Kilas Balik — 13
# Aldi Pindah?
__________________
TATAPAN mata Benua tampak sayu saat mendengarkan kabar tentang teman mereka—Aldi—yang pindah sekolah. Tidak hanya Benua yang kaget mendengar kepindahan Aldi yang terbilang mendadak, namun Samudra dan Brandon pun sama. Benua menundukkan kepalanya dalam-dalam, semua ini pasti ada hubungannya dengan kejadian waktu itu. Kejadian yang sengaja Benua tutup-tutupi dari Samudra. Mungkin semua orang pun tidak akan berani membahasnya. Jadi, Benua tidak akan was-was jika ada yang memberitahu Samudra. Benua hanya tidak ingin Samudra mendapatkan masalah jika sampai mengamuk dan melukai Laut.
Semua orang yang berada di kelas pun tampak tidak terganggu sama sekali. Mereka memilih untuk sibuk membahas tugas ketimbang bertanya satu sama lain tentang kepindahan Aldi yang mendadak. Mereka semua seperti tidak peduli dan memilih untuk tidak membahasnya. Bahkan tidak terdengar sama sekali kabar bahwa Aldi mungkin saja pindah karena berurusan dengan Laut—si anak baru. Jika semua itu karena Laut, maka Benua harus bisa menjauhkan Samudra dari Laut apapun alasannya. Benua harus melindungi Samudra, lebih keras daripada biasanya.
Benua menatap semua temannya yang berada di kelas ini. Bahkan tidak ada yang merasa kehilangan sama sekali. Mereka semua sangat jahat memang. Bahkan mereka hanya menonton saat Laut menghajar Aldi di depan mata mereka. Benua tidak tahu jika dunia begitu kejam dan selalu berpihak kepada orang-orang seperti Laut yang mempunyai uang dan kekuasaan.
Brandon sendiri menatap ke arah Benua. Dia curiga bahwasanya apa yang dikatakan Benua sebagai suatu rahasia, ada hubungannya dengan Aldi. Bukankah sejak pagi Benua heboh mencari Aldi? Bahkan sampai mengabaikan Samudra yang sedang bersama dengan Laut. Mereka pun tidak sengaja beradu tatap, Brandon hanya bisa menghela napas panjang dan mengalihkan pandangan matanya ke arah kursi kosong disamping kanannya, kursi yang biasanya Aldi pakai. Sekarang dia sendirian, tidak ada Aldi yang akan membantunya mengerjakan tugas dan menjadi teman satu kelompoknya lagi.
"Gue harap, Lo enggak sedang menyembunyikan sesuatu dari gue, Ben." Tandas Samudra tiba-tiba.
Benua menatap Samudra yang tampak serius, "a-aku..."
"Lo tahu 'kan kalau gue percaya banget sama Lo. Jadi jangan pernah menyembunyikan apapun dari gue." Ucap Samudra kemudian.
"Sam—"
"Pelajaran udah mulai! Buka buku Lo dan fokus," potong Samudra dengan mengeluarkan buku paketnya dari dalam tasnya.
Benua tidak bisa mengatakan apapun kepada Samudra. Jangankan bicara jujur tentang apa yang terjadi pada dirinya, menyebutkan nama Laut saja, sudah membuat lidahnya kelu. Benua memang tidak takut kepada Laut, walaupun dia semena-mena. Namun Benua hanya tidak ingin Samudra mendapatkan masalah jika tahu kejadian yang sebenarnya. Apalagi Laut juga yang merusak alat bantu dengarnya waktu itu. Samudra bisa mengamuk lebih parah dan mungkin kali ini tidak hanya mendapatkan SP saja. Bisa jadi, dia datang keluarkan, 'kan? Seperti Aldi.
Walaupun sedang fokus dengan penjelasan guru dan mencatat materi yang menurutnya penting, Samudra sama sekali tidak melepaskan lirikan matanya dari Benua. Baginya, tetap ada yang tidak beres dari kejadian ini. Mungkin semenjak seorang Laut masuk ke sekolah ini—sekitar satu Minggu yang lalu. Semuanya tidak baik-baik saja. Pasti ada orang yang keluar dari sekolah ini tanpa sebab. Meskipun Samudra tidak tahu penyebabnya. Namun, semua itu sudah membuatnya curiga.
"Sam," panggil Benua dengan menyenggol lengan Samudra yang sedang fokus mengerjakan latihan soal di bukunya.
Samudra hanya menoleh sejenak, setelah itu kembali fokus membaca deretan tulisan di bukunya.
"Aku mau pinjam buku catatan punyamu. Aku telat nulisnya, jadi kurang catatannya." Ucap Benua kepada Samudra sambil menatap bukunya.
Samudra menyodorkan buku catatannya tanpa bicara. Benua menerimanya dan mulai mencatat beberapa bagian yang belum sempat dia catat. Sesekali dia melirik ke arah Samudra yang tampak fokus dengan pekerjaannya. Bahkan ketika guru meminta siswanya untuk maju ke depan—mengerjakan soal—Samudra maju pertama. Laki-laki itu memang total dalam sekolah. Mejadi siswa yang serba bisa dan sepertinya terlalu sayang ditempatkan di kelas IPS. Bukan apa-apa, namun nilai Samudra mampu untuk menjadi siswa IPA.
"Bagus, Sam." Puji gurunya dengan menatap pekerjaan Samudra yang selalu sempurna. "Seharusnya kamu tidak pindah kelas," sambungnya dengan menepuk bahu Samudra.
Samudra tersenyum tipis, "menjadi anak IPS tidak terlalu buruk, Pak. Saya lebih nyaman dengan lingkungan yang mendukung saya, ketimbang lingkungan yang terus menekan saya."
"Wah, kamu memang beda dengan yang lain. Saya sangat menghargai keputusan kamu. Sekarang kamu boleh duduk," ucap guru itu yang mempersilakan Samudra untuk kembali ke kursinya.
Lalu guru itu menawarkan kembali siswa yang lain untuk maju ke depan mengerjakan soal nomor dua. Tetapi tidak ada yang mengangkat tangan, sampai Benua yang mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Samudra menoleh ke arah Benua yang jarang tampil di kelas. Walaupun bisa mengerjakan, Benua jarang mau mengambil kesempatan untuk mengerjakan. Katanya, takut dikira cari muka dengan guru. Namun kali ini, Benua memberanikan dirinya untuk maju ke depan. Guru mereka pun mempersilahkan Benua untuk maju.
Samudra menatap Benua dari tempatnya. Melihat bagaimana usaha Benua untuk menyelesaikan soal nomor dua itu. Terlihat sekali jika Benua sedikit kesulitan dalam membuat kurvanya, namun pada akhirnya dia bisa menyelesaikannya.
"Wah, kamu banyak belajar Benua. Kurvamu hampir betul sebenarnya, hanya kurang sedikit. Tapi tidak masalah, namanya juga belajar." Komentar guru ekonomi sekaligus wali kelas mereka kepada Benua yang mengangguk-anggukkan kepalanya.
Benua pikir, dia akan diremehkan ketika salah. Namun ternyata, ketika dia berada di depan kelas, berusaha untuk mengerjakan dengan baik—walaupun salah sekalipun, Benua merasa lebih paham. Apalagi ketika gurunya menjelaskan kesalahannya. Benua menjadi lebih paham dan mampu memperbaiki kesalahan yang sudah dibuatnya.
"Ternyata, maju ke depan tidak terlalu menyeramkan seperti yang aku pikir sebelumnya." Lirih Benua setelah kembali ke kursinya. "Terimakasih karena sudah mengajarkan untuk berani menghadapi ketimbang harus duduk di sini tanpa mengerti apapun yang salah atau yang benar." Lanjut Benua dengan tersenyum.
"Gue enggak akan maksa buat cerita. Tapi Lo harus ingat kalau enggak semua masalah gampang dan mudah diselesaikan hanya dengan diam." Tandas Samudra akhirnya.
Benua mengangguk pelan, "aku enggak melakukan apapun, Sam. Kenapa kamu enggak berhenti untuk curiga sih sama aku?"
"Hm ... semoga gue bisa percaya sama Lo seterusnya." Jawab Samudra dan kembali fokus dengan pelajaran.
Samudra selalu percaya dengan Benua. Namun, dia juga merasa ada hal yang aneh ketika Benua bilang tidak tahu apa yang terjadi kepada Aldi. Nanti, Samudra akan mencari tahunya sendiri. Pasti ada yang tidak beres, bukan?
Setelah melewati beberapa pelajaran pagi ini, bel istirahat pun berbunyi. Semua siswa dari seluruh kelas pun berbondong-bondong keluar dari dalam kelas masing-masing untuk pergi ke kantin. Samudra mengambil beberapa buku yang sempat dia pinjam di perpustakaan.
"Gue mau pergi ke perpustakaan," ucap Samudra sambil menenteng beberapa buku yang sudah selesai dipelajarinya dalam waktu satu hari saja.
"Oke ... aku mau di kelas aja. Ibuk udah bawain kita bekal juga. Kalau Brandon mau ke kantin?" Tanya Benua kepada Brandon yang berada di kursinya.
Brandon menggeleng, "aku juga mau di kelas aja. Kayanya, aku mau tidur aja deh. Semalam kurang tidur cuma gara-gara ngerjain tugas yang super banyak."
Samudra hanya mengangguk sekilas dan berjalan keluar dari kelasnya sendirian. Tidak sengaja, Samudra berpapasan dengan Laut dan kedua temannya yang mungkin baru saja dari rooftop. Tercium aroma asap rokok dari ketiganya. Namun Samudra tidak mau berkomentar apapun. Laki-laki itu hanya pergi begitu saja, melewati ketiga orang yang senyam-senyum seperti orang gila.
"Samudra..." Panggil Laut setelah Samudra melewatinya.
Samudra berhenti namun tidak menoleh ke belakang sama sekali. Laki-laki itu hanya ingin mendengar apa yang akan dikatakan Laut.
"Lo sekolah di sini karena beasiswa aja bangga! Itu artinya, Lo enggak sebanding dengan siswa lainnya di sini. Bisa-bisanya Lo berlagak keras seperti ini! Memalukan," ejek Laut dengan gayanya yang tengil.
Samudra tersenyum tipis, "harusnya Lo bangga sama gue."
"Apa? Bangga?" Tanya Laut dengan tertawa. "Kenapa gue harus bangga sama Lo?" Teriak Laut karena sangat kesal.
Samudra membalikkan tubuhnya dan menatap Laut yang berdiri tepat di depannya, "gue bisa masuk ke sekolah ini dengan beasiswa penuh. Bukan karena gue nyogok kepala sekolah. Harusnya Lo bangga, karena ada siswa yang mainnya bersih karena murni pakai otak!"
"Lo ... b******n!"
Samudra tertawa mendengar umpatan kasar yang keluar dari mulut Laut, "setidaknya, gue b******n yang cerdas. Udah ya, gue enggak ada waktu meladeni kalian semua. Lo harus banyak belajar, Laut. Kalau Lo mau menggertak gue, setidaknya cari cara yang gue takuti. Ah, tapi sayang ... gue enggak takut dengan apapun."
Samudra tersenyum sinis ke arah Laut dan pergi begitu saja. Memang, dia tidak takut dengan siapapun. Dia tidak pernah merasa terganggu atau terancam hanya karena orang yang sedang dilawannya mempunyai status sosial yang tinggi. Samudra sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu. Dia hanya tahu tentang dua jenis manusia. Yang mengganggunya dan tidak mengganggunya. Maka dari itu, Samudra akan membereskan orang yang mengganggunya.
Setelah sampai di perpustakaan, Samudra berjalan menuju ke tempat penjaga perpustakaan untuk mengembalikan buku yang telah dipinjamnya kemarin. Setelah itu, Samudra berjalan menuju rak-rak buku pelajaran yang lain untuk meminjamnya kembali. Dia harus benar-benar bisa menyelesaikan semua soal-soal yang ditargetkan untuknya. Bukankah Samudra sudah sangat bekerja keras?
"Kamu suka belajar IPA, juga?" Tanya seorang perempuan yang berada di rak depan. Mereka bertatapan lewat lubang di rak.
Samudra tersenyum tipis, "hm ... ilmu pasti memang lumayan menyenangkan."
"Mau aku rekomendasikan buku yang bagus?" Tanya perempuan dengan name tag di d**a tertera nama, Lavina.
Samudra mengangguk pelan, "buku apa?"
Lavina menyodorkan sebuah buku paket yang pernah dibacanya. Buku yang sering dia gunakan ketika akan olimpiade.
"Mungkin akan lumayan membuat kamu bingung. Tapi aku yakin, kamu bisa menyelesaikannya." Ucap Lavina seraya tersenyum tipis.
Samudra mengerutkan keningnya saat melihat sebuah luka di pergelangan tangan Lavina saat memberikan sebuah buku kepadanya tadi.
"Hm ... sekarang tangan Lo kenapa? Jatuh lagi?" Sinis Samudra menatap pergelangan tangan Lavina.
Lavina langsung menyembunyikan tangannya, "ah ... ini bukan apa-apa kok. Kalau gitu, aku pergi ke kelas dulu ya."
"Hai..."
Langkah Lavina terhenti karena mendengar suara Samudra yang mencoba menghentikannya.
"Gue udah bilang sama Lo. Kadang, tangan diciptakan untuk memukul balik. Orang lain enggak akan tahu bagaimana rasanya sakit, kalau tidak merasakannya secara langsung."
•••••••••