Sementara Elwin, pria itu sedang santai di halaman belakang rumahnya. Mengistirahatkan diri setelah buang-buang tenaga yang nyatanya tidak menghasilkan apapun alias percuma beberapa menit yang lalu.
Menuruni tangga, terlihat segar usai mandi, Elwin kembali ke tempat ia meninggalkan Jesty. Sesampainya di sana, ia tidak mendapati Jesty di mana pun.
Elwin pun kembali menaiki tangga, ia khawatir Jesty kenapa-napa. Pasalnya tadi, Jesty menjatuhkan gelas dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hal yang menurutnya aneh.
"Jesty!" teriak Elwin depan kamar yang di tempati Jesty sambil mengetuk-ngetuk pintu.
"Jesty buka pintunya."
Tak ada jawaban.
"Jesty ada di dalam kamar 'kan?"
"Jesty!"
Elwin gusar, ia mengusap wajahnya kasar sembari mon0dar mandir di depan pintu kamar Jesty. Ingat akan sesuatu, Elwin bergegas menuju ruang kerjanya. Membuka pintu kasar, Elwin langsung menyalakan komputernya. Mendapati yang ia cari, Elwin tersenyum lega.
Melalui CCTV, Elwin dapat melihat Jesty tidak keluar dari rumahnya. Itu artinya Jesty masih berada di rumahnya. Ia pun bergegas kembali ke kamar Jesty, memanggil nama wanita itu seperti tadi, berharap ada jawaban.
Elwin mengetuk pintu kamar Jesty dan berkata, "Jesty, Mas tahu kamu di dalam. Jawab Mas, Jesty."
Hasilnya tetap sama, nihil. Elwin tidak mendengar suara apa pun. Bukan karena kamar Jesty kedap suara, memang tak ada suara yang menyahutinya.
"Jesty, Mas hanya ingin memastikan Jesty baik-baik saja."
"Jawab Mas, Jesty."
"Jesty."
Sekali lagi, Elwin mencoba mengetuk kembali kamar Jesty.
"Jesty."
Sekeras apapun ketukan Elwin, sekuat tenaga ia berteriak, Jesty sama sekali tidak membalasnya.
Tidak hilang cara walau tidak punya akses ke kamar Jesty, Elwin turun kembali ke lantai bawah. Ia keluar rumah menuju gudang, kemudian masuk ke dalam rumah dengan membawa tangga.
Tepat di samping kolam renang, Elwin meletakkan tangga yang ia bawa di sana. Di atasnya ini, adalah kamar Jesty berada. Ia akan menaiki tangga untuk sampai ke balkon kamar Jesty, itu rencananya.
"Cara ini mungkin bisa."
Perlahan Elwin mulai menaiki tangga. "Mas minta maaf, Jesty. Mas khawatir sama Jesty. Takut Jesty pingsan."
Ya, Elwin mengira Jesty pingsan dalam kamarnya sehingga wanita itu tak menjawab sama sekali.
Berhasil meraih balkon kamar Jesty, Elwin masih harus berusaha menaiki pagar balkon. Terasa mudah baginya, bersyukur ia punya tubuh tinggi.
Senyum Elwin terukir, setelah menyaksikan sendiri dengan kedua matanya, Jesty terlelap menghadap ke arahnya lebih tepatnya ke arah balkon dirinya berada saat ini. Elwin mendekat pada jendela kaca pemisah balkon, berharap ia bisa membukanya dan masuk untuk menemui Jesty. Tetap, sekeras Elwin mencoba membuka, sekuat itu pula jendela pemisah balkon tersebut mempertahankan diri supaya tetap tertutup.
Menghembuskan nafas kasar, Elwin mengembangkan senyum di wajahnya. Tak apa, tidak bisa menemui Jesty langsung. Melihat keadaannya utuh saja sudah cukup. "Syukurlah, Jesty baik-baik saja. Mas senang."
Memang, sejak insiden mata ternodai tadi, Jesty memutuskan untuk tidur sebelum Elwin kembali dari acara mandinya. Jesty berharap saat bangun nanti, pikiran-pikiran kotor dalam otaknya lenyap begitu saja, semoga.
***
Jesty menggeliatkan tubuhnya. Ia melihat ke arah jam dinding. Waktu sudah menunjukkan jam 1 kurang.
"Sudah jam segini, pantas saja aku lapar," gumam Jesty. Ia lalu mendudukkan dirinya. Mengumpulkan semangat untuk bangun dari ranjang yang empuk ini. Jiwa kemalasan sedang menguasainya sekarang.
Ogah-ogahan, Jesty akhirnya meninggalkan ranjangnya, menuju kamar mandi. Mencuci muka sebelum keluar kamar.
"Baunya harum," ujarnya. "Membuatku semakin lapar saja." Jesty mengelus perutnya sembari melanjutkan kembali langkah kakinya menuju dapur. Perutnya ini harus segera diisi, jika tidak cacing-cacing yang hidup di sana merintih kesakitan.
Hampir sampai di dapur, Jesty langsung menghentikan langkah kakinya. Terpaku menyaksikan seseorang tengah memasak dengan celemek di tubuhnya. Meski hanya melihat tubuh bagian belakang Jesty merasa terpesona.
"Benar kata orang, milik orang lain memang terlihat menggoda sekali."
Oh Tuhan tolong.
"Tuhan, jangan biarkan aku jatuh cinta padanya. Engkau tahu, aku mudah jatuh cinta. Tolong jangan dia. Aku tidak mau terlihat menyedihkan untuk cinta yang tak terbalas. Sadarkan aku, dia bukan milikku, Tuhan. Sadarkan aku, untuk tidak egois dan membiarkan orang lain terluka," lirih Jesty. Ia kini pasti terlihat menyedihkan.
Mudah jatuh cinta. Ia akui itu. Siapa sih, orang yang mau hidup seorang diri di dunia ini? tidak ada. Ia sudah lama sendiri, jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin memiliki seseorang yang bisa menjadi segala tempat dan suasana untuknya.
Ia ingin di peluk saat menangis. Ia ingin di dengarkan saat lelah. Ia ingin di perhatikan. Ia menginginkan semua itu, tapi tak satu pun ia dapatkan, menyedihkan.
"Aku memang tidak pernah beruntung dalam cinta. Mungkin ... " Jesty tanpa sadar menitihkan air mata, kisah percintaannya memang menyedihkan. Bahkan orang-orang terkasihnya, telah lebih dulu meninggalkannya. "... aku memang tidak layak di cintai. Hah, miris sekali."
"Jesty sudah bangun?" tanya Elwin. Seperti dugaan kalian, laki-laki yang tengah memasak dan berada di dapur itu adalah Elwin. Laki-laki itu cukup terkejut mendapati Jesty berada tidak jauh darinya ketika ia menghadapkan diri ke belakang.
"Astaga." Jesty pun terkejut, ia sampai memundurkan langkah kakinya. "Mas mengejutkanku lagi, bagaimana nanti kalau aku kena sakit jantung? Mas mau tanggung jawab?"
Elwin menyatukan alisnya, saat matanya melihat seksama wajah Jesty. Ada sesuatu yang keluar dari mata dan meninggalkan jejak di pipi. "Jesty menangis."
Sadar akan sesuatu, Jesty segera menghapus air matanya. "Tidak, aku habis cuci muka, tidak sempat pakai handuk."
Elwin kembali menatap intens wajah Jesty. Ia tidak mempercayai yang Jesty katakan. Jelas-jelas ia melihat jejak air mata itu.
"Jesty bohong."
"Astaga, tidak. Ini hanya air kok." Jesty berusaha mengelak, ia membuat ekspresi wajah agar mendukung ucapannya.
"Mas enggak per--"
"Mas jangan bicara terus. Jesty sungguh menangis karena kelaparan nih. Menyedihkan sekali, huhu," potong Jesty, mengalihkan. Ia sampai pura-pura menangis juga. Ia memang menangis, tetapi tidak perlu orang lain tahu. Ia telah terbiasa menangis sendirian.
Ingat dengan masakannya, Elwin mengembangkan senyumnya. "Mas sudah masak, Jesty."
"Jesty tahu."
"Benarkah?"
Jesty menganggukkan kepalanya. "Iya, Jesty berhenti di sini karena lihat Mas masak."
"Terima kasih, Jesty. Mas senang."
"Sama-sama, Mas."
"Jesty duduk saja." Elwin menuntun Jesty untuk duduk di meja makan. "Mas akan menyiapkan makanannya dulu. Nanti Mas bawa kemari."
"Aku bahkan diperlakukan tak semestinya oleh dia." Jesty memandang kepergian Elwin. "Aku sungguh tidak bisa mengerti dia. Aku tidak bisa mengerti keadaan ini. Apa ini kepalsuan atau kebahagiaan sementara untukku? kenapa dia begini?"
Jesty tersenyum getir, menertawakan dirinya sendiri. "Apapun itu, aku tidak ingin kecewa meski akan kecewa pada akhirnya."