Bermain dengan Genderuwo

1310 Kata
Leandra dan para ibu - ibu saling memandang keheranan karena pernyataan Banyu barusan. Diculik Genderuwo katanya? Kenapa kedengarannya aneh sekali? Mungkin kasus anak kecil yang diculik oleh makhluk halus bukan hal baru lagi. Hal itu sering terjadi di berbagai daerah. Hanya saja, si Tersangka penculik anak - anak, pada umumnya bukan lah si Makhluk bernama Genderuwo. Melainkan makhluk sejenisnya yang berjenis kelamin perempuan. Ada yang menyebutnya Wewe Gombel. Ada yang menyebutnya Kolong Wewe. "Nyu, lo jangan ngawur, deh! Kita cari dulu anaknya Ibuk ini! Jangan buru - buru ambil kesimpulan!" omel Leandra. "Gue nggak ngawur, Le. Itu beneran. Itu lah sebabnya gue larang anak - anak buat main di luar. Apa lagi sampai mendekati pohon asem ini.". Ya, Leandra tentu ingat. Sedari tadi, Banyu sering keluar rumah untuk mengatakan pada anak - anak yang diundang ke pesta ulang tahun Langit, untuk tidak bermain di luar. Banyu meminta mereka untuk main di dalam saja. Mengingat di dalam rumah sudah cukup luas untuk main lari - larian. Leandra juga ingat, bahwa Banyu memberi penjelasan tegas bahwa mereka tidak boleh berada di dekat pohon buah asam yang sangat tinggi, besar, nan rimbun ini. "Ya Allah, gimana ini Pak Banyu? Gimana sama Dimas? Saya takut banget!" Ibu itu menangis sejadi - jadinya. Ibu - ibu yang lain, bersama Leandra, berusaha menenangkannya. Banyu bergegas melenggang pergi, sedikit berlari keluar dari pekarangan rumahnya yang luas. Entah ke mana perginya. Leandra hanya percaya bahwa Banyu nanti akan datang membawa bantuan. Dari ucapan Banyu tadi — yang segera bisa menyimpulkan bahwa anak itu diculik oleh Genderuwo penghuni pohon buah asam — Leandra menduga bahwa Banyu tahu sesuatu. Sejauh Leandra bersahabat dengan Banyu, lelaki itu memang seperti menyimpan banyak misteri. Leandra tahu bahwa Banyu adalah cucu dari almarhum Ki Bumi Aryasena, orang pintar yang katanya telah membabat desa ini dulu. Beliau jugalah yang telah menumbali desa ini. Leandra tak terlalu paham masalah seperti itu. Mengingat ia adalah wanita yang tergolong modern, dan lebih percaya pada agama daripada hal - hal yang berbau klenik. Leandra tetap bersahabat dengan Banyu, karena lelaki itu baik dan selalu setia padanya, meskipun tahu bahwa Leandra yang dikenal oleh masyarakat luas, sama sekali berbeda dengan Leandra yang sebenarnya. Leandra memang merasa bahwa Banyu banyak menyembunyikan hal darinya. Tapi wanita itu sengaja tak mau menggali terlalu dalam, takut Banyu justru merasa tidak nyaman. Karena tiap kali ada orang yang membahas masalah klenik dengan Banyu, lelaki itu terlihat tak suka sama sekali. Leandra dan ibu - ibu lain, memapah Ibu Dimas kembali ke dalam rumah. mereka duduk lesehan di atas karpet di ruang tamu, yang tadi digunakan untuk pesta ulang tahun Langit. Langit, Awan, Jingga, dan anak - anak lain yang tersisa, duduk berjajar dalam diam. Mereka tak berani bermain - main seperti tadi, karena merasakan hawa serius di antara orang dewasa di hadapan mereka. Apalagi Ibu Dimas sampai menangis seperti itu. "Diminum, Buk! Sabar, ya. Bentar lagi Banyu pasti dateng bawa bantuan!" Leandra mengulurkan segelas air putih pada Ibu itu. "Ya Allah, Dimas!" Ibu itu tidak menerima air putih yang diberikan oleh Leandra. Ia hanya duduk bersimpuh, meratap, dan menyesal kenapa ia tadi lalai membiarkan putranya mengabaikan peringatan dari tuan rumah agar tidak main di luar. "Misal Dimas beneran diculik sama Genderuwo, wah ... ini nggak bisa dibiarin. Pak Banyu kayaknya tahu kalo rumahnya angker. Eh, dia malah ngundang kita - kita ke sini. Udah tahu juga yang diundang anak - anak. Biar mulutnya udah berbusa ngasih tahu mereka buat nggak main di luar, ya mereka tetap ngeyel, lah, namanya juga anak - anak!". Leandra menunduk mendengarkan pernyataan panjang lebar dari ibu - ibu bertumbuh tambun itu. Leandra tahu bahwa itu adalah ibu dari teman Langit yang bernama Una. Dari sekian banyak undangan yang datang, kenapa juga Ibu Una - lah yang harus menjadi salah satu dari undangan yang masih tersisa di sini? Ibu Una seharusnya sudah pulang, agar tidak memperkeruh suasana seperti ini. Sedari tadi, kerjaan Ibu Una memang menjadi provokator. Ia banyak menyacat sajian - sajian yang diberikan selama pesta berlangsung. Eh, sekarang juga malah menuduh Banyu macam - macam. Kalau pun memang benar bahwa Banyu tahu rumahnya angker, apakah ia salah jika mengundang teman - teman Langit ke mari untuk berpesta? Banyu hanya berusaha menyenangkan anaknya. Apa itu salah? Mana Banyu tahu jika kejadian seperti ini akan terjadi? Banyu juga bukannya tidak berusaha. Ia sudah berusaha semampunya untuk mencegah anak - anak. Harusnya para ibu yang mengantar ikut bekerjasama mengawasi anaknya masing - masing. Bukannya malah asyik mengobrol di dalam rumah, menikmati hidangan sembari menyacat, melalaikan anak - anak mereka yang bermain dengan bebas di luar, mengabaikan larangan demi larangan yang Banyu utarakan. Karena provokasi dari Ibu Una, akhirnya ibu - ibu yang lain ikut terpancing. Mereka ikut - ikutan menyalahkan Banyu ini - itu. Leandra hanya bisa diam. Berurusan dengan ibu - ibu memang sulit. Mengingat sebuah ungkapan, bahwa ibu - ibu selalu benar. Notabene rata - rata usia dari ibu - ibu itu seumuran dengan Leandra. Hanya saja ... entah lah mengapa mereka begitu berbeda. Leandra sama sekali tidak cerewet dan berpikiran dangkal seperti mereka. Mungkin mereka seperti itu karena pengaruh beratnya mengurus rumah tangga. Mau menyalahkan sepenuhnya pun Leandra tak bisa. Mengingat seorang ibu adalah seseorang yang mulia, dan harus dihormati. Banyu akhirnya datang bersama dengan Ki Jagad Langenharja, adik dari Kakek Banyu—Ki Bumi Aryasena. Lelaki itu sudah sangat tua. Untuk berjalan saja, ia harus memakai tongkat. Usianya saat ini sudah lebih dari satu abad. Seperti kakaknya, ia juga orang sakti. Memiliki banyak pegangan gaib untuk memperkuat raganya. Makanya ka tetap masih sangat sehat dan kuat dj usia yang sudah lebih dari satu abad. Ki Langen secara rutin melakukan tapa untuk bisa mendapatkan wangsit dari para penunggu tempat bertapanya. Hingga saat ini, sudah banyak sekali ilmu yang ka kuasai. Tidak memikirkan bahwa pegangan dan ilmu hitamnya bisa mempersulit proses sakratul mautnya nanti. Hanya saja, ia mendalami ilmunya untuk dirinya sendiri. Tidak seperti kakaknya, yang menggunakan ilmunya untuk membantu orang banyak. Ki Langen hanya ingin hidup damai, tanpa banyak terbebani dengan permintaan tolong manusia yang kadang terlalu aneh dan merepotkan. Karena usianya yang sudah renta, Ki Langen — begitu ia akrab disapa — jarang bersua dengan masyarakat desa ini. Ia hanya diam di dalam rumah kecilnya yang berada di antara kerumunan pohon bambu besar, yang terletak di sepanjang Sungai Brantas. Ada yang bilang, di sana Ki Langen selalu bertapa. Untuk makan, ia hanya melakukannya empat puluh hari sekali. Selama bertapa, ia hanya minum air putih. Semua itu ia lakukan, demi memperdalam ilmunya. Semua beringsut keluar rumah untuk melihat ritual yang dilakukan oleh Ki Langen tepat di depan pohon buah asam raksasa. Lelaki itu berdiri tanpa tongkatnya, memejamkan mata. Tangannya menciptakan gestur khusus, yang tak dimengerti artinya oleh semua orang di sana. Ki Langen terlihat sangat konsentrasi dan khusyuk dalam menjalankan ritualnya. Cukup lama ritual berjalan. Sekitar tiga puluh menit, sampai Ki Langen akhirnya membuka mata. Napasnya terlihat naik turun. Ia juga berkeringat banyak. Banyu segera memberi minum pada adik dari kakeknya itu. Memastikan bahwa ia baik - baik saja. "Mbah kung nggak apa - apa?" tanyanya. "Nggak apa - apa, Le. Udah lama nggak melakukan ritual seperti ini. Badan Mbah kung udah nggak seperti dulu. Mbah kung udah tua. Makanya agak kaget." "Gimana, Mbah? Anak saya kenapa belum ketemu?" Ibu Dimas kembali menangis seperti tadi. Ki Langen dengan segenap aura kuatnya, menengok pada Ibu Dimas. Ia meminta tolong pada Banyu untuk mengambikan tongkatnya. Kemudian pria itu berjalan dengan tongkatnya menghampiri Ibu Dimas. "Anak kamu baik - baik saja, Nduk. Dia lagi main sama anak - anak Genderuwo di alamnya sana." Ibu Dimas memekik keras. Tak bisa membayangkan bagaimana putranya sedang bermain dengan anak - anak Genderuwo yang pasti sangat mengerikan. Membayangkan saja sudah cukup untuk mengalami merinding seluruh tubuh. Dan para ibu - ibu itu langsung histeris. Tidak terima dengan apa yang sudah terjadi. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN