Bab 28 : Di Ambang Kematian

2007 Kata
Dalam keadaan kedinginan, Adul dan Andi masih terus menyusuri sungai, bebatuan besar seolah sudah menjadi pemandangan yang biasa menurut mereka, Adul sendiri memilih diam dan fokus terhadap arus sungai yang mereka lewati. Andi sendiri berusaha menghangatkan tubuhnya yang serasa mati rasa akibat kedinginan. Hingga tak lama teriakan Adul membuat secercah senyuman hadir di wajah Andi. "ALHAMDULILLAH YA ALLAH, AKHIRNYA KETEMU." Adul langsung berlari menuju batu yang tadinya menjadi tempat awal mereka memasuki kawasan hutan mistis itu, tempat di mana Ucok duduk sambil tertawa dengan mereka berdua, namun sekarang, hanya tinggal dirinya dan Andi lah yang kembali ke lokasi ini, tidak dengan Ucok. Adul yang semula berjalan dengan semangat, kini dengan lunglai dan lemas menghampiri batu itu, matanya memanas ketika menyadari, kemarin adalah moment terakhir bersama dengan Ucok. Tawa itu, guyonan, dan juga tingkah Ucok yang menyebalkan, nyatanya merupakan kenangan terakhir bagi ia dan Andi. Andi dengan terseok-seok, menghampiri Adul yang sudah terlebih dahulu sampai di lokasi. Ia juga sama dengan Adul, sama-sama merasakan sesak begitu menyadari, mereka tinggal berdua, tidak utuh seperti kemarin. "Coba aja ada bang Ucok, yah Dul. Pasti seneng banget dia," ujar Andi lirih. "Seharusnya kemarin kita ngikutin sungai aja, jangan malah jalan masuk ke dalam sana." Andi mengangguk, kadang penyesalan memang selalu datang di akhir, namun entah mengapa, setitik rasa penyesalan itu ada meski ada banyak rasa syukur yang mereka rasakan. Setidaknya ada jalan pulang. "Semoga aja kita bisa dapet petunjuk jalan, minta bantuan, dan bawa balek bang Ucok." Setelahnya, keduanya memilih diam dan melihat kegelapan malam yang mereka perkirakan sudah sampai waktunya subuh. Warna jingga di timur sebagai penandanya. "Rasanya aku lapar, dingin juga." Adul melihat ke arah Andi yang menggigil dengan tubuh yang lemas tak bertenaga. Tas milik Andi yang berisi makanan bagi keduanya, malah hilang, jatuh ketika dirinya menarik Andi yang ingin menghampiri Ucok. Sekarang mereka hanya mengandalkan air sungai yang keruh saja. "Ndi, minum ini aja, biar setidaknya ada cairan yang masuk." Andi menerima air yang diberikan Adul, mencoba menahan lapar hingga bantuan tiba, entah sampai kapan, mencari makan rasanya ia pun tak sanggup, kakinya yang luka di tambah perut yang hanya terisi air, membuat keadaan semakin sulit. Dan juga dirinya tidak ingin kembali lagi ke dalam hutan itu lagi. "Ndi, ayo jalan aja ke seberang, semoga aja kita sampai di post dua cepet." Andi menoleh ke arah Adul dengan penuh tanya. "yakin? Takutnya kita malah nyasar lagi," ucap Andi dengan nada ragu. Adul terdiam, ia juga tidak bisa memberikan jaminan jika mereka tidak akan tersesat lagi. "Yakin ajalah, Ndi. Jodoh, maut, rezeki, Allah yang ngatur. Kita di sini juga, iya kalau kawan-kawan pada tau, kalau ternyata selama itu kita gak ditemukan?" Dengan pertimbangan matanga, Andi akhirnya manut mengikuti Adul yang sudah terlebih dahulu menyebrangi sungai. Sesampainya mereka di sebrang, tak ada jalan setapak yang kemarin mereka lewati, demi memastikan sesuatu, Adul menyibak semak-semak, lalu melihat sekitar. Hingga keadaan telah di rasa aman, Adul menerobos semak-semak itu, diikuti oleh Andi di belakangnya. Mereka berjalan bersisian, saling bahu membahu dengan tubuh lemas dan lemah. Pada akhirnya Andi tidak kuat lagi, ia pun memutuskan untuk beristirahat tepat di bawah pohon besar, dan bersandar di batangnya. "Ndi, masih oke gak?" Andi menggeleng lemah, suhu yang dingin, membuat Andi kembali menggigil. Adul merasa sangat kebingungan, apalagi mereka tidak memilki baju yang kering. "Ndi, jangan kenapa-napa yah? Aku mohon kali, jangan tinggalin aku,"ucap Adul sendu dengan terus menggosokkan tangannya ke tangan Andi, berupaya menghangatkan tubuh Andi. Andi sudah tidak memiliki tenaga, matanya perlahan sangat berat dan hampir menutup, dengan panik Adul menggoyangkan tubuh Andi secara brutal. "Woy, Ndi! Jangan kau tutup matamu, bangke! Bikin takut kau, woy!" Andi seakan tak mendengar ucapan Adul, ia hanya ingin tidur sekarang. "ANDI BANGKE. BANGUN WOY!" Andi langsung menyentak tangan Adul cepat. "Gila memang kau, Dul. Aku ngantuk mau tidur, bukan mau mati, astaga," sahut Andi lemah, bahkan suaranya nyaris tidak terdengar, sontak Adul yang mendengar itu merasa geli dan meringis pelan, astaga, padahal tadi dirinya sudah sangat panik. "Maaf lah, namanya kau gak mau ngomong." "Bacot memang kau, aku mau tidur, jangan ngomong lag." Aduk dengan cepat menutup rapat mulutnya, hingga mata sahabatnya itu terpejam secara sempurna, yang artinya sudah berada di alam mimpi. Adul ikut menyandarkan tubuhnya ke batang pohon itu. Sambil mengawasi keseliling semak-semak dengan pohon yang tidak sebesar hutan kemarin. Semakin lama, mata Adul semakin memberat dan sayu, beberapa kali dirinya menguap dan mengerjapkan matanya pelan, menghalau kantuk yang datang. Hingga tak lama, dirinya tidak lagi dapat menahan kantuk, secara perlahan matanya menutup sempurna, dan masuk ke alam mimpi. Keduanya tertidur dalam posisi duduk dan bersandar di batang pohon besar, ditemani dengan empuk pagi dan juga sinar matahari yang baru saja muncul. Kedua nya tampak meringkuk, mencoba menghalau dingin yang merasuki tulangnya, dingin pagi di pegunungan memang sangat terasa enak jika dinikmati dengan secangkir kopi panas dan beberapa keping biskuit dan sweater tebal, namun hal ini berbeda, dengan kondisi mereka yang basah kuyup dan juga tidak ada penghangat apa pun. Suara kicauan burung sama sekali tidak mereka hiraukan, keduanya masih asyik bergeming dengan mimpi di alam bebas. Hingga secara tiba-tiba, Adul terkejut dari tidurnya, ia menatap sekeliling dan menyadari, bahwa hari sudah mulai pagi dan sudah terang benderang, dirinya membangunkan Andi yang sama sekali tidak terganggu dengan apa pun. "Ndi, Ndi. Bangun dulu, yok lanjut, biar cepet pulang." Mata Andi terbuka dengan sangat sayu, wajah sahabatnya itu terlihat tidak berdaya dan seperti orang yang tidak memilki gairah hidup. "Ndi!" Adul terus berusaha membuat Andi sadar, meski semau usahanya berujung sia-sia dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mengangkat tubuh Andi lalu menggendongnya dengan pelan. Berjalan menyusuri semak-semak, dengan beban berbobot 50-an kilo gram, tak jarang menguat Adul hampir tersungkur, apalagi ketika dirinya mendengar suara lirih dari Andi. "Dul, udah. Tinggalkan aja aku di sini, kau pergi duluan." Air mata Adul langsung menetes, mendengar ucapan pasrah dari Andi adalah musibah baginya, ia tak ingin pulang sendiri, sekarang hanya tersisa Andi. "Dul, nanti kau capek." Kalimat yang berulang kali dilontarkan oleh Andi, namun berulang kali pula Adul tolak dan tidak ia jawab sama sekali. Hingga ketika kaki nya tanpa tersadar terpeleset di jalanan licin, menguat tubuhnya limbung seketika, dan tubuh Andi yang menimpanya. Bahu Adul bergetar karena tangis, bersusah payah ia bangkit tanpa menyakiti Andi di gendongannya. Tangan Andi dengan pelan merayap ke wajah Adul, lalu mengusap air mata Adul yang menetes. "Udah, Dul. Kau pulang, cari bantuan, terus jemput aku, " ucap Andi lagi. Adul meletakkan tubuh Andi di sebuah batang pohon. Meneliti penampilan Andi yang terdapat luka-luka kering, dan wajah yang pucat. Wajah tampan Andi kini berganti dengan wajah tidak terurus dan juga pandangan yang penuh jenaka itu terlihat kosong. "Ndi, coba tatap aku," ujar Adul yang mencoba membuat Andi menatapnya dengan binar seperti kemarin. Namun tetap saja, mata itu menatap di satu titik, tepat batu di depan mereka. Batu kecil namun berbentuk kerucut. Adul baru menyadari keberadaan batu itu. Dengan memberanikan diri, ia mencoba melangkah untuk melihat batu kerucut yang menyerupai batu nisan. Belum sempat Adul melangkah, tangannya sudah ditarik oleh Andi. Meski pandangan Andi tidak menatapnya. "Kenapa, Ndi?" Tidak ada jawaban Andi sama sekali, hanya ada keheningan dan juga gelengan yang membuat Adul heran seketika. "Ndi, kenapa? Ngomong, jangan diem aja." "Ada orang." Hanya dua suku kata saja yang diucapkan oleh Andi, namun membawa dampak besar bagi Adul yang tiba-tiba ikut merasakan kehadiran seseorang. Ia merasa orang itu berada dekat dengannya. "Ada siapa di belakang?" Tanya Adul kepada Andi, namun temannya itu malah menggeram, dan menunjuk-nunjuk ke arah belakang Adul. Semakin lama semakin kuat pula suara Andi menggeram, bahkan urat-urat di sekitar leher Andi menonjol, dan juga mata yang melotot marah. "Astagfirullahal adzim, Ndi. Kenapa?" Adul berusaha menyadarkan Andi, dengan memberikan tepukan-tepukan di pipi pemuda itu, namun tetap saja Andi menunjuk ke arah belakang Adul dengan aura permusuhan yang kentara. Dengan inisiatif nya, Adul membacakan ayat suci Al-Qur'an, dengan lantang, hingga tak lama kemudian, tubuh Andi tenang seketika, namun tampak sangat lemas, dengan memberanikan diri ingin mencari tumbuhan yang bisa mereka makan. Adul meninggalkan Andi yang sudah lemas tak bertenaga, menyusuri semak-semak yang terdapat beberapa tumbuh tumbuhan ilalang, Adul juga menemukan adanya buah rotan dan buah senggani yang bisa ia konsumsi. Setelah di rasa cukup, Adul hendak kembali ke Andi yang berada tidak jauh dari lokasinya, namun ia melihat ada pohon bambu, yang di mana, ada rebung yang bisa ia konsumsi. Memberanikan diri masuk ke dalam pepohonan bambu yang lebat, Adul berusaha mencabut rebung yang ia temukan. Dengan bersusah payah pula lah dia yang mencabut rebung tersebut, setelahnya ia berniat kembali ke Andi yang tadinya sempat terhenti. Namun ia melihat ada suara keramaian dari balik pepohonan bambu, ingin rasanya Adul menghampiri keramaian yang mungkin saja beberapa pendaki yang sedang beristirahat, karena ia yakin, mereka sudah berada di dekat jalur pendakian yang sering dilewati. Namun Adul teringat dengan Andi yang lemas di sana. Dengan terburu-buru ia menghampiri Andi, memberikan buah senggani yang kecil-kecil