Dijebak

920 Kata
Rumah Keluarga Besar Hari Subagja. Gia menatap langit-langit kamarnya. Semenjak kejadian di kamar kaka tirinya, ia hanya berdiam diri di kamar berhari-hari. Tatapannya kosong, pikirannya kacau tak tentu arah. Wajahnya yang lelah karena tidak cukup makan dan tidur membuat pipinya yang chubby jadi sedikit tirus. Di rumah sangat besar itu, ia tinggal dengan ayahnya—Hari— yang usianya sekitar 80 tahun, Ibu tiri—Mery— berusia 75 tahun, 3 anak laki-laki mereka beserta istri juga 1 orang anak kecil. Anak pertama dan kedua sudah lama meninggal dunia sejak usianya balita. Reno anak ketiga 40 tahun hidup menduda dan tidak bisa mempunyai anak, Raka anak keempat 35 tahun dan istrinya—Ami— 30 tahun juga anak yang masih berusia 5 tahun—Rey—. Randy anak kelima berusia 30 tahun dan juga istrinya Meca 25 tahun. Sementara Gia anak bungsu dari keluarga Hari juga perempuan satu-satunya yang masih berusia 20 tahun. Hari menikahi Ibunya Gia—Ros—yang pada saat itu berusia 30 tahun dan ayahnya berusia 60 tahun, Ros ialah istri kedua atau bisa disebut selingkuhan. Karena Hari sangat ingin mempunyai anak perempuan, Hari diam-diam menghabiskan malam panas dengan Ros yang pada saat itu adalah karyawannya di kantor. Tanpa diduga, Ros mengandung dengan cepat. Walau pada saat itu Hari sudah tua, tapi staminanya masih sangat bagus. Mungkin karena ia rajin berolah raga. Hari berjanji jika anak itu perempuan, ia akan bertanggung jawab dan menikahi Ros. Dan benar saja, lahirlah Gia. Ia anak perempuan satu-satunya dan sangat disayangi oleh Hari. Karena tekanan batin akibat istri pertama suaminya juga anak-anaknya, Ros meninggal dunia pada saat Gia berusia 10 tahun. Dalam lamunannya, Gia dikejutkan dengan suara ketukan pintu dari luar kamarnya. tok ... tok ... tok "Gi, kamu di dalam sayang?" ucap pria paruh baya terdengar dibalik pintu. "Ayah mau bicara, boleh ayah masuk?" ucapnya seraya membuka pintu dan masuk perlahan dengan tubuhnya yang sudah mulai membungkuk. "Gi, kamu kenapa? udah seminggu loh kamu berdiam diri terus di kamar. Kalo ada apa-apa cerita sama ayah," ucapnya dengan serak seraya mengelus lembut puncak kepala Gia yang tertidur membelakangi ayahnya dengan sengaja. "Gi, ayah tau kamu pura-pura tidur, gerakan tubuhmu untuk menahan tangis itu tidak bisa membohongi ayah. Cerita ada apa? Apa kamu punya masalah dengan temanmu di kampus?" lagi-lagi ucapan Hari tidak mendapat respon apapun dari Gia. Hari akhirnya pasrah untuk membujuk anak bungsungnya itu bercerita. Ia melangkah keluar kamar dengan perasaan tak karuan saking khawatir. Sementara di balik ayahnya menghilang dibalik pintu, Gia menangis sesegukan. Entah apa yang selanjutnya akan ia lakukan, harga dirinya yang selama ini ia jaga. Direbut paksa oleh kakak tirinya. Ini seperti mimpi buruk bagi Gia, ingin rasanya ia bunuh diri. Berkali-kali percobaan bunuh diri itu dilakukannya, tapi ia selalu selamat dari maut. Entahlah, mungkin sang pencipta tidak ingin ia mati sia-sia. Ia tak ingin menghabiskan waktu dengan sia-sia. Ia ingin menjaga ayahnya yang sudah tua renta itu. Ingin mencapai mimpinya, juga mewujudkan mimpi almarhumah ibunya. "Bu ... aku rindu, aku harus bagaimana bu menjalani hidup ini sekarang? Aku ingin ikut ibu, tapi aku sudah berjanji padamu untuk menjaga ayah. hiks ... hiks ..." "Kenapa ini harus terjadi padaku? Apa salahku? Sehingga dia berbuat hal keji ini padaku?!" Geram Gia berulang kali mengutuk dirinya. Menangis setiap hari sepertinya belum cukup untuk mengubur penderitaannya. FLASHBACK ON "Hey bocah s****n! Ngapain lo di kamar gue? Aaaaa ... abis ngapain lo sama suami gue? Dasar b******k!" teriak Meca dengan emosi membara. Disertai tamparan berulang kali ke pipi Gia. Gia yang masih setengah sadar mencoba bangun, tetapi langsung diserang oleh kakak iparnya dengan tamparan dan jambakan. "Aku salah apa kak? Sakit kak ... Awhh," ucap Gia meringis. "Kamu tau apa kesalahnmu? Coba liat sekeliling! Ini kamar siapa, dan kamu ... kamu tanpa busana sehelai pun, apa yang kau lakukan dengan suamiku?" ucap Meca melotot dengan tangannya yang tak lepas menjambak rambut Gia. Gia membelalak tak percaya. Benar, ia bukan di kamarnya, dan kini ia tak memakai busana. Hanya selimut yang menutupi sampai batas d**a. "Aku ... aku nggak tau apa-apa kak, aku nggak ngapa-ngapain sama kak Randy. Aku bersumpah kak, aku nggak tau kenapa ada di sini seperti ini," ucap Gia dengan rasa takut, air matanya semakin deras. "Kalo nggak percaya, ta ... tanya aja sama kak Randy kak," ucap Gia lagi seraya menahan rasa sakit. "Aku tidak percaya padamu! Mas ... mas ..." teriak Meca sambil membolakan mata ke segala arah. Randy dengan memakai handuk yang menutupi bagian bawahnya saja keluar dari kamar mandi. "Sayang, aku dijebak dia. Aku nggak salah sayang, tadi aku lagi makan tiba-tiba dia nawarin minum. Abis itu aku nggak inget apa-apa sayang. Begitu aku bangun, aku langsung lari ke kamar mandi," ucap Randy yang jelas-jelas mengada-ngada dengan ucapannya. "Apa?! Jadi ini ulahmu? dasar wanita s****n! apa kau ingin seperti ibumu yang merebut kebahagiaan orang lain hah?!" teriak Meca semakin menyakiti Gia, rambutnya yang panjang dan lebat seperti akan terlepas. "Aku bersumpah kak, aku tidak melakukan apapun. Tolong jangan bawa-bawa ibuku, dia tidak bersalah, hiks ...." tangis Gia semakin pecah, rasa sakit fisik dan juga hatinya beriringan dengan dahsyat mencabuk. "Apa aku itu bodoh dengan memercayai kebusukannmu? Suamiku tidak mungkin berbuat hal keji dengan wanita busuk sepertimu. Jadi, kalau kau masih ingin hidup. Jangan ceritakan hal ini pada siapa pun, apalagi ayah. Paham kamu?!" Ancam Meca seraya mehempaskan tubuh Gia ke kasur lalu meninggalkannya dengan senyum puas. Gia hanya menangis sejadi-jadinya seorang diri. Lalu beranjak ke kamarnya dengan tertatih, menahan rasa sakit dibagian pahanya. FLASHBACK OFF --- baca terus ya semoga kalian suka
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN