Part 5. BIG NO to Pelakor Syariah!

1901 Kata
Dering ponsel membuat pagi yang damai bagi seorang lelaki tampan, menjadi tidak damai lagi. Dengan malas-malasan, tangannya menggapai ponselnya di nakas dan menjawab dengan suara serak khas bangun tidur. “Halo…, siapa sih ganggu enak-enak orang tidur, hoaahm…” “Javier Zaydan! Pantas saja sampai umur segini belum punya istri! Jam berapa ini kenapa masih tidur?” Seketika lelaki itu membuka mata lebar dan menjauhkan ponsel dari telinganya demi mendengar suara mama tercinta yang berteriak kesal. Tertera di layar ponselnya : Kanjeng Ratu is calling. Lelaki yang dipanggil dengan nama lengkap itu meringis. “Apa sih Mah? Gak ada hubungan kalik istri sama tidur, hoaahm…” masih saja Javier menguap karena memang masih mengantuk. “Vier, tadi kamu sholat subuh atau bablas?” “Sholat Mah, tapi aku kan baru kemarin lusa sampai Jakarta, mumpung hari libur jadi aku tidur lagi.” Jawab Javier atau yang kerap dipanggil Vier, the most wanted bachelor in Jekardah, kalau kata keponakannya sih. “Buru mandi, jangan lupa hari ini anterin mama ke makam eyang. Jemput mama jam sembilan, dua jam lagi itu loh.” “Iya Kanjeng Ratu, Mamaku tercinta. Masih dua jam lagi kan mah? Aku tidur dulu lagi bentarrr aja ya… dah Mah, assalamualaikum Mamaku cantiiik.” Vier mematikan panggilan telepon itu. Tapi dia yang sudah pahami karakter kanjeng ratunya, tidak akan mungkin telat satu menit pun menjemput atau hidupnya tidak akan tenang selama seminggu ke depan. * Mamanya, Diajeng, sedang khusyu berdoa di depan sebuah nisan. Nisan dari kakeknya Javier yang meninggal tiga tahun lalu. “Ajeng pulang ya, pah.” Kemudian Diajeng ucapkan doa usai ziarah, menepuk batu nisan dan menerima uluran tangan Javier untuk berdiri. Keduanya meninggalkan area pemakaman mewah itu dalam diam. Saat sedang menunggu mobil mereka datang dari parkir vallet, mata tajam Vier melihat tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah taksi premium berwarna hitam terbuka pintunya dan satu penumpang yang sejak kemarin ada di pikirannya, nampak masuk. Gadis itu lagi? Dia ke makam siapa ya kira-kira? Perjalanan mereka sudah hampir satu jam. Pemakaman mewah ini memang berada di provinsi tetangga Jakarta. Keluar dari pintu tol dan menuju ke komplek perumahan mewah orang tuanya, kening Javier berkerut karena taksi premium itu searah dengannya. “Mah,” Vier tidak mampu lagi membendung rasa penasarannya. “Heuum…?” “Di komplek kita tuh emang ada yang punya anak gadis yang seumuran denganku?” “Gak ada, kalau ada pasti Mama udah jodohin kalian.” Jawab mamanya, sangat cepat tanpa mau repot berpikir. “Lah..., cepet amat jawabnya? Inget-inget dulu dong Mah.” Keluh Vier, tidak puas dengan jawaban mamanya. “Gak ada, Vier…Kan mama udah bilang kalau ada pasti mama akan langsung lamar tuh gadis buatmu daripada mama dituduh punya anak yang pipisnya gak lurus!” suara Diajeng meninggi. “Kalau yang anaknya sekolah di luar negeri, Mah, ada gak? Lebih tepatnya kuliah di Selandia Baru?” kali ini Vier lebih spesifik mengarahkan mamanya. “Heuuum kalau kuliah di luar negeri ada, banyak malahan, tapi mama rasa umur mereka lebih tua darimu. Seingat mama mereka lebih banyak kuliah di Eropa deh daripada di Selandia baru. Kamu lagi nyari info siapa sih, Vier?” kali ini Diajeng jadi tertarik. “Huuft, gak ada. Tapi Mah, ngomong-ngomong soal calon istri, kalau aku suka sama cewek berhijab gitu, Mama setuju gak?” entah kenapa tiba-tiba Vier kelepasan bicara seperti itu. Diajeng mengangguk-angguk, merasa excited dan segera saja membombardir Javier dengan pertanyaan menyelidik, “setuju dong! Mau banget! Siapa? Anaknya siapa? Kapan mama dan papa bisa datang melamar?” mata sang mama yang berbinar membuat Javier seketika menyesal karena memberi harapan palsu. “Ebuset langsung main lamar aja. Gak tahu siapa namanya, Mah.” Jawab Javier, seketika meringis saat melihat mata sang mama melotot. “Kok bisa gitu? Anaknya siapa deh?” kejarnya lagi. “Gak tahu juga.” “Apa sih kamu, Vier, senengnya kasih Mama harapan palsu! Grmbl*#@*” omel Ajeng, membuat Vier semakin meringis. “Kan katanya kalau sering ketemu sama tuh orang, siapa tahu jodoh. Ini aku lagi berusaha dapetin mantu untuk Mama loh, malah diomeli gitu?” kata Javier lagi. “Lah wong kamu gak jelas gini.” “Mah masih inget sama anaknya bu Rahayu gak? Yang cewek gendut itu?” “Masih, hufft… kasian tuh bocah, hidupnya menderita banget setelah mamanya meninggal dan si Malik sialan itu mencuri perusahaannya. Bareng sama peliharaannya!” Javier menarik napas, dia lupa, tiap kali diingatkan tentang Rahayu, yang merupakan sahabat sejati sang mama, selalu saja berakhir mamanya akan mengumpat dan menyumpahi suami baru sahabatnya yang bernama Malik bersama gundiknya. “Mamaku yang sholeha dan cantik jelita, ingat loh itu umpatannya ditahan-tahan. Gak elok itu Mah.” Vier coba meredakan emosi mamanya. “Biarin. Lagian kamu juga tumben-tumbenan nanya Salma. Kayanya udah lama banget deh anak itu menghilang. Padahal mama janji sama almarhum Hayu akan menjaga Salma seperti anak sendiri dan mama gagal. Vier, bantu mama dong cari info tentang Salma!” Keluh Diajeng, mengusap sudut matanya yang tiba-tiba saja berembun. “Bukan salah Mama, kok. Malah menurutku kita sudah lakukan yang terbaik dengan bawa dia ke rumah sakit waktu itu, walau yaah, setelah itu kita gak tahu gimana kabarnya.” Diajeng mengangguk, coba menyetujui apa kata Javier walau dalam hatinya tetap saja rasa bersalah itu selalu muncul. Tiba-tiba Diajeng menyadari ada sesuatu yang salah karena Javier tidak segera menuju ke komplek perumahannya tapi ke komplek rumah yang berbeda. “Vier ini kenapa kita ke sini? Ini kan ke rumah Hayu?” tubuh Diajeng langsung saja tegak dan dia menoleh kanan kiri seolah ingin memastikan apa yang dilihatnya. “Lihat di depan deh, Mah,” Vier menunjuk taksi hitam premium di depannya yang berhenti tepat di depan rumah almarhum Rahayu, “taksi itu berhenti di situ udah lima menit-an, tapi gak ada penumpang yang keluar.” “Emangnya kenapa?” tanya Diajeng tapi tak urung ikut mengamati mobil hitam di depannya. “Gak papa Mah, tapi rumah bu Rahayu ini sudah dijual ya?” “Iya, dilelang oleh pihak bank karena dijadikan agunan. Emang sialan itu Malik! Bisa-bisanya dia yang berhutang tapi rumah Hayu yang dijadikan agunan.” Masih saja Ajeng mengumpat. Melihat taksi premium itu mulai bergerak, akhirnya Vier juga mengikuti. Tapi otaknya penuh dengan berbagai kemungkinan menurut versinya. “Eh Vier, tadi kamu nanya cewek berhijab gitu, terus apa lanjutannya? Kok mama jadi lupa sih?” Javier menoleh ke arah kiri, tersenyum kecil sembari menimbang apakah perlu dia lanjutkan pertanyaannya, mengingat kanjeng ratunya juga merangkap sebagai ratu drama. Tapi sekali lancung, hidupnya tidak akan tenteram dan pasti sang mama akan tetap bertanya hingga mendapatkan jawaban yang memuaskan. “Aku lagi tertarik sama satu cewek berhijab, Mah,” Vier sengaja menjeda tapi mamanya hanya manggut-manggut dengan ekspresi penasaran. “Terus?” “The only problem is, nih cewek kabarnya pelakor.” Ringisan lebar tercetak di bibir Javier karena tentu saja mamanya akan menolak mentah-mentah keinginannya itu. “Hah? Apa? Sek… sek… maksudmu pelakor yang berhijab? Tipe pelakor syariah yang lagi viral sekarang ini? Yang membungkus semua kemunafikan dan kepalsuan dirinya dalam balutan agama? BIG NO, Vier! BIG NO!! Awas, mama coret dari kartu keluarga kalau kamu sampai punya istri macam gitu!” Nah, tuh kan benar saja dugaannya. Pasti mamanya akan mencoret namanya dari kartu keluarga! * Pagi itu, Javier baru saja menutup pintu unit apartemennya di lantai delapan Griya Tawang. Dengan kunci mobil di tangan, ia melangkah santai menuju parkiran basement. Udara dingin dari pendingin ruangan lift menerpa kulitnya, tapi perasaan Javier mendadak menghangat ketika matanya menangkap sosok yang sudah beberapa kali mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Zefa. Perempuan itu keluar dari lift dengan langkah tergesa, penampilannya tetap elegan dengan wajahnya yang memakai riasan tipis namun tetap memikat. Kening Javier berkerut karena melihat outfit yang dipakai Zefanya rapih dan formal seperti akan bekerja. Di sampingnya berjalan seorang lelaki muda berwajah cerah, kira-kira awal dua puluhan, tubuhnya ramping namun energik. Pemuda itu menoleh pada Zefa sambil tertawa kecil, lalu dengan santai membuka pintu mobil untuknya. Mobil itu terparkir tidak jauh dari posisinya berdiri, sehingga dia bisa melihat semua itu dengan jelas. Tangan Javier mengepal, keningnya berkerut. Tatapannya mengikuti gerakan mereka, cara Zefa masuk ke mobil penuh senyum, cara pemuda itu memastikan pintu tertutup rapat, lalu duduk di kursi kemudi dengan wajah penuh keakraban. Ada rasa aneh yang menyusup di d**a Javier. Rasa yang menyesakkan, sekaligus membuatnya kesal pada dirinya sendiri. Cemburukah dia? Padahal dia bahkan belum tahu siapa Zefa sebenarnya. “Bodoh,” gumamnya lirih namun emosional, sambil menyalakan mobilnya sendiri, “apa urusanku dengan mereka coba? Kok aku sampai kesal gini sih?” Namun tubuhnya bergerak berlawanan dengan pikirannya. Begitu mobil itu melaju, Javier juga lajukan mobilnya dan mengikuti dengan menjaga jarak aman, tapi tetap memastikan ia tidak kehilangan arah. Tangannya mengepal di kemudi, namun hanya sebentar karena dia harus berkonsentrasi penuh. Javier mengembuskan napasnya dengan kasar. Wajahnya kembali tenang dan dingin, seolah perasaan yang baru saja dia rasakan hanyalah ilusi. Tapi laju roda mobilnya mengikuti arah Zefa dan Evan tanpa ragu. Perjalanan berlangsung beberapa menit. Javier berusaha meyakinkan dirinya, aku tidak sedang mengikuti mereka, hanya kebetulan searah aja. Tapi kenyataannya, setiap belokan yang diambil mobil itu, ia ikuti. Setiap lampu merah, ia berhenti tepat beberapa kendaraan di belakang. Matanya tak lepas dari punggung mobil itu, seolah ada magnet yang menolak dilepaskan. Saat di lampu merah simpang lima yang padat, Javier terjebak di kerumunan roda dua yang membuatnya berhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah. “Aarrgh sialan!! Gue kehilangan mereka!” rutuk Javier. Frustasi karena tidak bisa lagi mengikuti Zefanya, akhirnya dia membawa mobil jeep mewahnya ke arah kantor. Dengan agak sedikit kesal, Javier membanting pintu mobilnya menimbulkan bunyi berdebum. Beberapa staf kebersihan yang ada di situ sampai berjengit kaget tapi tidak mampu berkata apa pun saat melihat wajah keruh salah satu bos tertinggi di situ. Di kantor, dia tenggelamkan dirinya pada kesibukan hingga mampu melupakan sejenak yang dia lihat tadi. Hingga jelang sore saat akan pulang, ponselnya bergetar dan menunjukkan nama direktur utama yang meneleponnya. “Vier, lagi senggang? Kemarilah sebentar ada yang ingin aku bicarakan denganmu sekalian aku ingin kenalkan kamu ke asisten pribadiku yang baru.” Kata Frederik. “Oke, Mas.” Huuh, aspri baru! Kalau mama tahu, bakalan rame deh. Ini mah hanya akal-akalan mas Fred saja biar dapat yang bening. Ruangan Javier yang berada di lantai delapan belas, membuatnya lebih sering memanfaatkan tangga dibanding lift. Suara ketukan pintu terdengar dan setelah Fred memberikan izin masuk, Javier segera saja mendorong pintu ruangan itu dan menyapa sang sepupu dengan ramah, “hai Mas, lama gak ketemu.” Tapi hidungnya menghidu parfum manis yang biasa dipakai oleh kaum hawa. “Kamu yang pergi terus, Vier, makanya kita jarang ketemu. Eh, kenalin dulu ini asisten pribadiku yang baru. Kamu tahu gak, kerjanya sangat efektif!” Frederik yang terlalu bungah pada betapa efektifnya kerja Zefanya, berdiri dan mengenalkan Javier pada asisten pribadi terbarunya, Zefanya! “Selamat sore, Pak Javier.” Sapa Zefanya dengan senyum tipis yang profesional. Dia ulurkan tangan ke arah Javier dengan wajah polosnya. Kening Vier berkerut karena Zefa berpura tidak mengenalnya, tapi dia akan ikuti permainan Zefanya, “sore, Mbak Zefanya. Senang berkenalan dengan Anda.” Javier membalas uluran tangan itu dan menjabatnya cukup lama. Sebuah senyuman aah ralat, sebuah seringai tipis tercetak di bibirnya. Frederik sampai tidak menyadari kalau Javier sudah tahu nama Zefanya sebelum dirinya atau Zefanya mengenalkan dirinya. Sepertinya hari-hari Javier di Aurevia akan jadi lebih berwarna, tapi tentu tidak untuk Zefanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN