Satu

1481 Kata
"Bro!" Dean terlonjak kaget saat seseorang menepuk pundaknya dengan keras. Bahkan lembaran kertas yang tadi dipegangnya terhambur ke udara membuat dia kerepotan untuk mencegah kertas itu terbang lebih jauh. Dia memejamkan mata, menahan rasa kesal yang sialnya tidak bisa. Dengan geram, dia berbalik dan melempar tatapan tajam pada pembuat huru-hara. "Apaan sih lo?!" Hardiknya dengan emosi yang tidak di tutup-tutupi. Mengabaikan sosok itu, dia kemudian menunduk dan memunguti kertas miliknya sebelum terinjak dengan tidak sengaja oleh orang lain. Sedangkan pria berkaca mata yang menjadi pelaku yang saat ini berdiri di depan nya, hanya melempar senyuman 'sok innocent yang semakin menambah kadar kesal yang di rasakan Dean. "Hehe jangan galak-galak dong," katanya tanpa rasa bersalah. Dean mendengkus lalu menarik nafas pelan. Sudah biasa memang makhluk satu ini berlaku seenaknya, namun meladeni dengan amarah juga hanya membuat kesal diri sendiri saja. "Mau apa sih lo sebenernya?" tanya Dean pada akhirnya. Lelaki berkacamata itu menggaruk tengkuknya salah tingkah, "Gue nebeng lo ya pulangnya," pintanya dengan nada memelas. Dean hanya menatapnya datar kemudian merapikan kertas-kertasnya yang berantakan. "Hari ini enggak bisa, Gus. Gue harus ke ruang dekan buat ngajuin proposal acara BEM," tolak Dean. Lelaki yang di panggil Gus itu hanya mampu mengangguk pasrah. Pasalnya dia tau, Dean akan sangat lama jika berkenaan dengan urusan BEM. "Yaudah deh gue naik ojek aja," putusnya, kemudian berlalu pergi. Dean hanya mengangguk pelan tanpa menoleh pada temannya itu. Lalu tangannya bergerak membawa kertas yang tadi baru dirapikan nya, mengambil tas ransel miliknya dan berdiri berjalan keluar kelas untuk ke ruang Dekan seperti yang sudah ia katakan tadi. Langkahnya terkesan terburu-buru guna menghindari tatapan 'lapar' dari wanita-wanita yang berjejer di koridor. Dia sangat paham dengan tatapan itu, tatapan memuja hanya karena wajah tampan yang dia punya dan perawakan nyaris sempurna dengan bola mata coklat terang. Dia tidak menyukai cara mereka memandangnya. Terlihat sekali bahwa mereka mudah terpesona hanya karena kelebihan fisik.Wanita-wanita seperti itu, terlalu mudah di dapatkan. Dan seorang Deanova Stephano tidak menyukai itu, karena baginya tantangan akan sangat jauh lebih menarik daripada yang mudah dicapai hanya sekedar untuk main-main dan gengsi saja. Tangannya mengetuk dengan sopan pintu kaca hitam di depannya. Berselang beberapa detik, terdengar suara dari dalam yang menyuruh untuk masuk. Dean masuk dan memberi salam, Lalu dia berjalan mendekat dan duduk di hadapan pria paruh baya yang ditaksir berumur sekitar 50 tahunan itu. "Ini proposal yang saya buat untuk acara Seminar Nasional dua bulan lagi, Pak. Bisa bapak lihat dulu, jika ada yang kurang pada susunan penyelenggaraannya tolong beritahu saya agar bisa segera saya revisi," ujarnya sopan. Dia melihat pria di hadapannya mulai membuka halaman demi halaman proposal yang dia berikan, memperhatikan dengan seksama disertai anggukan pelan. "Oke, saya pelajari dulu. Besok kamu kesini lagi saja ya,"putus dekan itu pada akhirnya. Dean mengangguk sopan kemudian permisi untuk keluar. * Seorang gadis berperawakan mungil berjalan sambil memeluk buku-bukunya. Sesekali dia menyelipkan anak rambut yang menghalangi wajahnya karena tiupan angin. Dia melirik kearah jam tangan coklat muda yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 5 sore, dan itu artinya dia harus segera pulang. Kakinya berlari kecil ke arah parkiran untuk mengambil motor matic kesayangannya, tapi siapa sangka di cuaca yang terang benderang tadi tiba-tiba saja rintik hujan turun dan seketika menjadi lebat membuat dia mau tidak mau berlari dan mencari tempat berteduh. Langkah kecilnya berhasil mebawa tubuh setengah basahnya itu hingga sampai di depan perpustakaan pusat. Dia meringkuk disana karena suara hujan membuat seluruh tubuhnya gemetar, tangannya menutup telinganya rapat-rapat, dan memejamkan matanya berusaha mengontrol diri agar ketakutannya tidak membuat dirinya jatuh pingsan seperti yang sudah-sudah. Engga apa-apa. Aku bisa. Ini bukan apa-apa. Bagai mantra, gadis itu terus merapalkan kalimat barusan berulang kali di dalam hatinya. Matanya masih terpejam rapat dengan kening berkerut dalam. Sebelah tangannya menutupi telinga kiri nya guna menghalau suara hujan yang begitu menakutkan untuknya. Salahkan saja dirinya yang ceroboh karena lupa membawa earphone yang biasanya tidak pernah ia tinggalkan, benda yang selalu dia gunakan setiap kali hujan turun. Di tengah rasa cemas yang dirasakannya, dia kemudian mendongak dengan cepat saat di rasakan ada tangan besar menyentuh lengannya. Ia terperangah, lupa mengatupkan bibirnya ketika melihat seseorang berjongkok di hadapannya. "Hei, lo kenapa?" Suara berat itu membuatnya terkesiap,  tapi kemudian dia beringsut menjauh, menghindar dari seorang pria yang masih bertahan di posisinya. Kepalanya menggeleng-geleng kuat membuat seseorang di hadapannya menatap semakin bingung. "Ada yang jahatin lo? Lo di apain?" tanya orang itu lagi dengan nada cemas. Namun, gadis itu masih menggeleng kuat. Kemudian dengan terburu-buru ia beranjak berdiri yang kemudian kembali terduduk dengan teriakan cukup kencang ketika telinganya menangkap suara petir. "Ibu..hu-hujan." gumamnya pelan dan gemetar. Pria di depannya semakin bingung, beberapa kali menoleh pada pintu masuk perpustakaan dan juga gadis aneh di depannya yang merintih ketakutan. Di wajah tampannya, tergambar raut khawatir melihat gadis di depannya yang tampak kacau. Hanya gumaman tentang hujan yang keluar dari mulut gadis itu, beberapa kali juga memanggil nama Ibu. "Hujan?" tanya pria itu menyuarakan kebingungannya. Tangannya tanpa sadar bergerak, menyentuh pundak gadis itu yang bergetar. "To-tolong bawa aku kemana aja. A-aku enggak bisa disini," mohon gadis itu pelan. Matanya menatap pria di depannya dengan wajah yang basah. Pria itu terdiam. Tampak berpikir kira-kira apa yang terjadi pada gadis di depannya ini. Mungkinkah gadis di depannya ini putri duyung sehingga dia panik saat hujan karena tidak mau berubah wujud? Ah Deanova kamu sudah gila. Pikirnya. Mengabaikan rasa bingungnya, Ia lalu dengan segera menarik lengan gadis itu dan membawanya masuk ke dalam perpustakaan. Mereka berjalan ke area paling pojok yang sudah pasti lebih sepi, lagipula perpustakaan saat ini tampak lengang. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk dengan bacaannya dan seorang pria paruh baya penjaga perpustakaan. Dilihatnya tubuh gadis itu masih bergetar. Raut mukanya pun terlihat begitu pucat. Pria itu menuntunnya duduk dan memberikan botol air mineral yang tinggal setengah. "Nih, minum dulu. Tenang aja, walaupun air nya udah gue minum sebagian tapi gue tadi pakai sedotan. Sedotannya gue buang karena pecah," ujarnya meyakinkan. Dengan tangan yang masih gemetar gadis itu meraih botol di hadapannya dan meminum hingga tak bersisa. Beberapa waktu berlalu, hanya ada gadis itu yang menarik napas beberapa kali dan si pria yang menunggu tanpa mengatakan apapun. "Udah tenang?" tanya pria itu kemudian saat gadis di depannya sudah berani menatap ke arahnya. Gadis itu menatapnya dengan polos lalu menampilkan senyum tipis dan mengangguk. "Terimakasih," ucapnya pelan. Pria itu mengangguk lalu bersandar di rak buku di belakangnya. "Lo sebenarnya kenapa?" tanyanya. Merasa pemasaran pada apa yang baru saja dilihatnya. Gadis di depannya menunduk dengan tangan yang bertaut, "Aku...engga suka hujan." jawabnya sedikit ragu. Pria itu menaikan sebelah alisnya, "Emangnya ada yang nyuruh lo buat suka sama hujan?" Meski diucapkan dengan nada jenaka, namun dirinya tahu itu sama sekali tidak terdengar lucu. Walaupun begitu, Gadis di depannya itu tersenyum simpul lalu mengusap-usap pelan lengannya. Suara hujan diluar masih terdengar samar-samar, membuatnya harus pintar mengalihkan fokus. "Aku enggak bisa denger suara hujan, apalagi petir," katanya kemudian. Pria itu terdiam, lalu menatapnya intens. "Semacam phobia?" Gadis itu mengangkat bahu, "Bisa dibilang begitu?" balasnya tidak yakin. Pria di depannya mengangguk-angukan kepala mengerti. Lalu dia tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Deanova. Lo bisa panggil gue Dean, gue dari FK," ucapnya memperkenalkan diri. Gadis itu tersenyum, jenis senyum yang membuat pria di depannya bingung. Lalu beberapa saat kemudian barulah ia menyambut uluran tangan Dean, dengan lembut dan hangat. "Ana," balasnya singkat dan jelas. * Ana meletakan ransel dan beberapa bukunya di meja tempat biasa digunakannya untuk belajar. Tanganya menyisir rambutnya yang sedikit lembab karena terkena air hujan tadi. Lalu bergerak mengambil sebuah handuk dan masuk ke dalam kamar mandi. Dia tidak ingin sakit hanya karena terkena beberapa tetes air hujan saja. Hanya 15 menit dan setelahnya Ana sudah muncul dengan handuk mandi menutupi tubuhnya dari d**a hingga ke paha, juga handuk kecil yang membalut rambut basahnya. Dia terduduk di tepi ranjang, menunda kegiatan selanjutnya yang seharusnya segera berpakaian. Matanya menatap jauh ke arah luar jendela kamarnya yang masih betah menampakkan langit mendung dengan sedikit air turun dari langit. "Deanova." gumamnya terdengar sedih. Sebersit senyum kecil muncul dari bibirnya yang sedikit tebal, tangannya terangkat dengan telapak tangan yang terbuka. Mengambang dengan sinar lampu yang membuat bayangan tangannya itu mengabur. Perlahan tubuhnya terlentang, menatap langit kamar yang berwarna putih terang. Matanya terpejam, memutar kembali kotak kenangan saat tadi dirinya hampir pingsan karena mendengar hujan, seorang diri. Barulah ingatan itu berlari ke arah dimana dia bertemu dengan Deanova yang entah untuk alasan apa ada di perpustakaan pusat yang cukup jauh dari fakultas kedokteran. Senyum itu muncul lagi, bukan lagi senyum sedih melainkan sebuah senyum penuh rasa sukur. Tangannya teralih ke d**a, menyentuh jantungnya yang berdegup menggila. Ana kembali bangun, berjalan ke arah sisi jendela dimana hujan sudah menyerah dan tidak datang lagi. Meski mega masih mending, namun sinar senja masih terlihat samar-samar. Tangannya naik menyentuh jendela kamar yang basah, mengusapnya pelan meski itu tidak berguna sama sekali. Bibirnya melengkung, dengan mata yang menyipit. "Deanova... Akhirnya kita bisa saling tahu nama," lirihnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN