Bimbingan yang Tidak Tepat

1401 Kata
Hari Minggu memang paling nikmat bangun siang dan rebahan di kasur sambil main handphone buka media sosial. Tapi ekspektasi itu langsung kandas begitu gue sadar kalau ada target skripsi yang harus diselesaikan dan sesuai arahan kalau hari ini bimbingan sama Pak Jiemi. Apalagi gue udah niat kemarin mengurus skripsi sampai begadang, jadi jangan sampai sia-sia menunda skripsi lagi. Tapi memang nggak terbayangkan jika hari Minggu cerah ceria yang mestinya ditemani doraemon malah direnggut paksa sama tuntutan. Pasrah aja lah. Disertai do'a, gue langsung w******p dia. Assalamualaikum,  Pagi, Pak Jiemi. Saya Ayana, ingin memastikan untuk bimbingan hari ini bisa jam berapa ya, Pak? Terima kasih. Dengan modal bismillah, gue tunggu balasan dari Pak Jiemi. Masih jam 08.00 wib, ada waktu buat gue mandi dan makan dengan santai. Beranjak dari kasur yang begitu posesif untuk mengambil handuk di jemuran lalu melangkah dengan berat ke kamar mandi. Ada yang satu frekuensi nggak kayak gue, kalau hari Minggu itu paling malas buat mandi pagi. Setelah mandi, gue cek handphone lagi tapi w******p itu masih ceklis dua dan belum berwarna biru. Oke. Gue masih bisa rebahan dengan santai, meski santai pun tetap aja kepikiran sama nasib skripsi karena gue udah kebelet ingin segera lulus. WhatsApp itu belum juga dibalas, yang ada malah telepon dari Oly. "Woi, mahasiswi abadi ... Apa kabar?" suara teriakan Oly di seberang sana memecahkan kekesalan gue. Enak aja dipanggil semena-mena. "Kampret lo, Ly. Gini – gini gue udah kerja nih," gue membanggakan diri. Meski gue masih berstatus mahasiswi tapi seenggaknya gue bisa sama kayak mereka dapet kerjaan. Oly tertawa di seberang sana, "Iya, iya. Sori deh ... Jalan yuk." "Gue ada bimbingan hari ini. Bete banget nggak sih." "Cie, mau nge-date lo ya sama Pak Jiemi. Masa bimbingan hari libur gini." "Jangan nambah kebetean gue deh." "Yaudah salam ya buat dosen ganteng tercinta itu. Kalau udah bimbingan telepon gue ya, nanti kita janjian aja. Oke?" "Iya gampang. Gue lagi nggak mood." Gue langsung matikan saluran telepon itu setelah mendengar tertawanya Oly di seberang sana. Emang ya, apes banget kayaknya nih gue. Harusnya gue udah menikmati kelulusan tapi gara-gara nilai gue yang E itu jadi menunda gue wisuda. Sialan. Dua jam gue menunggu balasan dari Pak Jiemi namun belum ada tanda-tanda pesan itu dibaca, padahal Pak Jiemi online sepuluh menit yang lalu tapi mengabaikan chat gue. Apa jangan-jangan chat gue tenggelam? Berusaha untuk chat lagi, baru satu kata yang diketik, ada tulisan ‘Pak Jiemi sedang mengetik pesan’ Gue buru-buru tekan tombol back agar tidak terlalu nunggu dia banget gitu. Setelah semenit gue diamkan chat Pak Jiemi langsung gue baca. Waalaikumsalam. Grha Sentosa Sudirman. jam 11 siang. Tunggu di lobby. Mata gue terbelalak. Jam 10 dari Bekasi ke Sudirman butuh waktu lama untuk sampai apalagi naik TransJakarta, masa iya gue harus naik kereta kencana atau pintu doraemon. Dengan terpaksa, akhirnya gue order mobil online hanya untuk ketemu Pak Jiemi si nyebelin itu. Empat puluh menit berlalu sampai juga di tempat. Untungnya nggak telat. Ternyata di Grha ini ada kegiatan seminar dan sepertinya beliau lagi mengikuti acara seminar. Gue mengedarkan pandangan bingung, kenapa hanya gue aja yang bimbingan dan tidak ada tanda-tanda mahasiswa lain yang menunggu. Yah, gue sadar diri aja deh. Mungkin aja karena gue mahasiswa satu-satunya yang telat wisuda jadi diberikan jalur khusus. Ngarep. Jam sebelas tepat, sedikit demi sedikit orang yang di ruangan keluar. Tak berapa lama Pak Jiemi menghampiri gue. Sumpah demi apapun, baru kali ini lihat Pak Jiemi di luar kampus dengan kemeja warna putih yang lengannya digulung sampai siku, membuat aura Pak Jiemi indah banget dilihat. Ciptaan tuhan yang semp--- "Ayana," suara Pak Jiemi yang sudah berdiri dihadapan gue dengan kedua tangan dimasukkan ke saku menyadarkan gue. "Iya, Pak." Pak Jiemi duduk di samping gue, wangi parfumnya menguar membuat indra penciuman gue makin terhanyut di dalamnya. "Kamu memang kebiasaan ya. Tidak pernah fokus." "Ma-maaf, Pak." "Mana skripsimu." Gue mengeluarkan skripsi bab satu sampai bab tiga yang sudah gue print sebelumnya. Pak Jiemi langsung mengecek skripsi gue secara detile. Semoga nggak banyak coretan. Namun tiba-tiba Pak Jiemi mengusap wajahnya dan menggelengkan kepalanya. "Penjelasan Pph 23 harus dicantumkan sumbernya, ini juga pokok permasalahannya tidak spesifik." Pak Jiemi mencoret dan menuliskan catatan di skripsi gue yang banyak koreksiannya. Dia tidak melanjutkan sampai akhir, malah langsung tutup skripsi gue. "Kamu cek lagi, Ayana. Jangan asal ngetik skripsi aja dong. Kamu pikir ini buat makalah?" nadanya meninggi, gue malah gugup dengan tatapannya yang tajam itu. "Iya, Pak. Maaf. Soalnya saya buru-buru karena diberi waktu dua hari. Sedangkan saya hari Jum'at masuk kerja." "Kamu banyak alasan ya. Apapun rintangannya, skripsi harus disegerakan. Tidak ada alasan untuk tidak menyelesaikan skripsi," kultumnya yang menohok itu sambil menyerahkan skripsi gue. Gue meraihnya dan memasukkan perlahan ke tas. "Maaf, Pak." "Saya tunggu hari Rabu untuk bimbingan. Jangan lupa tugas yang saya berikan di grup." Gue mengangguk dengan pasti dan meyakinkannya kalau gue akan menyelesaikan misi yang dia berikan. Gue nggak mau semua gagal dan tunda wisuda lagi. "Satu lagi. Kamu nggak usah print skripsimu, jadi boros kertas," dia menatap gue dengan tegas. Sedangkan gue menciut sambil mengiyakan. Ditengah perbincangan kami, tiba-tiba ada seorang pria yang berbadan tegap dengan setelan yang tak kalah ganteng dengan Pak Jiemi menepuk bahu dan memanggilnya. "Woi, Jiem. Lo ikut workshop juga? Apa kabar nih? Udah bawa cewek sekarang?" rentetan pertanyaan dengan cengirannya membuat Pak Jiemi tersenyum kecut. Gue melongo. "Nggak ada alasan buat saya jawab pertanyaan Anda." Pak Jiemi berdiri berhadapan dengannya dengan tatapan datar dan sekarang seperti menahan kesal. Mampus gue! Ada di tempat yang kondisinya nggak cocok terlibat sama dua cowok modelan yang aduhai gini. Ya monmap, jomplang banget untuk cewek kayak gue yang nggak cakep-cakep amat disandingkan sama mereka. Tapi tetap gue akuin dng, kalau gue itu manis. Boleh kan membanggakan diri sendiri. Rasanya gue mau pergi diam-diam tapi pasti nggak sopan. Cowok dihadapannya menepuk pundaknya berkali-kali. "Jiemi … Jiemi ... Kayak udah bisa move on dari dia aja. Paling nih cewek cuma buat pelampiasan lo." What the... Gue nggak suka banget nih berada di posisi yang nggak gue tau maksudnya apa. Enak aja gue terlibat. Nggak bisa dibiarin. Gue harus meluruskan kesalahpahaman ini. "Eh, Pak. Maaf ya, saya—" Pak Jiemi langsung mencengkram bahu gue dan menatap gue tajam. Ups, kayaknya gue salah deh. Lebih baik gue diam aja. Pak Jiemi kembali menatap cowok itu, "Tidak usah repot-repot dikte kehidupan saya. Jalani saja hidupmu bersama wanita itu, karena w*************a sangat cocok bersama laki perusak seperti Anda." Wuih, mantep banget ucapannya Pak Jiemi. Sepertinya ada perselisihan diantara mereka. Pak Jiemi kembali melirik gue dan memberikan kode lewat matanya agar mengikutinya. Sebenarnya gue ragu, tapi bahaya juga kalau gue menolak nanti skripsi gue nggak di ACC dan nilai gue masih tetap 'E' lagi. Akhirnya gue ikut mengekori Pak Jiemi menuju tempat parkir mobil Mazda-nya yang terparkir di sana. Setelah berada di pintu mobil, dia balik badan menghadap gue. "Sori, kejadian tadi buat kamu tidak nyaman." Gue tersenyum kikuk. Pasalnya baru kali ini nadanya terdengar ada penyesalan dan tidak menyudutkan. "Iya, Pak. Maaf juga kalau kedatangan saya tadi juga buat Bapak tidak nyaman." Gue menunduk menghormatinya. "Saya permisi dulu." Gue menegakan badan lagi lalu berbalik badan pergi darinya. "Kamu pulang arah mana, Ayana?" Pertanyaannya menghentikan Langkah gue. Lalu gue berbalik lagi. Nggak enak dong sama dosen masa nggak menghormati. "Arah mana ya, Pak," gue cengengesan sambil mikir, karena memang belum terlalu hapal daerah Sudirman ini. "Pulang aja kamu nggak tau jalan? Kamu anak kecil yang ke sasar atau buta jalan?" "Dua-duanya sepertinya, Pak." Gue masih cengengesan. Pak Jiemi menggeleng. Persis seperti di kelas tapi bedanya tidak ada mahasiswa lain. Hanya ada gue aja yang nggak bisa bersembunyi dibalik mahasiswa depan gue. "Memang rumah kamu di mana?" "Bekasi, Pak." "Kamu ke sini naik apa?" "Mobil online, Pak." Kali ini Pak Jiemi mengangguk. "Saya antar," Jangan tanya gimana perasaan gue. Terkejut dan nggak bisa bergerak nih kaki. Gue bingung harus gimana. Nggak pernah terpikirkan kalau bisa satu mobil sama Pak Jiemi. Mana gue ada janjian sama Oly, kan nggak enak kalau dianter ke Mall. Yang ada nanti malah diceramahin atau paling parah disangka modus lagi. iIhh ngeri. "Ayana! Aduuh ... Kamu ini kerjaannya bengong mulu ya." "I-iya, Pak," dengan langkah berat, terpaksa gue masuk ke dalam mobilnya. Ternyata gue nggak bisa menolak. Takutnya kalau nolak merasa nggak sopan dengan penawaran Pak Jiemi. Ya sudah lah, hitung-hitung menghemat ongkos. Lumayan ada uang cadangan buat jalan nanti sama Oly.    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN