1. Lamaran Dadakan

1090 Kata
"Orangtua kamu mana? Saya mau lamar kamu malam ini juga." Mata Gea membulat sempurna merasa gurauan Gery sudah diluar dari batas normalnya. Lalu, wanita itu mencebikkan bibirnya begitu teringat akan siapa pria yang sedang dihadapinya ini. "Macam Kang tahu bulat saja. Dadakan," celetuk Gea asal yang ditanggapi Gery dengan sikap tidak terimanya. "Lelaki setampan saya, kamu samakan dengan Kang tahu bulat? Sembarangan!" Gea makin eneg saja dengan kepercayaan diri Gery. "Mending sekarang Bapak pulang, mandi, lalu tidur. Sepertinya otak bapak ini perlu diistirahatkan agar tidak ngelantur. Ada-ada saja. Nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba ngelamar anak orang." Gery makin melotot saja karena ucapannya justru ditanggapi dengan candaan. "Saya serius, Gea! Kamu sendiri tadi yang minta pada saya untuk cari wanita lain dan berhenti berharap pada Gendis." "Ya tapi bukan saya juga kali, Pak. Bapak bisa kan menikahi pacar bapak yang sering ke kantor itu. Siapa namanya, lupa saya." "Jangan bahas tentang dia. Saya sudah putus dengannya." "Oh, bapak lagi patah hati?" "Nggak! Ngapain juga patah hati. Asal kamu tahu saja, saya yang mutusin dia. Lagian, kamu ini jangan panggil saya bapak. Saya bukan bapak kamu. Saya juga tidak pernah menikah dengan ibu kamu. Justru kamu yang mau saya nikahi. Jadi ... stop panggil bapak, bapak, dan bapak. Saya juga belum setua itu untuk kamu panggil bapak." Gea mengerjabkan matanya. Bukannya pulang, Gery malah mengomel hanya karena sebutan bapak. "Terus maunya dipanggil apa? Mas? Mas Gery? Atau Mas Bos?" sindir Gea. Namun, tanggapan Gery justru diluar dari ekspektasinya. Pria itu malah tersenyum jumawa. "Itu lebih baik. Lebih manis terdengar." Gea merotasi bola matanya jengah. "Iya, terserah Mas Bos saja. Sekarang sebaiknya Anda pulang karena ini sudah malam. Saya capek mau tidur." "Kamu berani ngusir saya? Kamu mau saya pecat jadi karyawan?" Gea menghela napas panjang. "Serah bapak saja. Mau pecat saya juga silahkan." "Iya. Kamu saya pecat jadi karyawan, tapi kamu bakal saya angkat jadi istri saya." Cengiran Gery mendadak membuat Gea merinding. "Bapak pengen banget jadiin saya istri?" "Menurutmu?" "Menurut saya sekarang bapak pulang. Pikirkan baik-baik sebelum bapak menyesal." "Baiklah saya pulang. Tapi lain kali saya pasti akan datang lagi dengan membawa mama dan papa saya untuk datang melamar." Alih-alih menanggapi, Gea justru beranjak berdiri. Mempersilahkan Gery untuk keluar dari rumahnya, sebelum papa dan mamanya keluar lalu memergoki Gery berada di sini. Bisa bahaya. "Saya pulang dulu," pamit Gery sebelum masuk ke dalam mobil. Bukan menjawab, Gea malah memalingkan pandangan dari Gery, pada sebuah mobil yang melintas. Pengemudi mobil menurunkan kaca jendela, membunyikan klakson seraya tersenyum pada Gea. Untuk sesaat, Gea yang terpesona pada si pria, sampai melupakan Gery yang masih berdiri memperhatikannya. "Siapa dia Gea?" Pertanyaan Gery, mengembalikan kesadaran Gea. Wanita itu mengubah ekspresi wajahnya. Dengan sinis menjawab, "Bukan siapa-siapa. Terima kasih tadi sudah mengantar saya. Hati-hati di jalan," ucap Gea lalu berbalik badan dan pergi meninggalkan Gery yang masih mematung di depan pagar. Gery gelengkan kepalanya. Masuk ke dalam mobil sembari merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia melamar wanita itu tanpa rencana. Entahlah. Gery malas berpikir terlalu dalam tentang jalan hidupnya. Menjalankan mobil meninggalkan rumah Gea. Barulah terasa capeknya ketika dia menyetir mobil sendirian tanpa teman. Baru ingat juga jika seharian ini dia begitu penuh jadwalnya. Dari luar kota, langsung mengikuti Gama ke rumah sakit untuk menemani Gendis memeriksakan kehamilan. Selanjutnya, dia malah terdampar di rumah Gea. ••• Esok paginya, Gea sudah bersiap pergi kerja. Keluar dari dalam kamarnya yang berada di lantai dua rumah kedua orangtuanya, Gea menuruni anak tangga langsung disuguhi dengan pemandangan sosok lelaki tampan yang sudah duduk anteng di ruang makan bersama mamanya. "Itu dia Gea-nya. Ge, buruan, lama banget sih kamu turunnya. Kami sudah nungguin kamu sejak tadi. Ngapain saja sih ngerem mulu di kamar. Kalau sadar sudah kesiangan barulah kelabakan," omel Regina, mamanya Gea. Sebenarnya, Gea ini tidak berasal dari keluarga miskin. Keluarganya bisa dikatakan kaum menengah karena kondisi perekonomian keluarganya pun berada di taraf yang berkecukupan. Papanya memiliki tiga toko sembako yang penghasilan per harinya juga lumayan. Sementara mamanya adalah pemilik toko kue yang lumayan terkenal juga. Gea dua bersaudara. Kakak lelakinya sudah menikah dan memiliki rumah sendiri. Dan pria tampan yang saat ini tersenyum ramah kepadanya adalah Gibran. Kakak sepupu yang rumahnya masih berada di satu gang yang sama dengan rumah ini. "Pagi-pagi sudah di sini saja. Minta sarapan?" tanya Gea yang sebenarnya dengan nada sinis, tapi anehnya malah ditanggapi Gibran dengan tertawa. Ia pikir Gea memang sedang mengajaknya bercanda. "Iyalah. Apalagi memangnya." Regina menegur putrinya. "Gea nggak boleh gitu sama saudara." Dan yah, di balik kata-kata saudara yang mamanya dengungkan, ada sakit yang tek terlihat. Apakah salah jika dia mencintai saudara sepupunya sendiri? Ketertarikan yang Gea kira hanya sebatas sebagai kakak dan adik semata, ternyata bukan. Karena Gea merasa patah hati yang teramat dalam hingga rasa sakit yang dia rasakan tak mampu membuatnya menangis. Iya. Gea merasa sakit saat beberapa tahun lalu Gibran harus pergi ke Kairo. Ada rindu yang menyesakkan ketika Gea harus berpisah lama dengan Gibran. Lalu, begitu pria itu kembali, kebahagiaan tak mampu Gea ungkapkan. Meski rasa bahagia itu hanya bertahan sebentar karena setelah Gea mendengar kabar jika Gibran memutuskan untuk bertaaruf dengan seorang perempuan. Perempuan berkerudung lebar yang merupakan teman Gibran semasa di Kairo. Perempuan cantik, anggun dan keibuan yang sudah satu kali Gea temui. Gea merasakan kesakitan ketika melihat Gibran bersama wanita lain. Seolah ada tangan tak kasat mata yang meremas hatinya begitu kuat. "Ge! Pohon duren belakang rumah, kayaknya buahnya udah mateng banyak," celetuk Gibran begitu random. Mata Gea berbinar hanya karena mendengar nama buah kesayangannya. "Beneran?" Gea sudah lupa jika dia sedang dalam mode kesal pada Gibran. Kepala pria itu mengangguk. Gea kembali berkata, "Ntar sore deh gue ke rumah. Gue panjat tuh pohon dan awas saja jangan protes kalau buahnya gue rontokin semua." Gibran hanya geleng-geleng kepala. Sejak tahu Gea doyan duren, Gibran yang kala itu masih kuliah, memutuskan untuk menanam pohon duren di belakang rumah. Sekarang pohon itu sudah tumbuh besar dan lebat. Setiap tahunnya pasti berbuah. Meski nggak sebanyak pohon duren yang udah berumur tua dengan buahnya yang bergelantungan banyak. Pohon durennya Gibran paling banyak juga berbuah dua puluh bijian saja. Tapi tetap saja, ada rasa bahagia yang tak mampu Gibran ucapkan kala melihat Gea yang bersemangat memanen buah duriannya. "Ge! Yang semalam datang siapa?" Gibran kembali bertanya. Bisa-bisanya dengan enteng Gea menjawab, "Mas Bos calon suami gue." Niatnya sih hanya untuk memanas-manasi Gibran agar dia tak kalah saingan. Memang dipikirnya hanya Gibran doang yang punya gandengan. Oleh sebab itulah dengan bangganya Gea menjawab demikian. Namun, siapa sangka jika yang Gea katakan itu malah menimbulkan kesalahpahaman bagi Regina.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN