sang pelaku. Ia langsung memberikan tatapan intimidasi begitu mengetahui suara teriakan tadi berasal dari seorang perempuan yang tampak berlari cepat ke depan. Langkahnya terburu-buru, dengan raut wajah yang terlihat serius. "Rel!" Farel segera menurunkan pandangannya dan kembali menatap layar ponselnya. Sebenarnya tak ada yang ia lakukan, hanya saja itu sebagai bentuk upaya untuk berusaha mengabaikan kehadiran -si gadis bermulut mercon- di sampingnya. "Farel.... Gue lagi ngomong sama lo." Ujar Fania dengan sedikit berteriak karena melihat telinga Farel yang masih tersumpal oleh sebuah earphone berwarna putih. "Fareell!!" Farel berdecak kesal dan langsung mengangkat kepalanya. Fania benar-benar sudah mengganggu ketenangannya. "Apa, sih?!!" "Semalem gue chat lo, kok nggak dibales sih?" tanya Fania dengan mengangkat ponselnya agar Farel mengerti maksudnya. Kebetulan sekali ia melihat Farel ada di taman. Kening Farel mengkerut samar. "Chat apa?" tanya Farel dengan nada malas bertanya. Niatnya kan ingin bersantai, bukan malah diganggu oleh Fania. "Chat gue, Rel. Semalem. Iihh, gimana sih, Rel." "Gue nggak tahu." Fania langsung duduk di samping Farel setelah berdecak sebal. Dengan gerakan cepat tangannya langsung mengambil ponsel Farel dari tangannya. "Fan?!" kesal Farel karena ponselnya diambil begitu saja. "Sebentar. Gue harus cek kebenarannya dulu, Rel." Farel memutar bola matanya malas. Ia jadi menyesal karena memilih ke taman belakang. Akan jauh lebih baik kalau ia tetap berada di kelas, sehingga ia tidak perlu bertemu Fania. Ibu jari Fania langsung mencari aplikasi w******p. Ia membukanya, sementara Farel nampak tak keberatan. Walaupun ia kesal dengan yang dilakukan Fania, ia tetap membiarkan apa yang mau Fania lakukan. "Nggak ada, kan?" "Ada Rel, ada. Orang kekirim kok semalem." Jawab Fania tanpa menatap Farel. Ia terus memantau layar ponsel Farel sambil terus men-scroll isi chat Farel. Fania... Aurellia... Fan... Not found Fania terus mengetik keywords menggunakan namanya. Tapi tak ada. Tak ada yang muncul di layar ponsel Farel. "Kok nggak ada nama gue, sih?" tanya Fania dengan menoleh. Seketika Fania langsung mematung begitu menyadari Farel sedang menatapnya dengan cukup intens. Kornea kedua mata mereka saling menatap lurus, hingga keduanya bisa saling bercermin melalui mata satu sama lain. Farel berdeham dan langsung membuang pandangannya ke depan. Begitu juga dengan Fania yang saat ini langsung menunduk dengan mengembuskan pelan napasnya. Jantungnya mulai berulah. Fania hanya takut, kalau sampai Farel mendengar suara detak jantungnya yang seperti sedang berada dalam pacuan 1000 kuda. "Harusnya kan ada," ucap Fania dengan suara mencicit karena gugup. Fania kembali menatap layar ponsel Farel, dan saat matanya menatap satu pesan yang belum terbuka dengan mengucapkan salam, ia langsung membukanya. Mulut Mercon Assalamu'alaikum Fania membuka info tentang nama kontak Farel yang dinamai -Mulut Mercon-. Seketika matanya membulat saat sadar yang nama kontaknya -Mulut Mercon- itu adalah nomornya sendiri. "Lo namain gue 'Mulut Mercon' di hape lo?!" pekik Fania dengan menatap tajam Farel. "Ya ampun Rel.... Jahat banget sih, lo." Farel menoleh menghadap ke Fania. "Terus gimana dengan 'Muka Papan Triplek'?" tanya Farel yang berhasil membuat Fania mengerutkan keningnya. "Nama gue di hape lo, kan?" lanjut Farel yang membuat Fania seketika membuang pandangannya ke segala arah. Farel tentu tahu itu, karena yaa secara tidak sengaja ia juga pernah membuka ponsel Fania saat ia yang memegangnya. Skakmat! "Ya... Itu... Karena... Mmm... Muka lo kan emang kaya papan triplek. Datar, nggak punya ekspresi." Jawab Fania tanpa berani menatap Farel. "Sama kalau gitu." Kalimat Farel langsung membuat Fania menoleh menatapnya. "Lo itu berisik. Kaya habis dikasih makan cabe mercon makanya nggak bisa diem. Ngomong terus dan selalu mengganggu pendengaran gue." Lanjut Farel dengan alasan yang lengkap dan padat. Kening Fania semakin mengkerut dalam sampai kedua alisnya hampir menyatu. "Kok lo ngesel-" "FANIA!" Panggilan itu langsung membuat kalimat yang hendak Fania lontarkan menjadi gagal. Fania dan Farel kompak menoleh ke sumber suara. Seorang laki-laki dengan tubuh tinggi dan rambut yang terbilang gondrong itu sedang berdiri tak jauh dari mereka dengan tangan melambai ke arah mereka, lebih tepatnya Fania, karena laki-laki itu tadi memanggil nama Fania. Rambutnya yang panjang itu sesekali ikut terbang karena lambaian angin. Laki-laki itu memakai celana jeans yang robek di bagian lututnya, lalu kaos hitam yang dibalut dengan jaket boomber berwarna hitam. "Kak Azka!" sapa balik Fania dengan semangat. Farel menoleh dan melihat Fania dengan tatapan berbinar menatap Azka. Gadis itu segera berdiri, memajukan kaki kanannya, dan- Farel langsung menahan ransel Fania, hingga gadis itu kembali mundur beberapa langkah dan duduk di bangku kembali. "Iih Rel, apaan sih?" tanya Fania dengan menahan gerakan bibirnya. Padahal tadi ia sudah mau menghampiri Azka, tapi malah ditahan oleh tangan Farel yang iseng. "Ada yang mau gue omongin." Fania melirik ke arah Azka. Gadis itu melempar senyum cerah pada Azka terlebih dahulu baru kembali menatap Farel. "Kapan-kapan aja, gue buru-buru." Ujar Fania dengan kembali berdiri, tetapi Farel kembali memegang tali tas Fania, hingga gadis itu tak bisa melangkah ke depan. Fania berdecak kesal. Ia menatap kesal ke arah Farel. "Farel ih. Udah gue bil-" "Jangan deket dia." Ujar Farel dengan cepat sebelum Fania sempat melanjutkan kalimatnya. Fania mendelik sampai alisnya hampir menyatu. Tak salah ia mendengar apa yang baru saja Farel katakan barusan? Semesta seperti sedang menghentikan rotasinya. Waktu seakan berhenti pada detik di mana Farel dan Fania berpusat pada satu pandangan yang sama. Waktu berhenti, tapi pandangan Fania pada wajah Farel masih sangat begitu jelas. Bagaimana tatapan Farel yang baru kali ini ia lihat. Fania tak tahu apa maksud tatapan Farel padanya, yang jelas, kali ini tatapan Farel berbeda. Rambut depan yang Farel sisir ke belakang, langsung bergerak ke depan wajahnya hingga mau menutupi mata kanannya karena terpaan lembut angin. Tepat di detik ketiga Farel dan Fania saling beradu tatap, Farel langsung menurunkan pandangannya ke bawah. Farel berdiri dan melepas pegangan tangannya di tali tas Fania. "Jangan pernah deket dia." Ujar Farel sekali lagi dengan langsung memutar tubuhnya, membelakangi Fania. Farel melangkahkan kakinya terus maju ke depan. Tanpa menoleh dan mengabaikan suara Fania yang sempat memanggil namanya satu kali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN