My Prince Season 2 - 22

2769 Kata
Pada akhirnya, Arga memilih mengantarkan Jiola yang masih sedang menangis tersengguk-sengguk ke rumahnya lagi, tidak pergi dan kembali ke tengah kota untuk menciptakan kerusuhan dan ketegangan lagi bersama para warga Vanterlock. Ini sudah larut malam, dan jalanan kota terlihat cukup sepi dan sunyi, tidak seperti biasanya, mungkin karena hampir semua warga kota pergi ke tengah kota, jadi area-area yang lain terlihat begitu kosong dan hening. Arga berjalan di samping Jiola dengan memegang erat tangan perempuan berambut perak itu agar mengikuti langkahnya karena sebenarnya perempuan itu tidak niat untuk menggerakkan kakinya karena kesedihan masih melanda hatinya, itulah sebabnya Arga yang melakukannya sebagai penuntun Jiola untuk kembali pulang ke rumahnya. Tidak lagi pemberontak dan keras kepala seperti sebelumnya, kini Arga memutuskan untuk menyerah dalam hal itu dan memilih untuk mengantarkan Jiola pulang, penyebabnya tentu saja karena rasa bersalahnya yang telah membuat seorang perempuan menangis. Di dalam perjalanan menuju kediaman Jiola, Arga yang tubuhnya tentu saja lebih pendek dan mungil dari Jiola, tampak diam dan tidak berekspresi sama sekali, dia hanya memegang erat lengan Jiola sambil berjalan  tanpa memecahkan keheningan yang tercipta di antara mereka. Entahlah, mungkin Arga agak bosan untuk berbicara dengan Jiola karena setiap kali dia mengobrol dengan perempuan itu, pasti bakal terjadi pertengkaran dan perbedaan pemikiran, entah dari hal-hal sepele atau pun hal-hal serius, seolah-olah mereka memiliki jalan hidup yang sangat berlawanan sehinggga perdebatan selalu ada ketika mereka berdua saling berbicara. Padahal, bukankah mereka berdua adalah saudara kandung? Tapi mengapa kelihatannya berbeda sekali? Apakah penyebabnya karena masa kecil mereka punya pengalaman yang berbeda? Itu bisa jadi merupakan kemungkinannya, tapi bisa juga bukan, tapi yang jelas apa pun penyebabnya, mereka harus mencari cara agar obrolan tetap terasa hangat meskipun pemikiran mereka selalu bertentangan. “Eh? Aku mau dibawa kemana? Apa yang mau kamu tunjukkan?” Setelah tangisannya mulai reda, Jiola baru sadar kalau kini dirinya sedang berjalan dengan dituntun oleh genggaman tangan Arga di jalanan kota yang cukup sepi dan hening. Jiola tidak paham mengapa Arga melakukan ini padanya, dan dia pun bertanya-tanya, apakah anak itu akan membawanya ke tengah kota? Tapi saat diamati baik-baik, jalan yang mereka lalui berlawanan dengan tengah kota, lalu apakah Arga akan membawanya ke suatu tempat untuk menunjukkan suatu hal yang mengejutkan? Tapi apa? Jiola masih tidak begitu mengerti alasan dari Arga menuntunnya begini, bukankah anak itu begitu bersikeras ingin kembali ke tengah kota? Tapi mengapa malah berakhir seperti ini? Jiola benar-benar merasa heran. “Tentu saja kita pulang, memangnya kita mau kemana lagi?” ucap Arga sebagai jawaban atas pertanyaan yang terlontar dari mulut Jiola setelah perempuan berambut perak itu menyudahi isakan tangisannya. Ketika menjawab itu, bola-bola mata Arga sedikit mengerling dan kepalanya agak sedikit ditolehkan ke muka Jiola, meski setelahnya dia kembali memandang ke depan dengan ekspresi datar seperti biasanya. “Bukankah kamu ingin kembali ke tengah kota? Lalu kenapa?” Lagi-lagi Jiola mengajukan pertanyaan, tapi kali ini lebih spesifik karena dia benar-benar penasaran pada Arga yang tiba-tiba mengantarkannya pulang seperti ini. Dia kaget karena seharusnya Arga tidak mempedulikan dirinya, dan langsung pergi ke tengah kota, tapi kenapa jadi seperti ini? Rasanya seperti ada yang aneh dan mengganjal, dan Jiola ingin mengetahui alasan dari hal tersebut. “Mana mungkin aku meninggalkan seorang perempuan yang sedang menangis begitu? Kau membuatku merasa harus menjagamu sehingga aku tidak punya kekuatan untuk pergi meninggalkanmu. Sepertinya rencanamu berhasil berjalan dengan baik, kau telah membuatku berubah pikiran.” Sahut Arga dengan nada yang cukup malas dan mengantuk, dia mengatakan seakan-akan semua yang Jiola lakukan sebelumnya, termasuk juga tangisannya, adalah rancangan rencana agar anak itu mematuhi ucapan perempuan itu. Dan mungkin tangisan adalah caranya yang terakhir agar Arga dibuat merasa bersalah. Tapi jika itu memang benar, itu sungguh luar biasa, karena hasilnya memang bagus. “Eh? T-Tidak! Mengapa kau berpikiran begitu? Aku menangis karena memang sedih, bukan salah satu rencanaku untuk membuatmu mengurungkan niat untuk pergi ke tengah kota, lagipula apa yang dimaksud dengan sebuah rencana? Aku sama sekali tidak merancang sebuah rencana sedikit pun hanya untuk menahanmu pergi, aku melakukan semua itu secara spontan dan tanpa aba-aba, termasuk juga menangis, itu bukanlah tangisan palsu.” Jelas Jiola dengan sedikit menyaringkan suaranya karena tidak terima saat Arga berpikiran bahwa semua yang dia lakukan sebelumnya terhadap anak itu adalah bagian dari rencananya, dan itu benar-benar tidak masuk akal dan tidak enak didengar. Untuk apa juga Jiola membuat sebuah rencana kepada adiknya sendiri, kesannya malah seperti dirinya adalah orang yang sangat licik dan picik. “Begitukah? Kalau memang benar, aku senang. Tapi kalau itu memang sebuah rencana, ya sudahlah, aku hanya bisa menyerah karena strategimu benar-benar hebat.” Sindir Arga dengan menyunggingkan senyuman kecil dan sedikit kekehan untuk menyudutkan Jiola yang ada di sampingnya, dan setelah mengatakan itu tiba-tiba saja perempuan berambut perak itu melepaskan tangannya dari genggaman tangan Arga. “Eh? Kenapa kau melepas genggamannya?” “Apa kau sedang mempermainkanku?” ucap Jiola dengan memandang serius pada wajah Arga yang masih terlihat menyunggingkan senyuman kecil, jujur ia tidak begitu nyaman dengan sikap yang ditunjukkan adiknya, sangat menyebalkan dan tidak sopan. “Apa kau masih menganggapku seperti itu? Mengapa kau punya anggapan begitu? Apakah aku terlihat licik dan picik di matamu?” “Hey? Kenapa kau jadi—“ ucapan Arga langsung dipotong oleh Jiola. “Aku tidak ingin dinilai seperti itu, bahkan oleh adikku sendiri. Itu terlalu kasar dan frontal. Aku tidak seperti itu, aku bukan manusia selicik itu yang bisa berpura-pura menangis hanya untuk merebut hati adiknya, jika kamu masih beranggapan  bahwa aku adalah orang yang seperti itu, lebih baik kita berhenti di sini, aku tidak mau pulang jika harus begini caranya.” Pada akhirnya, Arga memilih mengantarkan Jiola yang masih sedang menangis tersengguk-sengguk ke rumahnya lagi, tidak pergi dan kembali ke tengah kota untuk menciptakan kerusuhan dan ketegangan lagi bersama para warga Vanterlock. Ini sudah larut malam, dan jalanan kota terlihat cukup sepi dan sunyi, tidak seperti biasanya, mungkin karena hampir semua warga kota pergi ke tengah kota, jadi area-area yang lain terlihat begitu kosong dan hening. Arga berjalan di samping Jiola dengan memegang erat tangan perempuan berambut perak itu agar mengikuti langkahnya karena sebenarnya perempuan itu tidak niat untuk menggerakkan kakinya karena kesedihan masih melanda hatinya, itulah sebabnya Arga yang melakukannya sebagai penuntun Jiola untuk kembali pulang ke rumahnya. Tidak lagi pemberontak dan keras kepala seperti sebelumnya, kini Arga memutuskan untuk menyerah dalam hal itu dan memilih untuk mengantarkan Jiola pulang, penyebabnya tentu saja karena rasa bersalahnya yang telah membuat seorang perempuan menangis. Di dalam perjalanan menuju kediaman Jiola, Arga yang tubuhnya tentu saja lebih pendek dan mungil dari Jiola, tampak diam dan tidak berekspresi sama sekali, dia hanya memegang erat lengan Jiola sambil berjalan  tanpa memecahkan keheningan yang tercipta di antara mereka. Entahlah, mungkin Arga agak bosan untuk berbicara dengan Jiola karena setiap kali dia mengobrol dengan perempuan itu, pasti bakal terjadi pertengkaran dan perbedaan pemikiran, entah dari hal-hal sepele atau pun hal-hal serius, seolah-olah mereka memiliki jalan hidup yang sangat berlawanan sehinggga perdebatan selalu ada ketika mereka berdua saling berbicara. Padahal, bukankah mereka berdua adalah saudara kandung? Tapi mengapa kelihatannya berbeda sekali? Apakah penyebabnya karena masa kecil mereka punya pengalaman yang berbeda? Itu bisa jadi merupakan kemungkinannya, tapi bisa juga bukan, tapi yang jelas apa pun penyebabnya, mereka harus mencari cara agar obrolan tetap terasa hangat meskipun pemikiran mereka selalu bertentangan. “Eh? Aku mau dibawa kemana? Apa yang mau kamu tunjukkan?” Setelah tangisannya mulai reda, Jiola baru sadar kalau kini dirinya sedang berjalan dengan dituntun oleh genggaman tangan Arga di jalanan kota yang cukup sepi dan hening. Jiola tidak paham mengapa Arga melakukan ini padanya, dan dia pun bertanya-tanya, apakah anak itu akan membawanya ke tengah kota? Tapi saat diamati baik-baik, jalan yang mereka lalui berlawanan dengan tengah kota, lalu apakah Arga akan membawanya ke suatu tempat untuk menunjukkan suatu hal yang mengejutkan? Tapi apa? Jiola masih tidak begitu mengerti alasan dari Arga menuntunnya begini, bukankah anak itu begitu bersikeras ingin kembali ke tengah kota? Tapi mengapa malah berakhir seperti ini? Jiola benar-benar merasa heran. “Tentu saja kita pulang, memangnya kita mau kemana lagi?” ucap Arga sebagai jawaban atas pertanyaan yang terlontar dari mulut Jiola setelah perempuan berambut perak itu menyudahi isakan tangisannya. Ketika menjawab itu, bola-bola mata Arga sedikit mengerling dan kepalanya agak sedikit ditolehkan ke muka Jiola, meski setelahnya dia kembali memandang ke depan dengan ekspresi datar seperti biasanya. “Bukankah kamu ingin kembali ke tengah kota? Lalu kenapa?” Lagi-lagi Jiola mengajukan pertanyaan, tapi kali ini lebih spesifik karena dia benar-benar penasaran pada Arga yang tiba-tiba mengantarkannya pulang seperti ini. Dia kaget karena seharusnya Arga tidak mempedulikan dirinya, dan langsung pergi ke tengah kota, tapi kenapa jadi seperti ini? Rasanya seperti ada yang aneh dan mengganjal, dan Jiola ingin mengetahui alasan dari hal tersebut. “Mana mungkin aku meninggalkan seorang perempuan yang sedang menangis begitu? Kau membuatku merasa harus menjagamu sehingga aku tidak punya kekuatan untuk pergi meninggalkanmu. Sepertinya rencanamu berhasil berjalan dengan baik, kau telah membuatku berubah pikiran.” Sahut Arga dengan nada yang cukup malas dan mengantuk, dia mengatakan seakan-akan semua yang Jiola lakukan sebelumnya, termasuk juga tangisannya, adalah rancangan rencana agar anak itu mematuhi ucapan perempuan itu. Dan mungkin tangisan adalah caranya yang terakhir agar Arga dibuat merasa bersalah. Tapi jika itu memang benar, itu sungguh luar biasa, karena hasilnya memang bagus. “Eh? T-Tidak! Mengapa kau berpikiran begitu? Aku menangis karena memang sedih, bukan salah satu rencanaku untuk membuatmu mengurungkan niat untuk pergi ke tengah kota, lagipula apa yang dimaksud dengan sebuah rencana? Aku sama sekali tidak merancang sebuah rencana sedikit pun hanya untuk menahanmu pergi, aku melakukan semua itu secara spontan dan tanpa aba-aba, termasuk juga menangis, itu bukanlah tangisan palsu.” Jelas Jiola dengan sedikit menyaringkan suaranya karena tidak terima saat Arga berpikiran bahwa semua yang dia lakukan sebelumnya terhadap anak itu adalah bagian dari rencananya, dan itu benar-benar tidak masuk akal dan tidak enak didengar. Untuk apa juga Jiola membuat sebuah rencana kepada adiknya sendiri, kesannya malah seperti dirinya adalah orang yang sangat licik dan picik. “Begitukah? Kalau memang benar, aku senang. Tapi kalau itu memang sebuah rencana, ya sudahlah, aku hanya bisa menyerah karena strategimu benar-benar hebat.” Sindir Arga dengan menyunggingkan senyuman kecil dan sedikit kekehan untuk menyudutkan Jiola yang ada di sampingnya, dan setelah mengatakan itu tiba-tiba saja perempuan berambut perak itu melepaskan tangannya dari genggaman tangan Arga. “Eh? Kenapa kau melepas genggamannya?” “Apa kau sedang mempermainkanku?” ucap Jiola dengan memandang serius pada wajah Arga yang masih terlihat menyunggingkan senyuman kecil, jujur ia tidak begitu nyaman dengan sikap yang ditunjukkan adiknya, sangat menyebalkan dan tidak sopan. “Apa kau masih menganggapku seperti itu? Mengapa kau punya anggapan begitu? Apakah aku terlihat licik dan picik di matamu?” “Hey? Kenapa kau jadi—“ ucapan Arga langsung dipotong oleh Jiola. “Aku tidak ingin dinilai seperti itu, bahkan oleh adikku sendiri. Itu terlalu kasar dan frontal. Aku tidak seperti itu, aku bukan manusia selicik itu yang bisa berpura-pura menangis hanya untuk merebut hati adiknya, jika kamu masih beranggapan  bahwa aku adalah orang yang seperti itu, lebih baik kita berhenti di sini, aku tidak mau pulang jika harus begini caranya.” Pada akhirnya, Arga memilih mengantarkan Jiola yang masih sedang menangis tersengguk-sengguk ke rumahnya lagi, tidak pergi dan kembali ke tengah kota untuk menciptakan kerusuhan dan ketegangan lagi bersama para warga Vanterlock. Ini sudah larut malam, dan jalanan kota terlihat cukup sepi dan sunyi, tidak seperti biasanya, mungkin karena hampir semua warga kota pergi ke tengah kota, jadi area-area yang lain terlihat begitu kosong dan hening. Arga berjalan di samping Jiola dengan memegang erat tangan perempuan berambut perak itu agar mengikuti langkahnya karena sebenarnya perempuan itu tidak niat untuk menggerakkan kakinya karena kesedihan masih melanda hatinya, itulah sebabnya Arga yang melakukannya sebagai penuntun Jiola untuk kembali pulang ke rumahnya. Tidak lagi pemberontak dan keras kepala seperti sebelumnya, kini Arga memutuskan untuk menyerah dalam hal itu dan memilih untuk mengantarkan Jiola pulang, penyebabnya tentu saja karena rasa bersalahnya yang telah membuat seorang perempuan menangis. Di dalam perjalanan menuju kediaman Jiola, Arga yang tubuhnya tentu saja lebih pendek dan mungil dari Jiola, tampak diam dan tidak berekspresi sama sekali, dia hanya memegang erat lengan Jiola sambil berjalan  tanpa memecahkan keheningan yang tercipta di antara mereka. Entahlah, mungkin Arga agak bosan untuk berbicara dengan Jiola karena setiap kali dia mengobrol dengan perempuan itu, pasti bakal terjadi pertengkaran dan perbedaan pemikiran, entah dari hal-hal sepele atau pun hal-hal serius, seolah-olah mereka memiliki jalan hidup yang sangat berlawanan sehinggga perdebatan selalu ada ketika mereka berdua saling berbicara. Padahal, bukankah mereka berdua adalah saudara kandung? Tapi mengapa kelihatannya berbeda sekali? Apakah penyebabnya karena masa kecil mereka punya pengalaman yang berbeda? Itu bisa jadi merupakan kemungkinannya, tapi bisa juga bukan, tapi yang jelas apa pun penyebabnya, mereka harus mencari cara agar obrolan tetap terasa hangat meskipun pemikiran mereka selalu bertentangan. “Eh? Aku mau dibawa kemana? Apa yang mau kamu tunjukkan?” Setelah tangisannya mulai reda, Jiola baru sadar kalau kini dirinya sedang berjalan dengan dituntun oleh genggaman tangan Arga di jalanan kota yang cukup sepi dan hening. Jiola tidak paham mengapa Arga melakukan ini padanya, dan dia pun bertanya-tanya, apakah anak itu akan membawanya ke tengah kota? Tapi saat diamati baik-baik, jalan yang mereka lalui berlawanan dengan tengah kota, lalu apakah Arga akan membawanya ke suatu tempat untuk menunjukkan suatu hal yang mengejutkan? Tapi apa? Jiola masih tidak begitu mengerti alasan dari Arga menuntunnya begini, bukankah anak itu begitu bersikeras ingin kembali ke tengah kota? Tapi mengapa malah berakhir seperti ini? Jiola benar-benar merasa heran. “Tentu saja kita pulang, memangnya kita mau kemana lagi?” ucap Arga sebagai jawaban atas pertanyaan yang terlontar dari mulut Jiola setelah perempuan berambut perak itu menyudahi isakan tangisannya. Ketika menjawab itu, bola-bola mata Arga sedikit mengerling dan kepalanya agak sedikit ditolehkan ke muka Jiola, meski setelahnya dia kembali memandang ke depan dengan ekspresi datar seperti biasanya. “Bukankah kamu ingin kembali ke tengah kota? Lalu kenapa?” Lagi-lagi Jiola mengajukan pertanyaan, tapi kali ini lebih spesifik karena dia benar-benar penasaran pada Arga yang tiba-tiba mengantarkannya pulang seperti ini. Dia kaget karena seharusnya Arga tidak mempedulikan dirinya, dan langsung pergi ke tengah kota, tapi kenapa jadi seperti ini? Rasanya seperti ada yang aneh dan mengganjal, dan Jiola ingin mengetahui alasan dari hal tersebut. “Mana mungkin aku meninggalkan seorang perempuan yang sedang menangis begitu? Kau membuatku merasa harus menjagamu sehingga aku tidak punya kekuatan untuk pergi meninggalkanmu. Sepertinya rencanamu berhasil berjalan dengan baik, kau telah membuatku berubah pikiran.” Sahut Arga dengan nada yang cukup malas dan mengantuk, dia mengatakan seakan-akan semua yang Jiola lakukan sebelumnya, termasuk juga tangisannya, adalah rancangan rencana agar anak itu mematuhi ucapan perempuan itu. Dan mungkin tangisan adalah caranya yang terakhir agar Arga dibuat merasa bersalah. Tapi jika itu memang benar, itu sungguh luar biasa, karena hasilnya memang bagus. “Eh? T-Tidak! Mengapa kau berpikiran begitu? Aku menangis karena memang sedih, bukan salah satu rencanaku untuk membuatmu mengurungkan niat untuk pergi ke tengah kota, lagipula apa yang dimaksud dengan sebuah rencana? Aku sama sekali tidak merancang sebuah rencana sedikit pun hanya untuk menahanmu pergi, aku melakukan semua itu secara spontan dan tanpa aba-aba, termasuk juga menangis, itu bukanlah tangisan palsu.” Jelas Jiola dengan sedikit menyaringkan suaranya karena tidak terima saat Arga berpikiran bahwa semua yang dia lakukan sebelumnya terhadap anak itu adalah bagian dari rencananya, dan itu benar-benar tidak masuk akal dan tidak enak didengar. Untuk apa juga Jiola membuat sebuah rencana kepada adiknya sendiri, kesannya malah seperti dirinya adalah orang yang sangat licik dan picik. “Begitukah? Kalau memang benar, aku senang. Tapi kalau itu memang sebuah rencana, ya sudahlah, aku hanya bisa menyerah karena strategimu benar-benar hebat.” Sindir Arga dengan menyunggingkan senyuman kecil dan sedikit kekehan untuk menyudutkan Jiola yang ada di sampingnya, dan setelah mengatakan itu tiba-tiba saja perempuan berambut perak itu melepaskan tangannya dari genggaman tangan Arga. “Eh? Kenapa kau melepas genggamannya?” “Apa kau sedang mempermainkanku?” ucap Jiola dengan memandang serius pada wajah Arga yang masih terlihat menyunggingkan senyuman kecil, jujur ia tidak begitu nyaman dengan sikap yang ditunjukkan adiknya, sangat menyebalkan dan tidak sopan. “Apa kau masih menganggapku seperti itu? Mengapa kau punya anggapan begitu? Apakah aku terlihat licik dan picik di matamu?” “Hey? Kenapa kau jadi—“ ucapan Arga langsung dipotong oleh Jiola. “Aku tidak ingin dinilai seperti itu, bahkan oleh adikku sendiri. Itu terlalu kasar dan frontal. Aku tidak seperti itu, aku bukan manusia selicik itu yang bisa berpura-pura menangis hanya untuk merebut hati adiknya, jika kamu masih beranggapan  bahwa aku adalah orang yang seperti itu, lebih baik kita berhenti di sini, aku tidak mau pulang jika harus begini caranya.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN