Zefa tersenyum kecil melihat nyamannya apartemen yang disediakan oleh Shafeeya untuknya. Segera dia kirim pesan kepada Shafeeya menyampaikan terima kasih.
Heeum, nice and cozy, Feey, thank you.
Tidak berapa lama, Shafeeya meneleponnya dengan panggilan video, “gimana, elu suka?”
“Banget. Mahal pasti ya?”
“Kata Amara sih, gak usah pikirin berapa biayanya kalau buat elu hehe. Your wish is my command, kata dia mah.”
“Tapi, Feey, gue lebih milih ngontrak rumah aja deh, yang dua atau tiga kamar gitu. Jadi gue bisa serumah sama Evan.” Zefa menyebut nama seorang laki-laki dan saat teringat nama itu, senyum terbit di bibirnya.
“Heuum, elu sayang banget ama brondong ganteng itu? Jadi iri gue.”
“Iya, dong. He’s my only one, you know it.” Bagi Zefa saat ini, Evan adalah prioritas utamanya.
“By the way, kapan elu mau ke kantor? Gue harus bikin janji dulu sama om Fred.”
“Heuum… bentar gue cek jadwal dulu,” Zefa menggulir ponsel canggihnya dan melihat to do list yang sudah dia buat untuk dua minggu pertama di Jakarta, “besok boleh, Feey. Habis itu gue mau beli outfit yang pantas buat ngantor. Terus mau ke makam papa juga.”
“Sip, kalau gitu hari Kamis. Oke, gue bikin janji dulu sama sekretaris om Fred. Jam sepuluh will be fine ya?”
Zefa mengangguk dan mengakhiri panggilan video itu. Usai mandi untuk hilangkan rasa gerah, dia rebahkan tubuh dengan nyaman di kasur empuk.
*
“S-siapa kalian? Mau apa hah?! Pergi!!” teriak panik seorang gadis bertubuh gempal di suatu sore pulang sekolah. Hatinya sedang bungah karena pamannya dari Auckland akan datang ke Jakarta dan mengajaknya jalan-jalan. Akhirnya setelah dua tahun penuh penderitaan, dia bisa rasakan sedikit kegembiraan.
“Wah, sayang nih cewek gendut banget, eh tapi manis juga kok, bohay pulak. Gimana, kita mau apain dia?” tanya seorang lelaki dari lima orang yang mengerubungi gadis tadi.
“Sesuai permintaan, kita hajar habis-habisan aja.” Jawab salah satunya, sepertinya si pemimpin.
“Permintaan? Permintaan siapa? Kalian di suruh ngapain?” tiba-tiba saja keberanian gadis itu timbul mendengar kelima orang ini ternyata hanyalah orang bayaran. Nalurinya menyuruhnya untuk lari, karena tahu bahwa orang-orang bayaran ini pasti berniat menyakiti dirinya saja.
“Waah Bos, nih bocah gendut penasarannya tinggi juga. Kita kasih pelajaran aja deh, mayan laah walaupun gendut gini anggap aja montok kalik yaa! Ha.. ha..!”
Gadis tadi berusaha membela diri semampunya, dia menendang dan memukuli mereka tapi tentu saja kalah tenaga dan kalah jumlah. Hingga dia terjatuh dan menjadi sasaran empuk ditendangi oleh orang-orang bayaran ini. Terutama wajahnya yang menjadi sasaran penyiksaan. Dia meringkuk kesakitan, sudah tidak mampu lagi membela dirinya.
“Ha… ha… asiiik nih, gendut dan montok! Gimana, kita kerjain dia aja?"
“Gue duluan dong Bang, pasti masih perawan kalau modelan gini karena gak ada cowok yang mau!”
“Enaak aja, kasih Bos dulu dong yang pertama!”
“Yaaah, bekasan lagi dong gue! Tapi mayan deh masih bisa ngerasain yang kedua, buru Bang, dah gak sabar gue nih!”
Terdengar suara retsleting celana diturunkan. Gadis gempal ini ingat rambutnya dijambak juga tubuhnya digerayangi banyak tangan. Sesaat sebelum pingsan, dia dengar derap langkah kaki mendekati mereka. Dia berharap itu sebuah keajaiban yang akan menolongnya. Sayangnya, tak lama setelah dia lihat sosok lelaki tampan jongkok disebelahnya, dia tidak tahu apa yang kemudian terjadi karena dia tidak sadarkan diri.
“Haah… haah… Astagfirullah… D-di mana ini?” Zefa mengucap istighfar sesaat setelah dia terbangun karena mimpi buruknya. Dia edarkan matanya ke sekeliling karena merasa asing dengan ruangan ini. Tapi seketika dia ucap syukur saat menyadari ini ada di kamar apartemen yang disewa Shafeeya untuknya.
“Alhamdulilah ya Allah. Hu.. hu…ternyata mimpi buruk. T-tapi… kenapa mimpi buruk itu datang lagi setelah bertahun-tahun aku tidak mengalaminya? O-obat, mana obatku?” Dengan tangan gemetar, Zefa menggapai obat di meja nakas. Dia buka paksa tutup obat itu tapi malah beberapa butirnya berjatuhan, membuatnya semakin menangis tersedu.
“K-kenapaa? Kenapa aku kembali mimpi buruk itu? Hu.. hu…?!” akhirnya dengan susah payah, dengan tangan masih gemetaran, dia berhasil menelan satu butir prazo*in, yang diresepkan oleh psikiaternya saat di Auckland.
Padahal sudah lama dia tidak konsumsi obat-obatan penenang. Tapi saat dia berkata pada psikiaternya bahwa dia akan kembali ke Jakarta, sang psikiater kembali resepkan obat itu dan berikan satu nama rekan sejawatnya di Jakarta, seorang psikiater terkenal, untuk dia konsultasi, andai depresinya kambuh.
“Jam berapa ini?” gumamnya pada diri sendiri usai merasa tenang. Lampu kamar yang temaram, mampu membuat Zefa melihat sekarang ini jam sembilan malam lebih sedikit.
Tubuh Zefa meluruh dan dia duduk di dinginnya lantai. Punggungnya dia sandarkan ke dinding ranjangnya, napasnya terputus-putus. Matanya bergerak liar, mencari sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Sesungguhnya, ruangan kamarnya itu tenang. Berpenerang lampu kecil di nakas yang menyala temaram, tapi entah kenapa tubuhnya tidak mau percaya. Kilasan demi kilasan masa lalu saat tubuhnya digerayangi banyak tangan lelaki seperti di dalam mimpinya tadi, masih terasa di kulit tubuhnya, seolah baru saja terjadi. Meninggalkan sensasi panas namun menjijikkan.
Tujuh tahun pengobatan dan terapi yang dilakukan di Auckland ternyata gagal dalam waktu sehari dia tiba di Jakarta, ralat, bahkan belum dua puluh empat jam ada di kota kelahirannya ini. Padahal selama tiga tahun terakhir dia bisa rasakan kembali nyenyaknya tidur.
Zefa kembali beristighfar berkali-kali, sesekali dia menekan kedua pelipisnya dengan jari, mencoba mengendalikan tubuhnya yang gemetar ketakutan.
“Berhenti! Kenapa tubuhku gemetaran begini? Kubilang berhenti!” Jerit Zefanya pada tubuhnya. Rasanya seperti tubuhnya tidak mau tunduk pada kenyataan yang tersaji. Padahal otaknya tahu saat ini dia aman, berada di tempat aman, tapi tubuhnya terus saja seperti bersiap menghadapi serangan.
"Kenapa masih terasa menakutkan begini?" bisiknya lirih, meski ia tahu tidak ada yang mendengarnya. Zefanya memeluk dirinya sendiri dengan erat, mencoba meyakinkan diri bahwa ini tahun 2025, bukan lagi 2015. Tubuhnya semakin gemetaran padahal dia tidak kedinginan. Bibirnya bergumam berkali-kali, “j-jangaaan! Hentikan! Kumohon, hentikan!"
Kadang, Zefa menolak untuk tidur lagi karena takut mimpi itu akan kembali dan menyerangnya terus menerus. Sesungguhnya, secara fisik tubuhnya kelelahan karena dia butuh tidur, tapi matanya dia paksa untuk tetap terbuka hingga dini hari.
Ketika akhirnya kantuk datang usai syuruq, ia tidak pernah benar-benar bisa pulas karena mimpi buruk itu setia menunggu di balik kelopak mata. Yaa, selalu saat matahari sudah muncul malu-malu baru dia bisa pejamkan mata, mungkin juga karena efek kelelahan akibat terus menerus menangis. Bagi Zefa yang sedang dalam mode depresi, malam adalah sebuah medan perang, tapi berperang dengan siapa, hanya dia sendiri yang tahu.
Setelah duduk lama di lantai dengan napas kacau namun sudah membaik, Zefa akhirnya menyeret dirinya keluar. Ia butuh ruang, butuh air yang mampu untuk menenggelamkan ingatan buruknya saat itu. Kolam renang!
Langkahnya terasa berat, tapi suara gemericik air dari tepi kolam renang apartemen khusus penghuni griya tawang, memberinya sedikit ketenangan. Zefa selalu percaya bahwa air mampu membersihkan apa yang sulit dihapus oleh pikirannya, termasuk kenangan buruk. Seolah gerayangan tangan-tangan gerombolan lelaki asing di tubuhnya bisa larut bersama riak air, hingga dia sejenak bebas, yaah hanya sejenak.
Zefanya melepas sandalnya kemudian menyusuri tepi kolam. Udara dingin jam sepuluh malam terasa menggigit, tapi tanpa ragu ia menyelam.
Byuurrr…. Begitu tubuhnya menyentuh air, baginya dunia di sekitarnya mendadak lebih tenang. Suara-suara liar di kepalanya mereda, berganti dengan detak jantung yang semakin stabil ritmenya saat dia menggerakkan lengan dan meluncur dari satu sisi ke sisi lain kolam. Satu tarikan napas, satu kayuhan, lagi dan lagi. Ritme itu menenangkan, seperti mantra yang membungkus tubuhnya.
Psikiaternya di Auckland, seorang wanita muslim taat. Dia menekankan pada Zefa bahwa hanya Yang Maha Kuasa yang mampu menolongnya. Tiap kali menarik nafas saat berenang, dalam hatinya dia bisa sambil beristighfar. Itu yang jadi mantra ajaibnya.
Merasakan ketenangan, Zefa mengapung dengan wajah ke atas. Matanya terpejam tapi hatinya tetap beristighfar. Namun ketenangan itu pecah ketika Zefa mendengar suara pintu lift terbuka. Dia berbalik, tidak lagi posisi wajah menghadap kenatas. Dari sudut mata, ia melihat seorang lelaki keluar dari pintu lift, berjalan mendekat kemudian berdiri di tepi kolam, seolah mengawasinya.
Detik itu juga, tubuh Zefa menegang. Mendadak jantungnya kembali berdegup liar, bukan lagi karena kelelahan berenang, tapi karena rasa takut yang merambat cepat. Ada sesuatu dari cara lelaki itu berdiri dalam diam, tenang dan memerhatikannya dengan sangat intens. Tatapan mata yang mengingatkannya pada tatapan mengancam yang dulu begitu sering ia terima.
Tangan Zefa kembali gemetar saat dia meraih tepi kolam. Air yang biasanya jadi tempat aman kini terasa seperti perangkap yang membuatnya tidak mampu bergerak bebas. Zefa mencoba meyakinkan diri bahwa lelaki itu hanyalah orang asing tapi sesama penghuni griya tawang, bahwa tidak ada bahaya mengancam darinya. Sayangnya tubuhnya menolak percaya. Napasnya tersengal, pandangannya kabur oleh panik yang datang mendadak.
Lelaki itu membuka mulut, seakan ingin menyapanya. Tapi Zefa tidak mau menunggu. Dia segera naik dari kolam bahkan hampir terpeleset karena panik dan terburu-buru. Tanpa menoleh ke arah si lelaki, ia meraih handuk yang diletakkan di kursi santai, membalut tubuhnya yang memakai baju renang muslimah, lalu melangkah sangat cepat untuk menjauh. Bahkan Zefa sama sekali tidak mau melihat wajah lelaki itu. Zefa tidak berani menoleh. Dia hanya ingin keluar dari sini secepat mungkin.
Tapi suara bariton yang dalam menghentikan langkahnya, bukan karena ia mau, tapi karena tubuhnya refleks membeku.
“Maaf Nona… Apakah Anda baik-baik saja? Wajahmu tampak pucat.” Kemudian terdengar langkah kaki mendekatinya.
Suara itu terdengar tulus, tanpa terdengar nada mengancam. Tapi PTSD*-nya memaksanya bergegas tanpa mau merespon pertanyaan lelaki itu.
Yang dia takutkan hanyalah, apakah lelaki ini juga seorang predator?