KIENAR: Pencuri Malam Pertama

1241 Kata
"Kamu nyari apa?" Suara dari belakang membuat tubuhku setengah melonjak. "Sial kamu, Ga! Bikin jantung mau copot aja," umpatku. "Lama banget, sih. Aku kebelet pipis tahu, jadi aku numpang WC di bawah tangga." Ditunjuknya pintu kecil menuju tangga tempat aku keluar tadi. "Nggak bisa tahan sampai hotel apa? Kalau ketahuan Tante kosan, kan bisa gawat. Kamu bisa diseret dia ke kamarnya." Aku mengeluarkan HP dan memesan taksi online. "Ugh! Jadi pengen," katanya sambil terkikik geli. Kulayangkan sling bag ke arahnya. Dia menghindar. "Jangan maen wajah, dong, Kin!" serunya perlahan sambil mengusap pipinya yang terawat paripurna. Kadang aku sebal kalau Angga sudah kumat seperti ini. Tidak akan ada yang percaya kalau dia ini CEO yang juteknya kayak aer kobokan. "Sudah, ayo kita keluar gerbang. Taksinya sebentar lagi datang." Aku membuka gerbang perlahan, mencoba untuk tidak menimbulkan suara. Kutolehkan kepala ke kiri dan ke kanan, persis seperti anak sekolah sedang pemanasan sebelum olahraga. Sepi. Oke, aman. Aku bisa mengeluarkan Angga dan berdoa semoga taksinya cepat datang. "Kin, dingin." Angga merangkul bahuku dan merapatkan tubuhnya ke tubuhku. "Kamu hangat. Apa kita nggak bisa kembali ke kosanmu saja?" Kutoyor kepalanya, sebal dengan kelakuannya yang seperti anak-anak. "Coba kamu bersikap kayak gini di depan Nadia. Pengen tahu, apa dia masih ngejar kamu atau nggak." "Aku kayak gini cuma sama kamu, Sayang." Angga memanyunkan bibirnya minta ciuman. Kutempelkam telunjukku di bibirnya yang merah muda. "Nanti saja di hotel biar bisa lama," kataku memberi harapan. Angga harus ditenangkan kalau tidak, dia bakal bertindak norak dan menyebalkan sepanjang jalan.  Taksi yang kupesan datang. Di luar anggaran, dia meminta bayaran lebih karena beroperasi di jam kuntilanak berkeliaran. Aku terpaksa menyetujui karena malas mencari taksi lain. Namun aku melirik Angga, mengirim pesan dengan sorot mataku bahwa dia harus mengganti semua biaya yang sudah kukeluarkan untuknya. Aku bukan anak sultan, yang bisa mengeluarkan uang sekehendak hati. Tidak seperti Angga, yang kekayaan keluarganya melebihi sultan. Bisnis Dirgantara Grup sudah seperti gurita di Indonesia Raya. Membelit ke semua sektor bisnis dan menghisap rupiah di mana-mana. "Nanti aku ganti semua pengeluaranmu untukku. Yang penting jangan hatiku yang kamu ganti karena hatiku ini cuma berisi kamu, Sayang." Kata-kata Angga terdengar romantis di telinga-telinga perempuan pecinta drakor. Bayangkan saja Lee Dong Wook mengatakan itu di dalam mobil sambil merangkul tubuh kita dan menciumi kepala kita. Pasti meleleh, kan? Namun di telingaku, entah kenapa, omongan Angga ini seperti teriakan ibu panti ketika membangunkanku di pagi hari. Menyakitkan. Menusuk-nusuk gendang telinga dan membuat kepala pengar. Ingin rasanya aku mendorong Angga menjauh dan menyuruhnya diam jangan coba-coba mendekatiku. Namun aku tak bisa. Aku malah membaringkan kepalaku di dadanya. Seharusnya tidak boleh, kan? Dia suami orang dan aku hanya mantannya. Jika kita lanjutkan hubungan ini, aku akan mengantongi sertifikat sebagai pelakor. Hh, ironis. Pacarku diambil pelakor dan sekarang aku menjadi pelakor yang berusaha mengambil suami pelakor. Hah, pusing! "Ga, ayo turun. Kita udah sampai," kataku sambil mengguncang tubuhnya yang menyandar padaku. Sempat-sempatnya dia tertidur. Pasti karena lelah dengan apa yang sudah terjadi hari ini. Aku membelai rambut Angga dan mencoba membangunkannya dengan penuh perasaan. "Sayang, bangun. Sudah sampai hotel, nih. Lanjut bobo di kamar aja, yuk!" Tubuhnya geming. Malah dengkurannya yang terdengar. Pak supir memandangiku dengan tidak sabaran dari kaca tengah. Aku mendesah, hanya ada cara terakhir untuk membangunkan Angga. Menciumnya. Aku menunduk, menyasar bibirnya dan mulai melumatnya lembut. Bibir Angga membuatku candu. Kenyal, harum, dan kusuka rasanya. Aku mulai memaksa membuka mulutnya dan menyelipkan lidahku ke dalam, Angga masih belum bergerak tapi kurasakan perubahan pada napasnya yang tidak lagi teratur. "Ayo bangun, kita lanjutkan di tempat lain," bisikku di telinga Angga setelah dengan berat hati melepas bibirnya. "I love you," bisik Angga. "I know." Aku mulai membereskan diriku dan membuka pintu mobil. Angga melakukan hal yang sama. "Sorry. Aku cuma bisa bayarin bintang tiga," kataku sambil menatap bangunan hotel di hadapanku. "Thanks for everything." Angga merangkul dan mengecupku. Kami masuk ke lobby hotel dan langsung check in. Saat ini aku merasa seperti pasangan selingkuh yang butuh tempat untuk ena ena. Check di jam kuntilanak, hhh ... entah apa yang akan terjadi selanjutnya pada hidupku.  ❤️❤️❤️ "Aku pulang, ya, Ga," kataku sambil berusaha lepas dari pelukannya. Namun lelaki dengan d**a bidang ini malah menarikku semakin masuk dalam pelukannya. Sejak masuk ke dalam kamar, Angga tak mau melepas tubuhku dari sisinya. Dia mengajakku duduk di kasur dan kami berangkulan dalam diam. Napasnya berat, berkali-kali terdengar embusan kasar darinya. Kusadari betapa dia begitu memikirkan bagaimana hubungan kami nantinya. Sebelum Nadia datang dan mengacak-acak apa yang sudah kami susun, Angga dan aku sedang membuat rencana tentang masa depan kami nanti. Tiga tahun sudah Angga dan aku berkencan. Rasanya sudah cukup untuk mengetahui kalau kami saling membutuhkan dan punya visi yang sama untuk masa depan. Tiga tahun bukan masa yang mudah tapi juga tidak menyulitkan. Yang sulit adalah memperoleh restu dari Nyonya Angela. Mama Angga itu ... tidak mau punya menantu seperti aku. Tidak punya keluarga, tidak jelas asal-usul dan yang pasti, tidak punya sesuatu yang menguntungkan baginya. Aku cuma yatim piatu yang beruntung dikaruniai otak cerdas dan wajah menawan. Dengan kecerdasan yang kumiliki, aku bisa mendapat beasiswa sampai perguruan tinggi hingga sukses meraih gelar sarjana bidang ilmu komunikasi. Sedangkan dengan paras yang kumiliki ..., well apa yang tidak bisa diperoleh dengan mudah oleh paras yang menawan dan tubuh yang menggoda? Pintar, cantik, berkepribadian dan nasib baik. Kombinasi sempurna untuk mendapatkan kesuksesan. "Ga ... Aku pulang, ya?" kataku mengulang. Angga masih diam. Dia sedang menyesapi aroma rambutku dan memeluk makin erat. Aku tahu ... setelah pelukan kami terlepas, entah kapan kami bisa bersama lagi. Dia harus kembali pada Nadia dan aku pada kesendirianku. Sebenarnya ... aku juga enggan melepas kebersamaan ini. Aku ingin menyatu dengan Angga malam ini. Anggap saja aku bisa mencuri malam pertama Angga, lalu apa untungnya buatku. Tetap saja aku ini orang luar dalam lingkaran Angga. Aku ditinggalkan tanpa status dengan kesucian yang terenggut, sementara Nadia bisa tersenyum licik di sisi Angga dan tubuhnya masih suci. Mengapa aku yakin? Karena Angga tipe lelaki yang kalau sudah teler berat tidak bisa apa-apa alias terkapar. Bagaimana bisa orang yang batas kesadarannya sudah hilang menggauli perempuan, sedangkan membuka mata saja dia tidak bisa? Aku tidak tahu siapa yang menelanjangi Angga dan Nadia, tapi semua kejadian itu bagiku bull s**t! Omong kosong! "Ga ...," panggilku lagi. Lama-lama aku seperti rekaman penjual tahu bulat yang suka mengulang-ulang kata-kata yang sama. "Ssstt, diam, Kin. Malam ini saja, bisa nggak kamu nurutin kemauan aku?" Angga memelukku erat dan menciumi rambutku lagi. "Apa kemauan kamu?" tanyaku memastikan. "Seperti ini. Memelukmu sampai pagi. Karena aku nggak tahu apa masih bisa kayak gini lagi atau enggak besok-besok. Aku nggak tahu besok kita bakal kayak apa." Angga benar. Dadaku sakit mengingatnya. "Ga?" panggilku lirih. "Apa lagi, Kin?" "Aku cape pelukan kayak gini. Kita baring aja, yuk," ajakku membujuk Angga. Badanku mulai kebas dengan posisi seperti ini. Pinggang rasanya seperti kesemutan. Angga menggeleng. "Kalau kita baring, nanti kamu nggak selamat." Suara Angga terdengar serak. Apa dia sedang menahan sesuatu? "Aku rela nggak selamat malam ini. Aku rela, Ga ...." Kuketatkan pelukanku ke tubuhnya hingga d**a kami merapat. Detak jantung Angga mengimbangi detak jantungku seolah kami bernapas dalam satu tubuh. Angga melepas pelukannya dan menatap mataku dengan pandangan yang mulai berkabut. Diturunkannya wajahnya hingga bibirnya menyentuh bibirku. Aku bisa merasakan hangat napasnya dan juga manis bibirnya yang mencecap bibirku. Ketika dia membuka lembut mulutku dan memasukkan lidahnya, pertahananku runtuh. Aku tidak ingin membiarkan Angga bermain sendiri. [] ©elopurs - 2020
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN