PERATURAN GAMMA

1121 Kata
     Ijab kabul berjalan dengan lancar. Acara pernikahan hanya sebuah ijab kabul yang hanya di hadiri oleh keluarga. Memang acara pernikahan ini jauh dari kata mewah karena semua ini adalah permintaan dari Alfarin.      Alfarin mencium tangan Gamma dan Gamma mencium kening gadis itu. Alfarin menatap Gamma, kini dia sadar lelaki yang berbeda sepuluh tahun darinya dan juga mantan suami kakaknya sekarang telah sah menjadi suaminya,meskipun pernikahan mereka saat ini sama sekali tidak dilandari oleh cinta. Alfarin sangat tahu bahwa Gamma melakukan semua ini semata-mata hanya kasihan pada dirinya, ya dia akui dirinya memang pantas untuk dikasihani.      Siang berganti malam dan kesedihan berganti keikhlasan. Gamma memandang Alfarin yang tengah terduduk di sampingnga dengan wajah kelelahan dan juga mata yang sudah tertutup, Gamma menggeser duduknya lalu mendorong kepala Alfarin pelan agar menyender di bahunya, merasakan itu membuat Alfarin membuka matanya cepat.      "Kalau ngantuk, tidur aja di sini," ucap Gamma sambil menepuk-nepuk bahunya, Alfarin menguap lalu dia menjatuhkan kepalanya di paha Gamm, bukan semestinya yang diajukan oleh Gamma.      "Aku ngantuk," ucap Alfarin. Wanita itu memang seperti itu, kalau dia sudah mengantuk otaknya kadang suka berhenti berpikir.      Merasakan kepala Alfarin berada di pahanya membuat napas Gamma tercekat sebentar, tetapi dengan cepat dia mengatur napasnya seperi biasa. Biasalah akibat gerogi. Tangan Gamma terangkat untuk mengelus puncak kepala Alfarin, membiarkan agar wanita itu masuk ke dalam alam mimpinya.      "Gam, Mami sama Papi pulang dulu ya," ucap Maminya tiba-tiba.      Gamma menatap Maminya dia ingin terbangun dari duduknya dan ingin mengantarkan Mami dan Papinya keluar, tetapi baru saja dia bergerak sedikit tangan Alfarin sudah melingkar di pinggangnya membuat Gamma kembali terduduk. Maminya melihat itu hanya terkekeh lalu menggeleng.     "Ga perlu mengantar Mami, Papi udah ada di mobil kok. Omong-omong, besok pagi Mami sama Papi kembali ke Jerman," ucap Maminya menjelaskan.      "Iya, makasih Mih udah dateng. Hati-hati ya, maaf Gamma ga bisa mengantar Mami sama Papi."      "Gapapa sayang, Mami pamit ya. Omong-omong semoga Alfarin tidak memiliki penyakit seperti Louren karena Mami ingin sekali mengendong cucu dari kamu, Gam."      Mendengar ucapan harapan itu membuat Gamma tersenyum parau, memikirkan itu aja Gamma tidak pernah dan malah Maminya yang berpikiran seperti itu. "Iya Mih, semoga." hanya ucapan itu yang melintas di otaknya. Maminya mengangguk lalu segera bergegas keluar.    Kini, kesadaran Gamma kembali kepada Alfarin yang tengah tertidur di pahanya dan juga tangan wanita itu yang melingkar di pinggangnya. Gamma menghela napas, dia melepaskan tangan Alfarin dari pinggangnya lalu segera membawa gadis itu masuk ke dalam kamarnya yang berada di lantai dua. -00-    Alfarin mengucek matanya dan menguap beberapa kali. Dia mempertajam penglihatannya lalu menatap sekelilingnya, seketika dia terbangun dari tidurnya. Alfarin menoleh kearah sampingnya, mendapatkan suaminya tengah tertidur dengan begitu damai. Aura ketampanan Gamma t terpancar ketika dia tertidur daripada ketika dia terbangun. Namun, Gamma tetaplah Gamma, dokter ganteng yang diperebutkan oleh para suster.    Tiba-tiba suara perutnya terdengat, dia sangat lapar sekarang. Dia menatap kembali ke arah sampingnya,  berniat untuk membangunkan Gamma yang tengah tertidur. Alfarin memindahkan guling yang menjadi pembatas mereka berdua dan meletakkannya di belakang. "Kak ... Kak Gamma ..." panggilnya lembut sambil menepuk-nepuk bahu Gamma. Gamma sama sekali  belum terganggu dari tidurnya. "Kak Gamma ..." panggilnya lagi, Gamma menggeliat lalu membuka sedikit matanya. "Kenapa?" "Aku lapar, Kak," ucap Alfarin sambil mengigit bibirnya, takut-takut Gamma marah kepadanya.  Gamma mengusap wajahnya, ngantuknya semakin menyerang membuatnya tidak kuat untuk bangun dari ranjangnya ini. "Kak ... aku lapar,"ucap Alfarin lagi karena merasa tidak mendapat respon dari Gamma. "Sudah tengah malam, Fa. Enggak baik makan saat tengah malam."ucap Gamma menasehati.    Makan tengah memang berdampak negatif bagi tubuh yaitu naiknya berat badan, meningkatkan glukosa dan insulin dalam tubuh, tetapi energi menjadi berkurang.     Alfarin mengentak-hentakkan kakinya. Bibirnya mengerucut, sebal." "Bilang aja Kakak ga mau temenin aku makan. Yaudah deh gapapa, aku tidur lagi yah," ucapnya lalu menjatuhkan kepalanya di atas bantal dan menutup matanya bersiap untuk tidur kembali. Namun, ada sebuah tangan yang menariknya membuat matanya kembali terbuka. "Kamu mau makan apa?"tanya Gamma yang sudah terduduk dengah mata yang terbuka lebar. Alfarin langsung duduk dan tersenyum, Gamma mengalah. "Piza, pesenin aku piza Kak." "Jangan yang banyak karbohidrat, Fa. Minum s**u aja ya." "Aku tuh lapar Kak, bukan haus." Gamma hanya menatap Alfarin tanpa memberikan respon selanjutnya. Alfarin berdecak sebal, dia menarik kembali selimut. "Ga usah deh Kak, aku tidur aja ya." "Sebentar, saya pesankan dulu." Alfarin kembali tersenyum, 2-0. . "Lain kali, kamu kalau makan malam 3 jam sebelum tidur ya," ucap Gamma sambil menatap Alfarin yang melahap piza yang dia pesan dengan lahap. Hampir tersisa dua potong lagi. "Iya, Kakak mau enggak? Enak tahu." Alfarin menyodorkan dua potong piza ke hadapan Gamma. Gamma yang melihat itu langsung menggeleng cepat. Gamma tidak memakan jung food dan juga sekarang sudah melewati waktu dia makan. "Tidak. Habiskan saja, Malam ini terakhir kamu  seperti ini. Besok-besok saya akan mengatur jam makan dan jam tidur kamu." Ucapan itu membuat gadis itu terpaku. Menikah bersama seorang dokter ternyata banyak peraturan.  Alfarin melanjutkan makannya, tiba-tiba teringat kakaknya. "Dulu Kak Louren enggak pernah seperti ini emang?" tanya Alfarin sambil menjilati saus di tangannya. "Enggak, dia tahu kesehatan. Maklumlah dia lebih dewasa dalam segi umur, pasti tahu yang terbaik untuk dirinya." Mendengar itu membuat Alfarin menghentikan kegiatannya. Dia menjatuhkan pizza yang baru dia ambil dengan asal. "Berarti Kakak bilang aku enggak tahu kesehatan? Kakak berarti menggap aku seperti anak kecil? Kalau kaya gitu kenapa Kakak nikahin aku? Seharusnya biarkan aja aku hidup sendirian," ucap Alfarin dengan napas tercekat, mata gadis itu memerah menahan tangis. "Maksud saya ti—" belum sempat dia melanjutkan ucapannya Alfarin sudah berlari menuju lantai atas, dia ingin mengambil tasnya bersiap kembali pulang ke rumah mamanya. Dia sakit hati dengan ucapan Gamma barusan. Dengan tas yang sudah berada di tangan, Alfarin berjalan menuju lantai bawah. Namun, ada sebuah tangan yang melingkari pinggang wanita itu membuat wanita itu seketika menengang. "Maafin saya, saya tidak bermaksud membuat kamu sakit hati. Gamma berbisik tepat di telinga gadis itu. "Umur kita memang terlampau jauh. Aku masih kaya anak kecil dan Kakak ga nerima itu," ucap Alfarin dengan diselingi suara isakan. Gamma semakin mempererat pelukannya dan meletakan kepala pria itu di bahu Alfarin membuat gadis itu semakin panas dingin. "Siapa bilang saya tidak menerima? Saya menerima Fa. Saya menerima kamu apa adanya. Kamu jangan pergi, kita kembali tidur ya," ucap Gamma dengan lembut. Dia tahu mungkin dengan cara lemah lembut hati wanita akan luntur, walaupun sekeras batu. "Kakak kalau mau cerain aku, cerain aja. Kita nikah belum sampai sehari kok. Bisa batal nikah kan." "Tidak, saya tidak akan menceraikan kamu. Sudah ya, sekarang kamu cuci muka, cuci tangan, sikat gigi, dan tidur kembali. Saya sudah ngantuk, pasien saya masih banyak besok." Alfarin langsung saja berjalan dan menjatuhkan tubuhnya di rajang, dia lagi ngambek ceritanya. Biarkanlah Gamma marah karena tidak mengikuti perintahnya. Namun, bukannya marah Gamma langsung mengambil telapak tangan Alfarin dan mengelap tangan gadis itu menggunakan tissu basah. "Jangan ngambek seperti itu, saya tidak suka."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN