4. Panggilan Tak Terjawab

1303 Kata
Kesunyian malam pecah tatkala Harley tidak sengaja menjatuhkan keranjang kecil berisi buah dari atas kitchen set. Waktu sudah lebih dari pukul sembilan. Makan malam di meja pun sudah tandas, menyisakan piring kotor yang belum sempat Maira cuci di wastafel. Samar-samar suara desahan terdengar sedikit tertahan. Dua orang insan pemilik rumah megah itu tampak sedang b******u mesra. Ternyata ini lah penyebab piring kotor di wastafel menumpuk. "Hmm … Mas Kean …." Maira terlena oleh sentuhan suaminya itu, membuat kedua tangan yang awalnya sudah siap ingin mencuci piring dan gelas urung bergerak. "Kau tidak lupa tentang ini bukan." Suara bisikan hangat bak pemandian air panas dari bibir Harley menelusup ke gendang telinga Maira, membuat wanita itu tak kuasa untuk menghindar. "Hm, hehehe." Tawanya gantian terdengar di telinga Harley. Pria itu membuatnya terkekeh geli akibat kedua tangannya, yang bergerak menjamah seluruh permukaan tubuh Maira. Harley menyesap belakang tengkuk wanitanya, membuat Maira menunduk, memberikan akses bebas padanya. Keran air di wastafel itu Maira matikan sesaat sebelum Harley meremat kedua buah miliknya dari belakang. Pria itu mengukung tubuh mungil Maira dengan tangan kekarnya, membuat wanita itu hanya bisa menerima sentuhan kali ini. "Kau siap?" bisik Harley sekali lagi. Pria itu hanya mendapat jawaban berupa dehaman dan anggukan, juga senyum yang merekah di wajah kemerahan Maira. Detik berikutnya, Harley menuntun tubuh wanitanya itu dengan pelukan menuju tempat yang lebih empuk dan leluasa. Bukan, bukan kamar tidur, melainkan sofa ruang tengah. Pria itu membawa Maira sambil terus memeluknya dari belakang, menggiringnya agar berjalan sendiri. Ketika sampai di sofa, Harley mendudukkan tubuh istrinya. Maira meraih kedua pipi suaminya, lalu pria itu mencium bibirnya singkat. Kemudian, Harley menarik sedikit tubuh Maira, membuat gadis yang sebelumnya duduk tegak kini merosot dan bersandar di sandaran sofa. Pria itu membuka kedua paha istrinya, lalu mencium pangkal pahanya. Lagi-lagi Maira tertawa kecil. Harley yang menyadari suara tawa istrinya itu melakukan sesuatu yang bisa menambah tawanya. Dia menggerakkan wajah di pangkalan paha gadis itu, membuat Maira merasa geli dan reflek ingin merapatkan kedua kakinya. Namun ditahan oleh pria itu. Harley menurunkan celana tidur satin yang dipakai istrinya untuk melanjutkan kegiatan malam ini. Maira menggigit bibir menahan rasa. Sesekali wanita itu menggigit jari tangannya sendiri. Dia bisa melihat Harley yang saat ini sedang bermain dengan miss v-nya di bawah sana. "Hmm … Mas Kean …." Pria itu membuka baju kausnya, lalu melemparnya ke sembarang arah. Maira yang menyukai bentuk tubuh suaminya pun segera menegakkan tubuh. Diciumnya permukaan perut hingga d**a pria itu, lalu tangannya mencubit-cubit kepingan persegi yang terbentuk di perut suaminya, gemas. Gantian Harley yang tertawa. Selanjutnya, pria itu menggeser agar seluruh tubuh Maira terbaring di sofa. Kini tatapan mereka bertemu, masing-masing bibir insan itu tertarik, mengukir senyum. Detik berikutnya, tautan tercipta di antara mereka. Beberapa kali terdengar suara tawa dari bibir Maira, begitulah kebiasaan wanita itu saat bercinta, juga hobi Harley yang jahil menggelitik perut istrinya. Pria itu mengaku bahwa dia senang mendengar Maira tertawa, bahkan saat penyatuan. Ada perasaan tersendiri baginya ketika mendapati wanitanya itu melebarkan senyum hingga terlihat gigi-gigi putihnya yang cantik. Apalagi ketika mendengar wanita itu memanggil namanya, Harley senang bukan main, meski memang hal itu tak terlihat langsung di wajahnya. Mereka terlalu asyik dengan aktivitas malam itu. Sampai-sampai Harley tidak tahu jika sejak tadi ponselnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Lisa tak terjawab, dan tercatat sudah ada dua belas panggilan yang pria itu lewatkan. Pukul sebelas malam, Harley dan Maira masih terjaga, berbaring berhimpitan di sofa ruang tengah. Maira sudah hampir tertidur di atas tubuh pria itu. Kemudian ekor matanya menyadari Harley yang tengah membuka ponsel. Pria itu baru saja meraih ponsel yang sejak tadi tergeletak di meja bundar kecil di samping sofa. "Lisa menelpon?" cicit Maira yang bisa melihat langsung layar ponsel suaminya. "Hm, kenapa dia menelpon sampai 12 kali?" Harley memikirkan jawaban versi dirinya. Dia berpikir jika adiknya itu menelpon sebab ingin meminta saran makan malam yang romantis. Merasa tak ada masalah yang terlalu genting, Harley meletakkan kembali ponselnya. Namun Maira yang merasa kantuknya sudah teralihkan tidak bisa menyambung niat yang ingin tidur. Wanita itu meraih ponsel suaminya. "Kau mau apa?" tanya Harley yang menyadari istrinya sedang menebak-nebak password ponselnya. "Mau liat," cicit Maira. "Tidak ada apa-apa di ponselku," kata Harley, entah mengapa dia berpikir jika saat ini istrinya itu ingin berpatroli di ponselnya. "Bukain," pinta Maira seraya meraih tangan pria itu, hendak memasukkan sidik jadi Harley untuk membuka kuncinya. Hal itu membuat Harley tersenyum dan menyerah. Dibukanya ponsel itu untuk istrinya. Kini Maira bisa melihat seluruh isi ponsel suaminya. "Kau menyimpan curiga padaku?" tanya Harley setelah menyaksikan sendiri bahwa saat ini istrinya itu sedang membuka fitur pesan. "Tidak," jawab Maira seraya menelisik dan mengerutkan kening. Harley menarik sudut bibirnya, melihat Maira yang saat ini penasaran dan membuka pesan dari salah satu investor di perusahaannya, Mrs. Norris. Sesekali Harley melihat tangan istrinya terhenti sebab membaca pesan-pesan yang dikirim wanita bernama Mrs. Norris itu. Sampai akhirnya Maira mendongak untuk menatap sebal pada suaminya. Tampak jelas jika sekarang dia merengut sebab mendapati wanita berinisial Mrs. Norris itu mengirim pesan yang diikuti emot hati untuk suaminya, bahkan tak jarang Maira menemukan emot cium yang dikirim wanita itu. "Siapa dia?" Maira bertanya dengan nada yang jelas sekali menampakkan kalau dia cemburu. Sementara Harley masih cukup santai dengan dirinya. Bagaimana tidak, dia bahkan tidak pernah menyukai wanita di ponselnya itu barang semenit. Harley tersenyum geli sebab melihat bibir istrinya mengerucut sebal. "Dia hanya salah satu dari banyaknya orang yang menyukaiku." Harley menaikkan kedua bahu sambil melebarkan senyum ke bawah. "Aku tidak pernah menyukainya." Maira masih menatap pria itu penuh selidik. Jika dilihat dari isi percakapan pesan mereka, Harley memang tidak pernah membalas serupa dengannya. Pria itu hanya menjawab jika pertanyaan Mrs. Norris sangat penting dan berkaitan dengan bisnis yang mereka geluti. "Kau harus tahu jika suamimu ini memiliki banyak penggemar di luar sana," tambah Harley, membuat bibir Maira semakin maju dengan tatapan tajam. Pria itu tertawa, jelas sekali jika perutnya bergetar. Maira yang berbaring di atasnya bisa merasakan getaran tawa itu. Harley mencubit bibir istrinya, gemas. "Tidak perlu khawatir, kau akan tetap menjadi milikku," ucapnya sambil mencium kepala Maira. Wanita itu terpejam ketika merasakan bibir Harley menyentuhnya, dia menikmati ciuman yang sangat singkat itu. *** Kesunyian malam membuat Aisya terbangun dari tidurnya. Gadis kecil itu tidak mendapati keberadaan ibu di sebelahnya. "Mama," panggilnya dan tidak mendapat jawaban. Aisyah turun dari tempat tidur untuk melangkah mencari Lisa, ibunya. Pertama dia membuka pintu kamar papanya, memastikan, mungkin saja ibunya itu pindah dan tidur dengan papanya. Namun Aisya hanya menemukan papanya yang terlelap di kamar itu. "Mama." Aisya mencari Lisa di seluruh penjuru rumah. Dia tidak melihat siapa-siapa. Sampai akhirnya gadis kecil itu melihat pintu balkon yang terbuka. "Mama," panggil Aisya. Lisa buru-buru menghapus air di wajahnya. Wanita yang dipanggil mama oleh Aisya itu segera berbalik untuk menyambut kedatangan putrinya. "Kenapa bangun malam-malam, Sayang? Aisya kebelet pipis, ya?" tanya Lisa dengan senyum biasanya yang selalu dia lempar pada gadis kecil itu. Aisya menggeleng. "Mama kenapa bangun malam-malam? Aisya bangun karena mama nggak ada di samping Aisya." "Mama tadi kebelet pipis, terus duduk di sini sebentar. Ya udah ayuk tidur lagi, besok kan Aisya harus bangun pagi buat sekolah." "Aisya kira tadi mama pindah ke kamar papa. Kalo mama mau bobo sama papa, Aisya nggak papa bobo sendirian, Aisya kan udah besar," papar gadis kecil itu. Lisa terkekeh mendengarnya. "Kalo Aisya udah besar, kenapa Aisya bangun pas tau Mama nggak ada di samping Aisya?" "Hehehe." Gadis kecil itu ikut terkekeh. Siapa sangka jika Aisya pun pandai berbasa-basi untuk menyenangkan hati mamanya. "Ayuk, sekarang kita kembali tidur." Lisa menutup pintu balkon itu lantas menggendong Aisya dan membawanya kembali ke kamar. Selain Aisya yang selalu mencari keberadaannya, ada satu hal lain yang membuat Lisa lebih memilih untuk tidur bersama gadis kecil itu. Dia tidak bisa menahan perasaannya setiap kali berada bersama William. Namun, keadaan memaksanya untuk terus bertahan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN