2. Kabur ke mana?

776 Kata
"Sial banget sih gue hari ini! Handphone ketinggalan! Dompet hilang di jalan! Mau pipis aja nggak ada duit buat bayar!" Nala menggerutu di tengah jalan. "Aaaaaaarrrg!" Nala mengguncang-guncang pohon berukuran sedang yang ada di sisi trotoar layaknya orang kesurupan. "Sial, sial, siaaaal!" Gedebug! Tiba-tiba, terdengar suara benda jatuh di sekitarnya. Ketika Nala melihat ke belakang, seorang pemuda dengan baju compang-camping baru saja hendak bangkit dari posisi tengkurap. "Aduuuh! Kira-kira dong, Mbak! Nggak lihat apa kalo ada orang di atas?!" Disalahkan seperti itu, tentu saja Nala memprotes, "Ya salah sendiri! Ngapain juga Mas-nya di atas pohon? Nggak ada kerjaan apa?" "Mbak-nya gila, ya? Itu rumah saya! Nggak lihat apa itu pintunya! Itu jendelanya! Nah, yang ini, tempat tidur saya!" kata pemuda itu sambil menunjuk-nunjuk pohon di depannya dengan serius. Insting seorang Nala bekerja cepat. Dia lalu mengamati penampilan pemuda dekil di depannya ini dengan kening berkerut. "Wah, gila nih orang!" cetus Nala. "Gimana kalo kita nikah aja. Nanti Mbak-nya tinggal di kamar yang ini!" Pemuda itu menggoyang ranting pohon yang tampak rapuh lalu bergelantungan di sana. "Punya masalah hidup apa ya nih orang," kata Nala dengan alis terangkat satu. "Nih, lihat, Mbak! Yuhuuu!" sahutnya dan masih bergelantungan. "Pokoknya amanlah buat kita bikin anak di sini! Hahahaha!" Krek! Ranting yang dipegangnya tiba-tiba patah dan membuatnya jatuh ke trotoar dengan posisi terlentang. "Rasain deh tuh! Kebanyakan ngehalu sih lo!" "Yok, kawin, yok, Mbak! Hehehehehe." "Ah, gila lo!" Nala lari terbirit-b***t memasuki sebuah restoran yang ada di sekitar situ. Apalagi ketika mendengar si pemuda itu berteriak mengajaknya kawin, Nala semakin jantungan dibuatnya. Dengan napas ngos-ngosan, Nala menyandarkan diri di depan pintu. Menyadari dia berada di mana, Nala kemudian melihat sekelilingnya. "Ya ampun, mana lapar lagi gue. Tapi, kalo makan di sini, mau bayar pake apa?" gumam Nala sambil menggigit bibir. Mata Nala berhenti pada sekumpulan pria di salah satu meja. Jika dilihat-lihat, sepertinya mereka itu pekerja kantoran. Mungkin, dia bisa mengambil keuntungan dari mereka. Sebenarnya, perbuatan jahat bukan saja dilakukan karena niat, namun juga karena ada kesempatan dalam kesempitan. Sambil mengatur napas, Nala berjalan memasuki restoran sambil menyibak-nyibak rambutnya yang semrawut. Nala duduk di meja paling dekat dengan pintu lalu mengambil buku menu. Ketika seorang pelayan datang ke mejanya, Nala menyebutkan pesanannya. Tak lama kemudian, satu buah jus jeruk dan beberapa menu makanan terhidang di mejanya. Dengan lahap Nala menghabiskan semuanya. Baru setengah hari tidak makan, tapi Nala sudah kelaparan setengah mati. "Mbak, sini!" Nala memanggil seorang wanita yang tadi bertugas melayaninya. "Iya, Mbak?" Nala bersendawa sebelum menjawab, "Ini semua, yang bayarin pacar saya yang duduk di sana, ya?" Nala menunjuk sekumpulan pria di ujung sana. "Yang mana ya, Mbak?" "Itu, yang itu!" Nala mengangkat tangannya dan melambaikannya ketika salah satu di antara pria itu menoleh ke arahnya. "Yang itu, Mbak! Yang pake baju hitam! Tuh, kan, dia senyum!" Pelayan wanita itu mengangguk-angguk. "Baik, Mbak." "Maklumlah, ya, Mbak, laki-laki itu kalo udah ketemuan sama temannya bisa lupa sama pacar, ha-ha-ha." Nala mulai menarik kopernya mendekat. "Sering loh saya ditinggal sendirian gini, ha-ha-ha." Wanita muda itu hanya tersenyum pada Nala lalu beringsut mundur. Itu kesempatan Nala untuk kabur dari sana secepat mungkin. Sementara itu... "Mas, ini total pesanan pacarnya, Mas. Mau digabungin aja apa bagaimana?" Keempat pria itu saling pandang. "Maksudnya, gimana? Pacar siapa, Mbak?" "Itu, Mbak yang tadi makan di meja nomor lima. Tadi katanya dia pacarnya Mas yang baju hitam." "Lo bawa pacar lo, bro? Kok nggak bilang-bilang?" "Iya, nih! Kenalin juga kek." Pria berbaju hitam itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Sori, Mbak, tapi saya belum punya pacar." "Tapi, Mbak yang tadi itu bilang kalo Mas ini pacarnya! Gimana, sih? Giliran disuruh bayar aja ngeles!" "Sumpah, saya jomblo, Mbak! Jomblo!" Si pria itu mulai berlinang air mata. "Saya nggak punya pacar. Nggak ada yang mau sama saya! Nggak ada!" Teman-temannya mengambil tisu lalu mengelap air yang keluar dari hidungnya. "Ya udah, Bro, mendingan lo bayar deh. Biar urusannya selesai." "Itu siapa sih ngaku-ngaku jadi pacar gue? Minta dibayarin segala lagi!" "Harap bersabar, ini ujian!" "Totalnya berapa, Mbak?" "Tujuh ratus empat puluh lima ribu." "Buset! Makan apaan tuh dia?!" "Tidaaaaaak!" ***** "Alhamdulillah, rejeki hari ini. Perut kenyang, napas gue panjang." Nala menepuk-nepuk perutnya karena kekenyangan. Dia duduk di sebuah warung kosong dan mulai meratapi nasib. "Gue kabur ke mana, ya? Sampe di sini dompet hilang. Nggak punya tempat tinggal. Ya Allah nasib gue begini amat. Makan aja harus ngerampok orang." "Atau gue pulang aja kali ya daripada jadi gembel?" "No! Enggak bakal! Mana mau gue dinikahin sama orang yang nggak gue kenal. Apa gue cari laki orang aja, ya, buat menyambung hidup. Jadi pelakor gitu?" Ah, sial! Baru setengah hari tapi kok rasanya Nala sudah ingin menyerah? ****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN