Ch.2

1500 Kata
Sudah lima belas menit lamanya, tetapi pria bernama Nathan itu tidak kunjung kembali dari kepergiannya. Sebenarnya, apa yang mengganggunya hingga meninggalkanku selama ini? Pria itu tentu tidak akan memintaku untuk menunggunya jika ia tidak merasa tertarik padaku bukan? Tetapi mengapa ia tidak kunjung kembali? Tidak mungkin kan ia tersesat dan tidak bisa menemukan tempat perbincangan kami ini, atau sebenarnya ia memang sengaja pergi untuk mengisyaratkan penolakannya padaku? Ah, tiba-tiba saja aku teringat jika pria itu mengatakan bahwa dirinya sedang tidak enak badan. Mungkinkah jika terjadi sesuatu pada pria itu? Aku memijit pelipis ku ringan, mencoba menghilangkan rasa panik yang tiba-tiba saja menyelimuti pikiranku. Selain khawatir karena pria itu terakhir kali terlihat bersamaku-jika saja terjadi sesuatu padanya- Demi apa pun, aku tidak bisa membiarkan pria itu pergi begitu saja, apa lagi tanpa sinyal apa pun yang menunjukkan jika ia merasa tertarik padaku. Sudah berapa kali aku mengatakannya, tetapi aku memang sudah merasa lelah mengikuti acara- acara perayaan seperti ini. Aku sudah lelah, memikirkan senyuman tidak menyentuh mata milik Ibu, yang selalu diberikannya ketika aku tidak berhasil menemukan pasanganku. Selain itu, aku juga merasa begitu lelah ketika harus kembali membebani mereka dengan mengambil cukup banyak dari penerimaan mereka hanya untuk membeli gaun-gaun baru dengan brand ternama agar terlihat seperti orang-orang yang datang di perayaan penting ini. Namun, kalimat Ibu selalu menguatkanku. Bohong jika aku selalu percaya pada perkataan Ibu, tetapi terkadang aku merasa tidak pantas menerima pujian Ibu yang begitu berlebihan itu. Menegakkan tubuhku, aku mulai mengambil langkah, berjalan menuju ke arah dimana pria bernama Nathan itu menghilang. Aku harus menemukan pria itu, sekali pun selanjutnya aku tidak tahu harus berbuat apa padanya. Aku tidak berhak marah karena aku bukan siapa-siapa untuknya, bahkan mungkin ia melupakan keberadaan ku sekarang. Sialan. Aku harus segera memastikannya. Mungkin aku terdengar begitu berambisi, dimana hal ini bisa saja menjadi salah satu alasan mengapa beberapa pria yang ku dekati sebelumnya merasa tidak tertarik dan tidak berniat untuk melanjutkan perbincangan kami. Namun, bukankah seharusnya mereka menyadari akan usahaku itu? Mereka seharusnya menyadari jika wanita yang sedang mencoba mendekatinya itu adalah wanita pekerja keras yang pantang menyerah untuk mendapatkan perhatian mereka. Aku menggelengkan kepalaku, kemudian memfokuskan diri untuk terus berjalan, hingga pada akhirnya langkahku terhenti ketika samar-samar aku dapat melihat bayangan dari dua orang yang sedang saling berbicara. Aku tidak berniat untuk menghiraukan mereka.... tetapi tensi yang terbangun di antara mereka terlihat begitu tidak nyaman. Dan apakah salah satu di antara mereka adalah Nathan? Dengan sedikit kesulitan, aku mencoba mendekati mereka, kemudian bersembunyi di dekat pohon di sekitar sana. Aku tidak mendengar apa pun yang sedang mereka bicarakan, tujuanku mendekat dan menajamkan mataku adalah untuk memastikan jika itu adalah Nathan. Dan benar saja pria itu adalah Nathan yang sedang berbicara dengan Rebecca Cole? Aku tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan sekarang, tetapi tiba-tiba saja Nathan meraih wajah Rebecca dan menciumnya. Damn! Tidakkah pria itu tahu jika wanita itu sudah memiliki seorang tunangan? Dan tunangannya tidak lain dan tidak bukan adalah Benjamin Landcaster. Dia benar-benar mencari masalah dengan melalukan hal ini. Dan sialannya, mengapa aku malah memikirkan hubungan penuh skandal antara Nathan dan tunangan dari Benjamin Landcaster itu? Ah, tentu aku perlu memikirkannya, tujuanku adalah mendapatkan Nathan, jika pria itu benar-benar tidak tertarik padaku dan malah berurusan dengan apa yang dimiliki Benjamin Landcaster.... Lebih baik aku menghindari mereka saja. Aku tidak ingin berurusan dengan drama mereka ini. Aku mengambil langkah ke belakang, kemudian membalikkan tubuhku dan merasa begitu terkejut ketika tatapan dingin menusuk itu bertemu tatap denganku. Benjamin Landcaster. Pria yang sejak tadi menjadi pusat perhatian dari perayaan pesta malam ini. Sialan sejak kapan pria itu berdiri di sana? Di tempat yang tidak begitu jauh dari tempatku berada. Anehnya ia tidak menampilkan reaksi apa pun, entah itu raut kesedihan, kesal atau amarah. Dia hanya terlihat seperti Benjamin yang dikenal banyak orang.... dingin dan tanpa ekspresi. Aku tidak beranjak dari tempatku berdiri, dan pria itu tidak berusaha untuk melakukan apa pun. Memangnya apa yang kau harapkan untuk dilihat Rosie? Aku tidak mengharapkan apa pun untuk dilihat, tetapi bukankah melihat tunangan mu sedang berciuman dengan pria lain akan membuatmu merasa marah? Ataukah tidak untuk seorang Benjamin Lancaster? Beberapa saat kemudian, pandangan pria itu beralih kembali ke tunangannya. Lagi-lagi tidak ada ekspresi yang menggambarkan perasaannya. Benjamin Landcaster.... Apa ia baik-baik saja? Tanpa bersuara, pria dingin itu selanjutnya melangkahkan kakinya pergi meninggalkan pemandangan yang bagiku tentu terasa memuakkan jika aku berada di posisinya. Dan entah apa yang ada di dalam pikiranku sekarang, tanpa diminta kaki ku sudah terayun dengan ringannya untuk berjalan mengikutinya. Ini gila. Berapa banyak kegilaan yang harus kulihat dan mungkin juga kulakukan malam ini? Bukankah aku tidak ingin bergabung ke dalam drama dari hubungan antara Benjamin Landcaster, tunangannya juga pria bernama Nathan yang notabennya menjadi targetku malam ini? Tetapi, mengapa aku tidak bisa menghentikan langkahku untuk mengikutinya sementara pikiranku terus saja meneriakkan untuk tidak mengikuti pria itu. "Tuan.... Tunggu..." Dan aku bahkan memanggil pria itu tanpa tahu apa yang akan ku lakukan padanya. "Tuan." Lagi-lagi aku memanggilnya ketika ia tidak menghentikan langkahnya. Ada apa denganmu, Rosie? Kau bahkan tidak tahu apa yang akan kau lakukan jika pria itu tiba-tiba menghentikan langkahnya, tetapi kau tetap saja mencoba mencari perhatiannya? "Tuan bisakah-" Tanpa diduga, tiba-tiba saja pria itu menghentikan langkahnya, membuatku tanpa bisa dicegah sudah menubruk punggung lebarnya dengan cukup keras. Daeng! Seperti ada alarm yang berbunyi dan memperingatkan ku untuk segera pergi dari hadapan pria itu, tetapi kakiku rasanya seperti terpaku sekarang. Selanjutnya pria itu membalikkan tubuhnya, membuat kami saling berhadapan satu sama lain. Seperti apa yang dilakukannya sebelumnya, pria itu hanya terdiam tanpa melakukan apa pun. Sialan, apa yang harus kulakukan sekarang? "Ah... ak...aku..." Dasar bodoh. Aku mencoba mengatur napasku sebelum kemudian mengucapkan sesuatu yang entah dari mana datangnya pertanyaan itu, "Mengapa kau tidak menghentikan mereka?" Dan mengapa kau begitu peduli akan itu, Rosie? Benjamin Lancaster bisa berbuat apapun, termasuk membiarkan tunangannya berhubungan dengan pria lain. "Apa urusanmu?" suara berat itu mengejutkanku. Jujur saja, aku benar-benar terkejut ketika seseorang seperti Benjamin mau menganggapi pertanyaanku, sekali pun itu bukan merupakan jawaban dari pertanyaanku. Urusanku? Aku bahkan tidak tahu. Sebenarnya semua hal yang terjadi padaku malam ini tidaklah terikat, apa lagi Nathan, pria yang menuntunku untuk menegur Benjamin Landcaster. "Aku....aku," siapa yang tidak gugup ketika terus saja ditatap dingin seperti itu? "Maksudku... Pria yang bersama dengan tunanganmu itu, dia adalah teman kencanku malam ini." Teman kencan? Bodoh. "Mengapa bertanya padaku ketika kau berada di posisi yang sama denganku?" Damn. Dia mendapatkan poin dari pertanyaan konyol ku sebelumnya. Selain bukan karena urusanku, dengan pernyataanku itu sangat perlu dipertanyakan mengapa aku juga tidak melakukan apa pun ketika melihat Nathan, teman kencan ku malam ini mencium wanita lain. Haruskah aku mempermalukan diri dengan mengakui jika Nathan yang sesungguhnya bukanlah teman kencan ku? "Nathan... pria itu... kami baru saja bertemu malam ini, sehingga tidak masalah jika ia memilih wanita lain." Rasanya tidak begitu buruk ketika aku mengatakannya dengan tenang. "Kau belum menjawab pertanyaanku, mengapa kau tidak melakukan sesuatu ketika melihat mereka bersama seperti itu? Bukankah Rebecca adalah tunangan mu?" Bagaimana kau bisa memiliki nyali sebesar ini, Rosie? "Kau ingin aku melakukan apa?" Tanyanya dingin. Aku ingin dia melakukan apa? Aku tidak tahu. Tetapi... Mungkin saja ia bisa... "Kau mungkin bisa meneriakinya dan memukulnya." Namun, apa untungnya untukku? "Aku bahkan bisa membalasnya lebih sakit daripada hanya sekedar memberinya pukulan." Ia berujar tanpa ekspresi, membuatnya terlihat seribu kali lipat lebih mengerikan sekarang. "Seperti apa? Memutuskan pertunangan kalian?" Mengapa aku tidak bisa menghentikan mulutku untuk berbicara? "Lebih dari itu..." Apa yang sebenarnya sedang ia coba katakan? Dan lagi-lagi entah apa yang ada dipikiran ku, aku kembali melemparkan pertanyaan bodoh padanya. "Apa kau akan mencampakkannya dan menikah dengan wanita lain tanpa memberitahu hal apa pun padanya?" Ia terdiam, kembali tidak bersuara. Hal itu kemudian membuatku merasa begitu gugup. Apa ia sedang memikirkan tentang perkataanku tadi? Apa aku seakan memberinya sebuah ide untuk membalaskan dendamnya karena seseorang seperti Rebecca Cole baru saja menghina harga dirinya? "Jika kau membutuhkan seseorang itu, aku bisa melakukannya." Kegilaan apa lagi ini? Aku tahu ide bodoh ini mungkin akan membawaku mencapai tujuan hidupku... Tetapi.. ini terlalu gila. "Aku bisa menjadi istrimu, aku bisa membantumu membalaskan dendammu padanya... tentu hal itu akan terjadi hanya jika kau mau melakukannya." Pandangan mata kami bertemu. Ia tetap diam, tidak melakukan apa pun selain memberi tatapan dingin khas seorang Benjamin. Dan hal itu seolah memberi tanda jika ia tidak tertarik untuk berbicara lebih banyak denganku. Lagi pula, siapa yang akan mengajukan penawaran konyol seperti itu selain seorang wanita bernama Rosie Mcbride? "Ah, sudahlah lupakan saja... " Bodoh. Rosie bodoh. Sialan. "Maksud saya, maafkan saya karena sudah lancang bertanya hal pribadi pada Anda, Tuan." Aku tersenyum kemudian menunduk kecil untuk menyembunyikan rasa malu ku. Aku bersiap untuk membalikkan tubuhku dan pergi dari tempat itu, ketika kalimat yang keluar dari bibir pria itu selanjutnya menghentikanku. "Siapa kau?" Dan aku tidak tahu apakah pertanyaan itu merupakan pertanda baik atau buruk untuk kehidupanku di kemudian hari. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN