Kilas Balik — 15
# Permintaan Kecil Benua
__________________________
SEKITAR satu tahun yang lalu, sebelum Samudra dan Benua masuk ke SMA Lencana Puri. Benua selalu menganggap dirinya berbeda dengan anak-anak seumurannya, termasuk Samudra—saudara kembarnya sendiri. Benua merasa hidupnya berbeda dengan Samudra yang mempunyai banyak teman dan diterima oleh banyak orang. Benua pernah merasa iri ketika Samudra bisa berjalan dengan bebas tanpa ada orang yang menghinanya. Samudra selalu mendapatkan pujian karena ketampanannya, kepintarannya, dan semua hal yang ada di dalam diri Samudra; sempurna.
Bahkan, tidak ada satupun orang yang menganggap bahwa kekurangan Samudra adalah sebuah kekurangan. Mereka menganggap semua itu biasa dan bisa memakluminya. Terkadang orang-orang akan mengatakan kata; biasa lah namanya manusia. Seorang sesempurna Samudra memang tidak pernah punya celah kejelekan sedikitpun di mata orang lain. Samudra mampu mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan mudah karena semua kesempurnaan itu melekat dalam dirinya. Samudra yang begitu sempurna. Lagi-lagi, kesempurnaan menjadi soal.
Ketika Samudra bisa bermain dengan bebas bermain dengan anak-anak lain di lapangan bola, Benua hanya bisa menontonnya dibalik jendela atau sekedar mendengarkan cerita seru dari Samudra selepas bermain. Samudra berulangkali mendapat pujian tentang wajahnya yang ganteng dan otaknya yang cerdas. Bahkan, tidak ada satupun kemampuan yang lewat darinya. Samudra serba bisa, multitalent. Akademi maupun non-akademik, dilahapnya habis. Dia adalah tokoh penuh dengan kesempurnaan yang selalu diidam-idamkan banyak orang.
Perbedaan yang selalu membuat Benua merengek kepada Ibunya—bertanya mengapa mereka berbeda padahal berada dalam rahim yang sama, dikandung dalam kurun waktu yang sama, dan dilahirkan pada hari yang sama pula. Namun mengapa, mereka tetap berbeda. Samudra penuh dengan kesempurnaan dan Benua penuh dengan kebalikan kata sempurna itu. Mengapa Samudra begitu disukai dan dirinya begitu dibenci? Samudra punya wajah yang tampan, otak yang cerdas, dan berkepribadian yang menyenangkan. Tidak ada kecacatan sama sekali. Tetapi mengapa Benua berbeda?
Benua dilahirkan bak langit dan bumi dengan Samudra. Samudra adalah langit yang disanjung. Dan Benua adalah bumi yang diinjak. Benua marah karena mereka berbeda dari segala hal. Benua tidak tampan, tidak pintar, dan satu lagi ... dia cacat. Telinganya tidak bisa mendengar dengan baik jika tanpa alat bantu dengar. Tidak bisakah sesuatu yang sempurna dari dalam diri Samudra dibagi dengannya? Misalkan wajah atau otak? Tidak apa-apa Samudra bisa mendengarkan dengan baik. Namun bisakah Benua juga punya keistimewaan dan kesempurnaan seperti Samudra?
Jujur, Benua lelah dengan banyak nasehat tentang mensyukuri apa yang kita punya. Namun apakah mereka juga tidak akan iri jika berada di posisinya. Dia mempunyai saudara yang sangat sempurna, bahkan membuatnya tidak terlihat oleh siapapun diluaran sana karena terhalang oleh pesona Samudra yang tidak akan bisa dikalahkan siapapun, termasuk oleh dirinya.
Samudra punya banyak teman, sering diberikan hadiah karena juara oleh gurunya, dan mempunyai banyak piala serta piagam yang ada di rak kamarnya. Samudra mendapatkan semua itu karena kesempurnaan yang dimilikinya.
Benua meminta kepada Ibu dan Ayahnya untuk mengijinkannya mendaftar di sekolah yang terbaik. Namun Ayah dan Ibunya awalnya tidak mengijinkan karena takut Benua menjadi bahan olok-olokan lagi. Mengingat SMA Lencana Puri adalah sekolah yang bergengsi dan dipenuhi oleh anak orang kaya. Namun Benua berusaha untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa dirinya bisa menjadi orang yang normal jika bergaul dengan orang-orang yang normal pula.
Dan keinginan itulah yang membuat seorang Samudra berusaha untuk mewujudkan keinginan Benua. Dia berusaha untuk mengajari Benua, memberikan latihan agar bisa masuk ke sekolah itu. Akhirnya Samudra pun mengikuti jejak Benua agar bisa melindungi Benua di sekolah itu. Samudra tahu, selama ini mereka berdua sekolah di tempat yang berbeda. Samudra mendapatkan sekolah negeri yang tentunya peluang mendapatkan teman banyak pun memungkinkan. Berbeda dengan Benua yang harus homeschooling selama hidupnya.
Benua hanya ingin menjadi kerang yang keluar dari cangkangnya. Agar tidak selalu bergantung kepada zona nyamannya. Benua ingin mempunyai teman yang banyak seperti Samudra. Setidaknya, Benua ingin mencicipi nikmatnya belajar di bangku sekolah formal. Walaupun pada awalnya harus melewati banyak rintangan. Seperti biaya yang tidak cukup untuk keduanya—Samudra dan Benua. Sehingga Samudra mengambil jalur beasiswa dan akhirnya lolos. Agar Benua bisa dibiayai oleh kedua orang tua mereka.
Semua kenangan masa lalu itu mengusik ingatan Benua. Kedua tangannya meremas kertas yang dipegangnya. Dia menyesal karena pernah merasa iri kepada Samudra, walaupun perasaan itu belum juga selesai. Terkadang Benua akan terus membandingkan hidupnya dengan Samudra jika dia merasa tidak beruntung dalam hidup.
"Apa yang kamu pikirkan sih, Ben?" Tandas Benua sambil mengusap wajahnya kasar.
Klek. Terdengar suara pintu yang tertutup setelah dibuka. Terlihat Samudra yang baru saja masuk ke dalam rumah dengan membawa sebuah plastik berlogo salah satu minimarket yang ada di depan gang rumah mereka. Samudra meletakkan plastik berisi dua kotak s**u di atas meja. Setelah itu Samudra memilih untuk beranjak masuk ke dalam kamarnya.
Benua menatap kepergian Samudra yang tampak lelah. Dia tidak banyak bertanya karena dilihat dari ekspresi wajah Samudra, saudaranya itu sedang lelah. Jika memang sudah mulai berlatih untuk pertandingan, mengapa secepat ini? Namun jika belum, kenapa? Benua memilih untuk berjalan ke dapur, meninggalkan plastik yang dibawa Samudra untuk menuju ke dapur—memanaskan sup ikan yang dibuatkan Ibu mereka sebelum berangkat mengantarkan makanan ke salah satu rumah yang memesan makanan.
Benua menatap dua potong bagian ikan yang berada di dalam panci. Aroma masakan itu menyeruak begitu saja, menggodanya untuk memakannya. Namun, Benua sudah makan tadi. Satu bagian ikan adalah milih Samudra, satu bagian lagi milik Ayah mereka yang belum pulang.
"Makan aja," tandas Samudra yang menarik salah satu kursi yang ada di dekat dapur.
Benua menoleh setelah mematikan kompor, "kamu enggak mau makan? Ibuk sudah masak untuk kamu dan Ayah. Aku sudah makan sebelum kamu pulang."
"Enggak! Gue udah makan sama Melvin tadi," bohong Samudra karena tahu bahwa sup ikan adalah makanan kesukaan Benua.
Benua menatap Samudra dengan serius, "kamu serius udah makan?"
Samudra mengangguk singkat, "gue mau balik ke kamar. Mau ngerjain tugas yang tadi. Terus itu ada s**u, satu-satu sama gue. Sama tolong punya gue dimasukin kulkas."
Samudra beranjak dari duduknya untuk masuk ke dalam kamarnya, meninggalkan Benua yang tidak bereaksi apapun. Benua sendiri, menatap potongan ikan yang ada di dalam panci. Tidak berniat untuk memakannya. Benua menutupnya kembali, lalu beranjak ke ruang tamu untuk mengambil plastik berisi dua kotak s**u tadi dan dimasukkannya ke dalam kulkas dua-duanya.
Benua mengetuk pelan pintu kamar Samudra dan setelah terdengar suara Samudra yang menyuruhnya masuk, baru lah Benua masuk ke dalam. Dan yang pertama kali Benua lihat dari kamar Samudra adalah tumpukan buku baru, lagi. Entah sudah berapa banyak buku yang menghiasi kamar Samudra. Namun dalam beberapa hari, buku-buku itu sudah berganti lagi karena Samudra telah selesai mempelajarinya. Benar-benar definisi orang yang gila belajar.
"Ada apa?" Tanya Samudra yang masih berbaring di kasurnya tanpa berniat untuk beranjak.
Benua menarik kursi belajar milik Samudra dan mendudukinya, "aku cuma mau memastikan kamu enggak kenapa-kenapa. Mukamu aneh!"
"Memangnya muka gue kenapa?" Tanya Samudra sambil memegang wajahnya.
Benua menggeleng pelan, "katanya mau latihan, kenapa balik cepat?"
"Ada sedikit masalah! Makanya diundur latihannya," jawab Samudra sambil mengingat-ingat tentang kejadian tadi di lapangan. "Lagian, kenapa tiba-tiba anggota tim futsal diganti padahal pertandingan sudah di depan mata. Aneh enggak sih menurut Lo?" Sambung Samudra heran.
"Diganti? Memangnya kenapa diganti?" Tanya Benua yang berubah penasaran.
Samudra mengangkat kedua bahunya tidak tahu, "hanya karena seorang Laut. Katanya sih, dia pemain yang bagus. Tapi entahlah! Gue merasa kalau semua ini memang sudah diatur sejak awal. Kalau pun Budi sama Pram mainnya enggak bagus waktu pertandingan persahabatan waktu itu, harusnya mereka masuk kursi cadangan dong. Kenapa harus langsung dikeluarkan begitu saja? Enggak adik, 'kan?"
Benua terdiam, jika sudah mendengar nama Laut, tampaknya sudah tidak bisa dirubah. Dia tidak ingin apa yang terjadi kepada Aldi, akan menimpa Samudra juga. Benua tidak mau Samudra menjadi target Laut untuk dikeluarkan dari sekolah. Walaupun tidak semudah itu, namun tidak ada yang tidak mungkin untuk seorang Laut, bukan?
"Lebih baik, kamu jangan sampai ada masalah sama Laut, Sam." Tandas Benua yang tiba-tiba serius.
Samudra menoleh ke arah Benua yang terlihat khawatir, "kenapa? Lo enggak mau gue celaka? Udah telat, Ben. Gue udah maki-maki dia tadi di lapangan. Habisnya gue enggak terima gitu aja keputusan Pak Koko yang menyingkirkan teman-teman gue hanya karena Laut dan Raka yang mau masuk tim."
"Sam ... kamu enggak kenal gimana Laut, 'kan? Jangan aneh-aneh deh! Aku enggak mau kamu dapat masalah dan berakhir di kantor kepala sekolah lagi." Sambung Benua khawatir.
Samudra memilih bangun dari tidurnya dan menatap Benua dengan penuh, "gue enggak suka siapapun itu orangnya, menginjak-injak harga diri orang lain hanya karena dia punya kedudukan, uang, dan segalanya. Lo tahu sendiri, gue enggak pernah takut dikeluarkan. Gue cuma takut kalau gue enggak pernah menjadi orang yang berani untuk menantang segala ketidakadilan di dunia ini. Kalau enggak ada yang melawan, yang berkuasa semakin berkuasa. Mereka enggak akan mau tahu soal orang yang mereka sakiti."
"Tapi enggak harus pakai kekerasan juga, 'kan? Kamu bisa pakai cara lain," jawab Benua.
Samudra tersenyum sinis, "kekerasan dilakukan karena memang mendesak, Ben. Kalau dia mukul duluan, sebisa mungkin gue pukul balik. Kalau Lo bilang gue sama aja dengan mereka kalau ikutan pakai kekerasan, gue enggak akan peduli. Kadang, orang harus dipukul balik untuk mengerti bagaimana sakitnya dipukul. Semua itu bukan balas dendam, tapi hanya pelajaran."
"Kenapa kamu sulit dikasih tahu, sih? Aku cuma khawatir," kesal Benua.
Samudra mengangguk, "iya, gue pun tahu kalau Lo khawatir. Tapi selama ini, gue sekolah di sana karena gue cuma mau jagain Lo. Bukan karena gue mau sekolah di sana. Yang harus Lo pikirkan itu bukan gue, tapi diri Lo sendiri. Lo cuma harus bertahan sampai lulus sekolah. Bukan terus mikirin masa depan gue. Kalau pun gue lulus, berarti itu bonus yang pantas gue terima karena sudah menyingkirkan hama di sekolah ini. Kalaupun gue enggak sampai lulus, gue masih punya Lo untuk—"
"Intinya ... aku enggak mau kamu bertindak bodoh! Kamu pun harus lulus bareng sama aku. Walaupun kita kembar, tapi aku lahir duluan. Jadi, aku yang Abangmu. Turuti aja apa yang aku mau." Tandas Benua.
Samudra tertawa pelan, "cuma beda tiga menit ini."
••••••••••