dan berwarna ungu kehitaman, rasanya manis dan sedikit sepat, lalu memberikan ilalang yang sudah ia tumbuk untuk mengeluarkan airnya, meskipun sedikit. "Ndi, mau minum?" Andi mengangguk tanpa suara. Adul langsung berlari menuju sungai yang suaranya masih terdengar, dan tidak jauh dari lokasi mereka. Membawa botol minuman yang ia miliki, lalu mengisinya dengan penuh, air sungai sudah tampak lebih jernih dari tadi malam. Mata Adul melihat ke arah batu, yang sempat menjadi persinggahan dirinya, Andi dan juga Ucok. Setiap melihat batu itu, secara otomatis otak nya akan mengenang Ucok yang tidak lagi bersamanya. Adul segera menyelesaikan mengambil airnya, dan berjalan ke arah Andi yang masih dalam posisi yang sama. "Ini, Ndi. Insyaallah bisa buat ngilangin haus sama lapar." Adul ikut memakan buah rotan yang ia dapat, meskipun rasanya sangat asam, dan kemungkinan bisa membuat perutnya terasa sangat sakit sekali, karena memakan buah yang asam sementara perut dalam keadaan kosong. Keduanya dalam keadaan hening tanpa suara. Mencoba menikmati makanan hutan yang mereka harapkan bisa menjadi penyambung hidup. "Dul, udah ketemu jalan belum?" "Udah, Ndi. Tadi ada di sebelah pohon-pohon bambu." "Yakin itu jalan?" "Yakin, Ndi. Soalnya ada suara, rame. " Andi kemudian terdiam, ia hanya takut kejadian seperti Ucok terulang kepada mereka. Andi menatap tas aduk yang menjadi tempatnya tidur. "Ada tenda?" Adul menggelang pelan, ia tidak tau, di dalam tasnya masih terdapat tenda atau tidak, meskipun ada, sudah pasti kondisi tenda itu sudah tidak kayak pakai. Karena beberapa kali ia terjatuh. "Coba lihat aja, Ndi." Andi bangun dari tidurnya, laku membuka tas Adul, hanya terdapat sajadah dan juga peci milik Adul yang terlihat lembab. Adul ikut melihat isi tas nya, dan hanya bisa meringis pelan. Apa yang mereka cari tidak ada, mungkin jika sampai malam mereka di sini, mereka akan tidur menyatu dengan alam, dalam artian tidur tanpa tenda. "Mending kita ke arah yang aku bilang tadi, yah?" "Gak bakal kayak bang Ucok, kan Dul?" Adul terdiam, ia tidak bisa memastikan itu, hanya saja mungkin lebih baik mencoba dari pada tidak sama sekali. "Insyaallah, semoga aja gak, Ndi." Andi hanya mengangguk. Lalu beridiri dibantu dengan Adul yang membopong tubuhnya. "Ndi, jangan ngomong kayak kemarin lagi, nakut-nakuti kau." Andi terkekeh dengan suara lirih. "Halah, gitu aja takut loh kau, Dul. Lagian keadaan aku juga kayak gini, malah buat kau repot aja nanti." "Gak lah, apa pula kau ini, repot dari mananya?" "Yah gini lah, harus kau bopong gini, kasian aku liat badanmu yang kecil gitu harus narik aku yang gede gini." "Halah, bilang aja mau ngejek aku kecil, kan? Gak usah gitu lah, kecil-kecil cabe rawit ini." Andi kembali terkekeh geli, ia menyetujui celetukan Adul tadi, rekannya ini memang bertubuh kecil, namun yang paling lincah diantara mereka semua. Apalagi kalau soal makanan, Adul adalah orang yang paling cepat makan dan paling cepat merasa kenyang. "Tadi rasanya, aku udah diambang Kematian," ucap Andi lirih tanpa melihat ke arah Adul, Adul sendiri sontak merasa sangat terkejut, belum lagi begitu menyadari, hutan bambu yang tadinya terasa dekat, sekarang malah terasa sangat jauh sekali, bahkan belum terlihat sama sekali dari tempatnya berdiri saat ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN