Bab 4

2251 Kata
Di dalam kelas. "Din..." gumam Fauzi pelan. "Ya? Ada apa?" tanya Dinda. "Aku... suka sama kamu," ucap Fauzi yang membuat wajah Dinda langsung tersipu malu, Dinda memang sudah mendengar dari mulut Heni bahwa Fauzi mau menembak Dinda, hanya saja Dinda tidak berpikir itu benar, tapi setelah mendengar langsung dari mulut Fauzi, Dinda langsung tersentuh. Lagian siapa yang tidak akan tersentuh hatinya jika ditembak oleh cowok seganteng Fauzi!? Kegantengannya gak kalah saing sama oppa-oppa Korea, kaum hawa yang imannya lemah seperti apa yang mampu menolak? "kamu mau gak jadi pacarku?" sambung Fauzi. 'Wah rejeki nomplok dapat pacar ganteng dan tajir gini'. Pikir Dinda yang sudah dibisiki oleh syaiton yang terkutuk. "Maaf Fau--" "Beri aku kesempatan dulu Dinda, tolong jangan tolak aku langsung, tolong... beri aku kesempatan untuk membuka hatimu. Aku sangat cinta sama kamu." Fauzi menatap Dinda dengan raut wajah memelas, berharap. 'Ya ampun, kenapa ada anak anjing menggemaskan di sini?' Bathin Dinda tak terduga-duga. "Tapi Fauzi, aku sama sekali tidak mencintaimu, tak akan pernah, aku tidak ingin mengalami hal yang sama dengan orangtuaku." Dinda memalingkan wajahnya dari Fauzi. Yah, ternyata ada kaum hawa seperti Dinda mampu untuk menolak. Zahara yang sedang mengintip di balik celah jendela, merasa bersalah membiarkan mereka berdua di dalam kelas, begitu pun dengan Heni yang menyesal membiarkan Fauzi dapat kesempatan untuk menembak Dinda. Mereka sangat menyesal membuat Dinda kembali mengingat orangtuanya. "Aku berjanji tidak akan meninggalmu Dinda, apalagi sampai mengkhianatimu, jadi tolong... beri aku kesempatan." Fauzi kembali menatap Dinda penuh harap. Dinda membuang pelan nafasnya. "Baiklah, tapi aku tak bisa menjamin bahwa aku bisa mencintaimu, dan aku hanya akan memberi kamu waktu 1 minggu, setelah itu lupakan saja semuanya." Dinda melangkah pergi meninggalkan Fauzi yang kini nampak sangat bahagia. Heni dan Zahara yang melihat Dinda mau keluar dari kelas, mereka langsung lari kocar-kacir menuju taman agar tidak ketahuan menguping. "Hai!" sapa Dinda pada kedua sahabat baiknya itu yang kini sedang tersedak menelan makanannya di bawah pohon rindang taman. Terburu-buru. "Maaf lama ya." "Oh udah kelar Dinda?" tanya Heni diangguki Dinda. Padahal Heni sudah tahu obrolan Dinda dan Fauzi sudah selesai tadi. Dinda duduk di sebelah Zahara sambil menarik kakinya ke dalam pelukannya. Dinda hanya diam, tak sekali pun mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, membuat suasana sedikit canggung. "Hmmm Din... gimana sama Fauzi? Udah kamu tolak kan?" tanya Zahara, walau sebenarnya Zahara sudah tau Dinda memberi kesempatan pada Fauzi untuk merebut hatinya. Dinda menggelengkan kepalanya atas pertanyaan Zahara, "Tidak, aku memberi Fauzi waktu 1 minggu." "Kenapa sih kamu pakai acara ngasih tuh si b******k kesempatan! Tolak aja langsung! Kamu tau gak udah berapa cewek yang tersakiti gara-gara b******k modal tampang itu?" tanya Heni sedikit membentak. Heni paling kesal saat sudah membahas Fauzi. "Aku memberi dia kesempatan, karena melihat keseriusan dari wajahnya," jelas Dinda. Heni memasukkan telor ceplok yang ada di sendok ke dalam mulutnya, menelannya sebelum mulai berkomentar lagi, "Ya elah Din, selain modal tampang dia juga bakat acting, bintang Bollywood juga kalah sama dia!" jelas Heni sambil memasukkan kembali makanan ke dalam mulutnya. "Hei! Kalau makan gak boleh ngomong!" seru Zahara yang melihat Heni berbicara tapi masih ada makanan dalam mulutnya. "Dinda, kamu gak makan?" tanya Zahara. "Lagi gak nafsu Ra," jawab Dinda atas pertanyaan Zahara, "tapi Heni, imanku telah tergoda karena ketampanannya." Dinda tersenyum kecil melihat Heni yang kini sedang mengeluarkan aura kelam dalam dirinya setelah mendengar jawaban Dinda. "Dinda, kalau kamu jatuh hati sama Fauzi, apa kamu akan menerima ajakannya untuk berpacaran?" tanya Zahara. Dinda terdiam seribu bahasa atas pertanyaan Zahara. "Dinda, kamu tau kan? Dalam Islam, pacaran itu haram. Janganlah kamu mengikat suatu hubungan dengan lawan jenis yang bukan mahrommu, di luar ketentuan agama dan hukum yang berlaku." Zahara kini menatap serius Dinda, "sebagai sahabatmu, aku hanya ingin yang terbaik buatmu, semoga kamu tidak jatuh ke dalam dunia 'pacaran' itu." Dinda terdiam mendengar ceramah ulang dari Zahara, tapi sayangnya Dinda sudah terlanjur terpukau dengan kegantengan Fauzi, membuat Dinda tak bisa mengindahkan peringatan Zahara. Tapi di hati kecil Dinda, masih ada keraguan yang amat besar baginya untuk menerima Fauzi, karena Dinda tak mau mengalami nasib yang sama dengan ibunya. *** Semua murid sudah berhamburan keluar kelas setelah bel pulang sekolah berbunyi, dan pastinya setelah mereka selesai membaca doa sesudah belajar. "Dinda!" sahut Fauzi. Dinda langsung memalingkan pandangannya ke Fauzi, "Ya ada apa?" tanya Dinda heran. "Pulang bareng yuk! Eh maksudnya biar aku antar kamu," jelas Fauzi. "Terima kasih Fauzi, tapi tidak usah, soalnya aku mau ke rumah Heni," tolak Dinda yang masih memandangi ciptaan Allah yang luar biasa tampannya itu, sangat ori bukan plastik. Wajah Fauzi nampak lemas seketika setelah mendengar jawaban Dinda. "Ngapain lo!?" teriak Heni pada Fauzi yang baru keluar dari kelas bersama Zahara, "jangan macam-macam lo ya Zi, gue masih pantauin loh!" seru Heni sambil menarik tangan Dinda dan langsung mengangkat kaki dari hadapan Fauzi. "Heni..." gumam Dinda pelan. "Apa Din?" tanya Heni yang masih mengandeng tangan Dinda. "Kamu kok sebenci itu sama Fauzi sih?" tanya Dinda bingung. Heni menghentikan langkahnya, dan mengajak kedua sahabatnya itu untuk duduk di bangku taman sekolah tempat mereka berada saat ini, "Kalian tau kan ke playboy-an si Fauzi? Sudah berapa cewek yang disakitinya karena main-main?" tanya Heni pada kedua sahabatnya itu, tentang diri Fauzi yang sudah menjadi rahasia umum di sekolah. "Tapi kan mereka hanya sebatas pacaran, putus dan jadi mantan itu kan sudah menjadi hal umum dalam berpacaran," jelas Dinda. "Syukur mantannya jadi teman atau sahabat, kalau jadi musuh lalu guna-guna berjalan kamu mau gimana?" sahut Zahara, niatnya bercanda. "Ara!" seru Dinda pada Zahara yang kemudian memilih untuk cuek, tidak mempertanggung jawabkan candaannya tadi. "Apa kamu pernah lihat mantannya si Fauzi jadi temannya semua? Gak ada! Satu pun bahkan gak ada!" jelas Heni. "Kenapa kalian menentang banget sih kalau aku dan Fauzi dekat!?" kesal Dinda. "Eh jemputan aku sudah datang. Heni, Dinda, aku duluan ya! Assalamu'alaikum," ucap Zahara sambil berlari menuju gerbang menemui abi-nya dengan motor matic hitam yang sedang melambaikan tangan pada putrinya. "Wa'alaikumsalam," jawab Dinda dan Heni bersamaan. "Aku bukannya menentang atau gimana Dinda, aku gak ingin kamu tersakiti," jelas Heni sambil memeluk sahabatnya itu. "Aku berterima kasih atas niat baikmu Heni, hanya saja aku juga tidak bisa mengontrol diriku," ucap Dinda. "Dinda, sudahlah. Kita tidak perlu membahas si b******k itu lagi, ayo pulang!" ajak Heni diangguki oleh Dinda. oOo Setelah selesai bekerja di rumah Heni untuk memasukkan keripik yang telah di goreng ke dalam plastik, Dinda langsung pamit pulang ke rumahnya. Dinda melihat rumahnya yang gelap dari jauh, padahal rumah tetangga semuanya terang. "Kenapa nenek gak menghidupkan lampu ya? Ketiduran?" gumam Dinda kebingungan. Dinda langsung berlari segera agar cepat sampai ke rumahnya, Dinda mengetuk pintu berulang kali, namun tak sekali pun mendengar sahutan dari neneknya, Dinda terpaksa mengambil kunci cadangan yang ada di dalam tasnya. Setelah mengunci kembali pintu rumah, Dinda langsung menekan saklar untuk menghidupkan lampu, sekaligus mencari keberadaan neneknya. Dinda tersenyum tipis melihat neneknya yang sudah terbaring di atas ranjang kamarnya. "Sepertinya nenek kecapekan," gumam Dinda lalu menutup kembali pintu kamar neneknya. "Aku pulang kemalaman ya? Lain kali aku pulang cepat, biar bisa shalat Isya berjamaah sama nenek." Rintikan bunyi air yang jatuh ke lantai kamar mandi menemani Dinda membersihkan tubuhnya setelah seharian belajar dan berkerja, "Aku harus salat isya dulu," gumam Dinda sambil membentangkan sajadah hijaunya. Selesai salat, Dinda membuka buku pelajaran, mengulang kembali materi yang baru di bahasnya di sekolah tadi agar tidak kelupaan, karena Dinda juga tipe orang yang tidak bisa langsung tidur pada malam hari tanpa melakukan suatu kegiatan dulu. Mata Dinda mulai melirik dari kiri ke kanan, atas ke bawah karena membaca catatannya, sampai di halaman terakhir dari catatannya, Dinda menutup buku dan langsung naik ke kasur tipisnya itu, di samping neneknya yang sudah tertidur lelap sejak tadi. Di kegelapan kamarnya kini, Dinda mulai memikirkan Fauzi, laki-laki yang menyatakan cintanya pada Dinda di sekolah tadi. Wajah Dinda langsung memerah, dia tidak bisa menolak bahwa hatinya tergila-gila karena Fauzi yang begitu tampan. Mau Fauzi itu cowok b******k yang gak punya perasaan karena menyakiti banyak wanita, mau Fauzi itu orang yang dibenci sahabatnya sendiri, mau Fauzi itu orang yang akan menambah dosa dirinya karena zina pacaran, bagi Dinda saat ini, itu bukan masalah, karena hatinya sudah terlanjur diisi oleh Fauzi, dia selalu memikirkan Fauzi sejak Fauzi mengatakan dia menyukai Dinda. Tapi apa yang dirasakan oleh Dinda ini adalah cinta? *** Paginya Dinda langsung bersiap-siap ke sekolah setelah berpamitan dengan neneknya. Di seberang g**g dari rumah Dinda menuju sekolah, Dinda mendapati seorang laki-laki yang tidak asing lagi baginya, Fauzi. "Fauzi...? Ada apa ke sini? Bukannya beda arah dari rumah kamu ya?" tanya Dinda kebingungan. Fauzi mengangkat kedua sudut bibirnya tersenyum dengan sangat menawan sampai membuat pipi Dinda merah merona, "Aku nungguin kamu biar bisa berangkat ke sekolah bareng," jawab Fauzi sambil menepuk kursi belakang motornya, menyuruh Dinda untuk bonceng dengannya. "Eh? Tapi--" "Ayo, kamu gak bakal nolak kan?" tanya Fauzi dengan masih mempertahankan senyumnya. "Hmm baiklah," angguk Dinda langsung duduk di motor Fauzi. "Kali ini saja, lain kali kamu tidak perlu jemput aku." Fauzi tidak menjawab, hanya tersenyum tipis dengan raut wajah bahagia. Sebuah mobil hitam mendekat ke arah Dinda dan Fauzi kini, dan berhenti tepat di hadapan mereka berdua. "Dinda!" teriak lelaki paruh baya itu dengan tatapan sangarnya. Pupil mata Dinda langsung melebar melihat laki-laki yang kini melotot tajam padanya, tangan Dinda langsung gemetaran. Fauzi yang merasakan getaran dari tangan Dinda langsung mengenggam tangan Dinda, Dinda merasa lebih baik setelah dibantu oleh Fauzi. "Siapa?" bisik Fauzi pada Dinda. "Ayahku," jawab Dinda yang membuat Fauzi langsung tersentak kaget. "Dinda! Kau sudah berani pacar-pacaran ya!? Enak ya kau sekarang, bukannya belajar yang baik malah pacar-pacaran!" bentak ayah Dinda, "dan kau! Kenapa kau pegang-pegang tangan anak saya!? Lepas sekarang juga!" seru ayah Dinda pada Fauzi. Dinda tak mampu membalas bentakan ayahnya, walau kelakuan ayahnya sendiri lebih tidak pantas daripada dirinya, tapi Dinda sudah terlanjur takut pada ayahnya itu. "Maaf Om, memangnya kenapa kalau saya bersama Dinda? Apa ada masalah dengan Om? Apa selama ini barang sekali saja Om pernah memperhatikan Dinda?" tanya Fauzi yang masih mengendalikan emosinya. "Owh berani ya kau!" Tamparan keras langsung melayang ke wajah Fauzi, membuat wajah tampannya itu langsung perih. Dinda tak kuasa menahan rasa takut pada ayahnya, sekaligus rasa bersalahnya pada Fauzi yang telah membelanya. "Dinda! Kau pulang sekarang!" seru ayah Dinda. "Tapi Ayah, Dinda harus ke sekolah," lirih Dinda. "Sekolah-sekolah apaan! Jangan banyak alasan kau! Cepat pulang sekarang juga!" seru ayah Dinda melototkan tajam matanya pada putri satu-satunya itu. Dinda langsung melepas genggaman tangannya dari Fauzi dan melangkah kembali ke rumahnya, Fauzi langsung menarik tangan Dinda dengan segera, berulang kali Fauzi menggelengkan kepalanya agar Dinda tidak perlu pulang ke rumah. "Hei kau ngapain!? Jangan berani-berani kau suruh anak saya durhaka sama ayahnya sendiri ya!" marah ayah Dinda. "Maaf Om, tapi semenjak Om sudah tidak peduli lagi pada Dinda dan menelantarkannya begitu saja dengan neneknya yang sudah tua, Om tak punya hak lagi untuk mengurusi Dinda!" balas Fauzi. "Memangnya siapa kau berani-berani ngatur saya!? Asal kau tau ya! Secara hukum saya masih ayahnya Dinda! Fakta itu tak akan berubah!" jelas ayah Dinda. "Tapi di hati Dinda apa Om masih ada?" balas Fauzi mendalam. "Hei! Kau jangan berani macam-macam ya sama saya, sekarang pergi!" seru ayah Dinda. "Saya tidak akan pergi jika tidak membawa Dinda!" jawab Fauzi lantang. "Dinda! Kau masuk ke dalam mobil, cepat!" perintah ayah Dinda langsung diangguki oleh Dinda. "Din..." panggil Fauzi tercekat. Dinda tak sedikit pun menoleh pada Fauzi, ayah Dinda langsung menginjak pedal gas mobilnya menuju rumah. Sesampainya di depan rumah, Dinda langsung turun dari mobil dan berlari segera ke kamarnya. Nenek Dinda yang sedang duduk membaca Al-Qur'an di ruang tamu menatap kebingungan cucunya yang tiba-tiba kembali pulang ke rumah dengan raut muka yang ingin menangis. "Roy... kamu kembali?" ucap nenek Dinda saat melihat ayah Dinda melangkah masuk ke dalam rumah. "Aku cuman mau mengambil beberapa pakaianku yang tertinggal Bu," jawab ayah Dinda langsung melangkah masuk ke kamar lamanya. "Roy, walau istrimu telah meninggal, tidak bisakah kamu memberi sedikit saja perhatian untuk Dinda?" tanya nenek Dinda. "Untuk apa aku mengurusi anak dari wanita itu! Anak sama ibu-nya sama saja, yang satu gila lalu bunuh diri, yang satunya lagi malah sibuk pacaran sama anak orang," tuduh ayah Dinda. "Roy! Kamu jangan berani mengatai-ngatai anak dan cucu saya ya! Walau bagaimana pun Ranti adalah istri kamu, Dinda adalah darah daging kamu sendiri! Apa kamu tidak sadar Ranti bunuh diri karena siapa!? Bahkan tak sekali pun kamu pernah memberi nafkah untuk Dinda!" seru nenek Dinda. "Aduh! Sudahlah Bu, berisik ah! Aku ingatkan ya, Ranti itu BEKAS istriku, bukan istriku." Ayah Dinda menekan kata bekas dengan sangat dalam, "dan Dinda... anak itu tak perlu aku nafkahi, dia bisa menafkahi dirinya sendiri, toh dia perempuan kan?" sambung ayah Dinda secara tidak langsung menyuruh putrinya yang merupakan darah dagingnya sendiri untuk menjadi p*****r. "ROY! Kamu benar-benar kurang-- ah!" teriak nenek Dinda memegangi bagian bawah dadanya yang sakit. "Aduh mulai lagi deh! Makanya Bu kalau udah tua dan penyakitan gak perlu teriak-teriak. Aku pergi dulu Bu!" pamit ayah Dinda, Roy langsung melangkahkan kakinya keluar dari rumah bersama pakaian yang telah dikemasnya. "Suatu hari Allah akan memberi kamu azab Roy!" gumam nenek Dinda lirih. "Alah! Azab apaan!?" acuh Roy yang mendengar gumaman nenek Dinda tadi. Dinda yang tidak mendengar langkah kaki ayahnya lagi langsung keluar dari kamar dan berlari segera menghampiri neneknya yang masih merintih kesakitan di kamar orangtuanya dulu. "Ne... Nenek, Nenek kenapa?" tanya Dinda cemas, melihat neneknya seperti kehabisan nafas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN