“Nanti Ivana sama nenek dulu, ya? Papa mau mandi soalnya,” ujar Ivan pada seorang bocah kecil yang saat ini baru saja selesai dia mandikan.
Tangan Ivan yang biasanya digunakan untuk mengoperasi pasien ortopedi, dalam kesehariannya digunakan untuk merawat Ivana. Putrinya yang kini sudah kehilangan ibunya namun sayangnya masih belum mengerti keadaan ini.
“Okay, Papa,” sahut Ivana.
Ivana merupakan nama yang terinspirasi dari penggabungan nama kedua orang tuanya, Ivan dan Aluna. Namun Ivana juga berarti Pemberian Tuhan. Balita berumur dua setengah tahun ini lebih lama tinggal bersama nenek dan kakeknya dari pihak Ivan atau Aluna sebab saat fase kehilangan Aluna masih mendera Ivan, itu hampir 7 bulan lebih.
Saat itu merupakan waktu yang sangat berat baginya, 3 bulan awal dia cuma menjadi pendiam tapi telah kembali bekerja sebagai dokter. Ivana dia tidak pedulikan karena melihat anaknya seperti melihat Aluna dan itu makin membuat Ivan tidak sanggup. Hingga sebuah alasan muncul untuknya sedikit bangkit dari semua ini adalah saat Ivana dinyatakan memiliki tumor otak dan itu cambukan keras untuk Ivan.
Sejak itu Ivan tidak pernah lagi meninggalkan Ivana, permata hidupnya dan Aluna. Dia berjanji akan menjadi ayah yang baik untuk putri semata wayangnya.
“Tapi Papa janji hari ini ke mall sama aku, ya? Jangan ke rumah sakit!” tutur Ivana yang kembali mengingatkan ayahnya supaya tidak tiba-tiba ke rumah sakit.
Ivan menggaruk belakang kepalanya, dia sih jelas berjanji dan ingin menyanggupinya. Tapi kalau ada panggilan dari rumah sakit, Ivan juga tidak bisa apa-apa.
“Papa janji, tapi kalau Oom Rumah Sakit telpon, Papa harus ke sana dan selamatkan orang,” ujar Ivan yang masih berusaha berulang kali memberi peringatan pada putrinya.
Dengan sabar dia melakukan itu karena harus memaklumi juga sebab putrinya masih kecil dan cuma punya dia. Tapi pekerjaan Ivan kadang tidak tahu libur sehingga sulit menghabiskan waktu bersama jika memang ada situasi darurat di rumah sakit.
Wajah Ivana langsung cemberut tapi setelah Ivan menggendongnya, bocah kecil ini akan segera tertawa lagi. Ivan membawa putrinya ke ruang tengah dimana neneknya berada. Menyerahkan Ivana di sana sementara itu dia harus mandi sebelum menepati janjinya untuk ke mall menghabiskan waktu berdua di hari Minggu.
“Kenapa takdir harus begini padaku?” ratap Ivan.
Di bawah guyuran shower, Ivan justru kembali memikirkan apa yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak dua hari ini. Tentang Nirmala yang telah menyita perhatiannya karena suatu hal selain karena remaja ini adalah putri dari sahabatnya. Benang merah di antara mereka cukup rumit dan tidak disangka akan menjadi seperti ini.
***
Mengenyahkan kesedihannya, Ivan kembali menjadi seorang ayah yang sosoknya ibarat pahlawan di mata anak mereka. Dengan mobil yang dikemudikan oleh sopir, Ivan kemudian bisa duduk di jok belakang bersama anaknya yang ada di car seat. Mereka menuju mall dengan keriangan Ivana mengiringi sepanjang jalan.
“Aluna mau naik komedi putar?” tanya Ivan pada putrinya yang tampak cukup tertarik pada permainan ini sejak masuk ke area main di sebuah mall.
“Iya, Papa!” jawab Ivana dengan lantang dan berhasil membuat Ivan tertawa.
“Okey kalau gitu!”
Selama kurang lebih 1 jam mereka berdua menghabiskan waktu dengan bermain berbagai macam jenis permainan yang ada. Tapi lebih banyak dihabiskan untuk naik komedi putar sampai rasanya Ivan pusing, namun tidak bisa menolak permintaan putrinya tersayangnya ini.
“Udah ya sayang, kita pergi makan dulu.”
Melihat jam sudah pukul 11 siang, Ivan lantas harus menyudahi semua ini karena waktu makan putrinya lebih penting. Dan setelah ini dia pasti harus menghadapi Ivana yang kadang menjadi cukup susah untuk makan. Tapi Ivan berdo’a semoga itu tidak terjadi hari ini.
“Ivana mau mam apa?” tanya Ivan pada putrinya saat mereka berada di tengah-tengah area pujasera.
Tapi Ivana yang ditanyai tidak menjawab karena sibuk memegang bando bentuk kupu-kupu yang baru saja dibelinya sehingga Ivan yang akan mengambil alih. Dia memilih makanan barat saja kali ini untuknya steak dan untuk Ivana adalah macaroni carbonara. Yang tentu saja untuk putrinya dia telah memeriksa dengan teliti pada penjualnya karena takutnya ada bahan yang membuat putrinya bisa alergi.
“Wah ...” Ivan menggeleng takjub melihat isi piring putrinya lenyap ke dalam perut bocah kecil itu.
Hari ini do’anya telah terkabul bahwa putrinya tidak menolak makanan yang disuguhkan padanya. Ivan patut bersyukur tidak ada drama menangis atau Ivana yang betah membungkam mulut. Kadang soal ini, dia masih harus belajar banyak dari ibunya untuk menata kesabaran.
“Pinternya anak papa,” gumam Ivan seraya mengusap puncak kepala putrinya.
***
“Kurang apa lagi?” tanya Rafi pada Nirmala yang sedang berjalan di depannya.
Mereka tengah berada di bagian super market sebuah mall karena hendak berbelanja untuk keperluan camilan dan bekal piknik ala-ala yang diadakan teman sekelas. Nanti akan berkumpul di rumah seorang teman yang punya lahan parkir cukup luas, tapi sebelum itu semuanya telah dibagi tugas untuk membawa sesuatu.
“Beli buah, air minum sama jajanan yang manis gitu,” jawab Nirmala setelah meletakkan roti lapis yang masih lama masa kadaluarsanya.
Rafi mengikuti kemana Nirmala berjalan dengan troli yang dia bawa sedangkan temannya ini yang akan menjadi penunjuk jalan. Rafi mana paham kalau disuruh belanja begini, dia bahkan tadi baru saja ditabok karena memilih jenis roti mahal karena katanya bisa menghabiskan anggaran biaya yang sudah diatur.
Jadi lebih baik dia diam saja dan mengikuti maunya nyonya di depannya ini.
“Area jajanan ada di sebelah kanan,” kata Rafi memberitahu Nirma yang sedang melihat papan petunjuk namun dia duluan yang menemukannya.
“Oke, let’s go!” kata Nirmala yang langsung berbelok ke arah yang Rafi tunjukkan.
Dengusan geli Rafi muncul melihat tingkah Nirmala barusan. Atau mungkin sebenarnya semua tingkah Nirmala baginya memang bisa mengundang tawa, cuma Rafi yang tahu.
“Eh, itu Rafi drumer ‘Gandewa’ bukan sih?”
Tiba-tiba saja Rafi mendengar ada orang yang mengenalinya yang membuat dia lantas pura-pura menelpon dan kabur dari tempatnya barusan. Dia bukannya tidak mau jadi orang yang ramah, tapi dia sulit berinteraksi dengan orang baru, kecuali kalau sekedar menyapa dia tidak masalah.
“Kenapa lo?” tanya Nirmala karena melihat Rafi seperti sedang dikejar sesuatu.
“Ada yang ngenalin gue tadi,” jawab Rafi dengan masih berusaha mencari topi di tas kecilnya tapi lupa ternyata benda itu tertinggal di mobilnya. “s**t! Lupa nggak kebawa topinya.”
“Hahahha jadi artis susah ternyata, ya?” ledek Nirmala yang melihat Rafi memang cukup kesulitan menjalani ketenarannya sejak video dia sedang bermain drum viral di t****k.
“Ck! Brisik!” decak Rafi yang sudah katam kalau Nirmala pasti akan mengejeknya.
Dan cuma Nirmala yang akan begitu dan seperti punya benteng sendiri akan pesona Rafi. Makanya cowok ini juga nyaman berteman dengannya karena mereka hampir tidak pernah membahas soal sosok Rafi yang jadi terkenal dengan 23 juta views.
“Mau pakai hodie gue?” tawar Nirmala sembari menunjuk hodie warna biru tua yang sedang dipakainya.
Sebuah hodie yang over sized sampai-sampai hampir menutupi seluruh pahanya. Dia memakai pakaian hangat ini karena akan menuju tempat piknik yang udaranya cukup dingin sehingga menurutnya ini pakaian yang paling cocok.
“Lo pake daleman kan di dalem hodie?” Rafi malah balik bertanya karena ragu kalau saat ini Nirmala cuma pakai hodie dan dalaman tangtop.
PLAK
Sebuah geplakan telah mendarat di kepala Rafi karena bisa-bisanya mengira begitu. “Ya iya lah! Ya kali gue mau ke gunung pake bikini!”
“Kali aja iya,” cetus Rafi lalu menghindar sebelum digeplak lagi oleh tangan sadis temannya ini.
Segera saja mereka bertukar pakaian luaran yang mereka gunakan. Kemeja flanel kotak-kotak warna cokelat muda yang senada dengan celana jeans yang dipakainya, dia memberikan itu pada Nirmala yang ternyata memakai kaus di balik hodienya. Kaus putih pas badan yang menunjukkan lekuk tubuhnya yang bisa dibilang mm... merupakan kriteria Rafi dan mungkin banyak cowok lainnya.
Tapi selama ini Nirmala sendiri jarang memakai pakaian yang menunjukkan lekuk tubuhnya.
“Khm!” Rafi berdehem untuk mengingatkan dirinya supaya tidak berpikir macam-macam.
“Cocok juga lo pakai,” kata Rafi pada kemejanya yang sudah ada di tubuh Nirmala.
“Pas juga ternyata di badan gede lo,” timpal Nirmala yang merujuk pada hodienya yang untungnya masih menyisakan ruang di tubuh tegap Rafi.
“Ck, gue bukan gede. Ini setelan pundaknya udah dari sono.”
Sebagian cowok akan menyukai punya pundak lebar bak kulkas dua pintu, tapi bagi Rafi ini kurang nyaman. Kadang dia sulit mencari pakaian yang bisa pas dengannya karena hal ini. Rafi menaikkan tudung hodie yang dipakainya sehinga bisa makin menyamarkan kalau ini adalah Rafi, drummer band indie Gandewa yang sedang viral.
“Udah ah. Kita kudu ambil jajanan manis, permen, biskuit sama yang lain,” putus Nirmala karena waktu mereka sudah tidak banyak lagi sebelum kumpul bersama teman-teman nanti.
***
“Papa beli melow,” celetuk Ivana saat mereka berada di pusat perbelanjaan.
“Siap, sayang,” sahut Ivan menyanggupi.
Melow yang dimaksud Ivana adalah marshmallow, putrinya sangat suka camilan ini dan tentu Ivan akan membelikan yang tidak ada penambah rasanya. Untungnya sang tuan putrinya ini belum mengerti jika camilan kesukaannya punya banyak rasa.
“Oh maaf,” ucap seorang di belakang Ivan yang baru saja menubruk punggungnya.
“Maaf—oh dokter!”
Ivan yang baru saja membalikan tubuhnya langsung dibuat terkejut ketika dia bertemu seseorang yang tidak dia sangka. Seseorang yang mengharuskannya menjadi mirip seperti penguntit untuk bisa melihatnya.
“Dokter masih ingat saya? Saya anaknya Pak Saad,” ucap orang itu di depan Ivan.
“Mm ... ya, tentu.”
Mana bisa Ivan lupa tentang Nirmala. Karena ada bagian dari perempuan ini yang sangat membuat Ivan rindu sampai tidak bisa membendungnya akhir-akhir ini. Dan lagi-lagi Tuhan rupanya membawanya untuk kembali bertemu dengan Nirmala.
“Ah syukurlah. Saya minta maaf tadi nggak sengaja nabrak dokter,” ucap Nirmala.
Karena tadi dia sedang bercanda dengan Rafi, sampai tidak menyadari ada orang di depannya saat akan mengambil permen yang menjadi satu rak dengan marshmallow.
“Nggak masalah. Itu juga tidak sengaja,” timpal Ivan yang tengah sekuat tenaga menahan diri untuk mendekat pada Nirmala sehingga dia bisa melihat jelas ke dalam mata perempuan ini.
Rafi melihat percakapan ini dengan bingung tapi sepertinya dokter ini adalah teman ayahnya Nirmala. Dokter dengan perawakan yang bisa dibilang lebih bagus dari Rafi sendiri dan wajah yang “dewasa”, atau sudah matang.
“Kalau gitu saya duluan,” ucap Ivan saat rasanya dia sudah hampir mencapai batasnya untuk menahan diri.
Dia harus segera pergi dari hadapan Nirmala sekarang juga.
“Baik, Dokter. Hati-hati di jalan,” balas Nirmala dengan sopan dan dibalas anggukkan kaku oleh Ivan.
“Yuk, gue udah dapet permennya. Kita ke bagian buah,” tutur Nirmala seraya menarik troli yang dipegang Rafi karena cowok ini malah bengong.
Setelah selesai mencari semua hal yang dibutuhkan, mereka kembali ke mobil dengan 3 buah kantung kresek besar untuk keperluan piknik. Meski satu kelas tidak ikut semua, setidaknya ini menjadi acara jalan-jalan yang akhirnya bisa terealisasikan dan bukan cuma jadi wacana.
“Lo tahu liat nggak si,” cetus Rafi tiba-tiba saat mobil yang dikendarainya berhenti di lampu merah.
“Apa?” sahut Nirmala namun tetap fokus pada ponselnya untuk mencari jalan alternatif menuju titik kumpul.
Rafi terdiam sejenak sebelum mengutarakan pemikirannya sejak tadi. Tapi sepertinya dia harus mengatakannya karena dia jadi sangat penasaran akan sosok dokter yang ditemui Nirmala tadi.
“Soal dokter tadi ... dia itu ngeliat mata lo sampe fokus banget,” ujar Rafi yang membuat dahi Nirmala mengernyit.
Nirmala menoleh ke arah Rafi. “Masa sih?”
“Bisa iya bisa engga. Tapi gue ngeliatnya begitu. Dokter tadi bahkan keliatan kaget banget waktu ngeliat elo,” ujar Rafi lagi.
Namun Nirmala tidak menemukan maksud Rafi di ingatannya. Karena dia rasa semua biasa-biasa saja tadi interaksinya antara Dokter yang merupakan teman ayahnya dan dia.
“Udah lah. Mungkin kaget karena ketemu anak sahabatnya yang udah segede ini,” kata Nirmala.
“Hm ... masuk akal kalau gitu.”
“Ngomong-ngomong kita kudu tuker baju lagi,” pinta Nirmala karena wangi dari kemeja Ivan cukup mengganggu kerja otaknya.
Yap, dia suka wangi Rafi dan ini cukup berbahaya jika diteruskan.
“Ck, nanti lah kalau udah sampe di rumah Trio. Kita lepas baju di dalem mobil gini dikira mau melakukan tindak asusila pula,” ujar Rafi yang sebenarnya sih bisa saja dia lepas.
Tapi dia sudah sengat betah memakai hodie milik Nirmala ini.