Bab 21 : Keadaan

2072 Kata
Adul tiba-tiba terbangun dari tidurnya, ia tidak tahan lagi dengan sakit perut yang ia tahan sedari tadi, melihat ke arah Ucok dan Andi yang sudah tertidur dengan tenang. Keadaan sangat hening, hanya ada suara jangkrik yang menemaninya. "Ndi, Ndi. Temeni aku Yo, ke sungai, gak tahan kali udahan," ajak Adul dengan mencoba membangunkan Andi yang tertidur pulas, bukannya bangun, Andi malah hanya berbalik badan menghadap ke arah Ucok. "Ndi, temeni, Ndi. Udah gak tahan ini, ya Allah sakitnya." Andi yang merasa terganggu akhirnya ia terbangun, ketika ingin memarahi Adul, ia merasa tidak tega begitu menyadari wajah Adul yang terlihat menahan sakit. "Segitu kebeletnya kau, sampe muka kau kocak gitu," ujar Andi terkekeh geli. Adul mengumpat dalam hatinya, bukannya lekas mengiyakan ajakannya, Andi malah terkekeh tidak jelas. "Yok lah, Ndi. Udah gak kuat aku." "Yaudah ayo, kau nya yang sedari tadi diem aja di situ." Baru saja Adul hendak bergerak, suara buang angin yang begitu kuat, dan juga lengkap dengan bau yang menyengat, mengisi keheningan malam dan menjadi parfum gratis di tenda mereka. Ucok sampai terbangun karena terkejut mendengar suara buang angin Adul. "We, suara apa itu?" Adul diam, pura-pura tidak tau, sedangkan Andi sudah menahan tawanya sambil menutup hidung. "Anjir, bau kali ya Allah," teriak Ucok sambil mengibaskan tangannya menghalau bau itu masuk ke Indra penciumannya. "Hahahahahah....." Andi sudah tidak dapat lagi menahan tawanya, ia sangat geli melihat wajah malu Adul dan wajah terganggu Ucok. Adul yang sangat malu langsung keluar dari tenda, dan berlari hendak ke sungai. Andi menyusul yang di ikuti oleh Ucok juga. Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk ke sungai. Begitu sampai sungai, Adul langsung berjongkok dan melakukan ritual perpisahan. Sedangkan Andi dan Ucok, menunggu Adul di pinggir sungai yang semak-semaknya rata akibat terjangan banjir. Bahkan Adul saja saat ini nongkrong di kayu yang memalang. "Lumayan cepat banjir ini surut, yah. Padahal tadi gede kali," ujar Adul yang berbicara sambil buang air. "Dah, gak usah banyak cakap kali kau, bagus cepet yang buang air itu," sahut Andi yang melihat ke sekeliling sungai. "Kira-kira jam berapa ini, yah?" Ucok dan Andi menggeleng, tidak bisa menjawab pertanyaan Adul, mereka saja tidak tau ini sudah jam berapa, apalagi Adul yang sedari tadi hanya fokus dengan perutnya yang melilit. "Kayaknya jam-jam sembilan malam ini," sahut Ucok yang menerka-nerka jam. "Yah jelas malam lah, Bang. Gak mungkin siang, aneh Abang Ucok nih." "Selo lah kau, Andi Situmorang. Aku kan cuma nebak aja, kau sewot kali, aku jeburkan lah kau ke sungai yang besar itu." "Macem berani aja kau, Bang, Bang. Nanti nangis kau gak ada aku." "Babamu, ise na mandokkonna? Fitnes (Mulutmu, siapa yang bilangnya?)" Andi terkekeh, kalau sudah keluar bahasa campur Ucok, berarti laki-laki itu sudah ingin ngamuk. "Selo, Bang. Jangan goyang kali." Adul terkekeh, ia melihat ke arah hulu sungai, sangat sepi, hanya ada suara riak Ari yang terdengar di sini. Ia berharap untuk malam ini saja, tidak ada kejadian seperti malam kemarin, bagaimana pun dirinya ingin tidur dengan tenang, toh hari ini mereka tidak ada mengganggu siapa pun. Adul langsung berdiri, begitu siap dan tuntas hajat nya, menghampiri Ucok dan Andi yang terlihat bermain melemparkan batu ke sungai, permainan yang dulunya sering dilakukan Ucok bersama sang adik. Berbeda dengan Adul yang sama sekali tidak pernah memainkan ini, karena tidak ada sungai yang benar-bernar bersih dari arah rumah kediaman nya. Adul datang ke samping Ucok. "Jangan asal lempar, nanti kelempar pula yang lain-lain." "Ah, kau Dul. Parnoan kali," sahut Ucok yang masih asyik melemparkan batu ke arah sungai, hingga beberapa kali lompatan batu tersebut. Andi sendiri sudah berhenti begitu mendengar teguran dari Adul, karena ada benarnya juga apa yang disampaikan oleh Adul. "Udah, ayo balik ke tenda," ajak Andi, setelah menyadari jika Adul telah selesai dari buang airnya. "Entar dulu,lah. Refreshing pinggir sungai malam-malam kan enak," sahut Ucok yang malah duduk di tepi sungai. Sifat Ucok yang tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan orang lain telah datang kembali, padahal Andi cukup senang tadi, mendapati rekannya sekaligus seniornya ini sudah mulai bisa membuang sifat egois dan keras kepalanya. "Bukan apa-apa, Bang. Takut nya ada sesuatu yang gak kita inginkan." Ucok melengos, dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Adul. "Kau, Ndi. Mau pergi juga?" Ucok malah bertanya kepada Andi, tanpa menjawab Adul. "Iya, bang. Cari aman aja, setidaknya gak buat rekan kita repot," sungut Andi yang mulai terpancing emosi. "Eh, kok gitu kalo cakap kau samaku, kalau kalian repot yaudah sana, ke tenda lagi, kok susah." Adul menghela nafasnya pelan. "Bang Ucok, bahaya kalau di sini, bisa aja tiba-tiba banjir datang." "Jangan parnoan kali, Dul. Gak akan ada apa-apa." "Emang kayak binatang kau yah, bang. Gak bisa dikasih tau, gak ada otak kau buat berfikir!" Andi sudah terpancing emosi, dirinya sangat kesal sekarang melihat tingkah dari Ucok, entah ada masalah apa dengan laki-laki itu, sampai bertingkah demikian, rasanya Andi kehabisan cara membuat Ucok sadar. "Kau yang kayak binatang, gak ada sopan santun kau sama yang lebih tua, gak di ajarin sopan santun kau sama orang tua kau? Gagal orang tua kau ngedidik manusia kayak kau." Andi yang mendengar orang tuanya di sangkut pautkan pun merasa tidak terima, ia langsung menarik kerah baju Ucok dengan kuat. "Anjing kau! Jangan bawa-bawa mamak sama bapak aku, kau itu gak tau apa-apa!" Bukannya takut, Ucok malah tersenyum miring yang malah membuat emosi Andi di luar kendali. " Wajar sih, anak broken home." Adul tersentak kaget, mendengar apa yang diucapkan Ucok, ia melihat ke arah Andi yang matanya sudah meredup, bukan lagi emosi yang ia lihat, melainkan wajah sayu yang penuh dengan kekecewaan dan kesedihan. "Aku gak nyangka kau bakal ngomong gitu, Bang. Selama ini selalu ku hormati kau, tapi kali ini, aku rasa kau bukan tipe manusia yang pantas kami anggap manusia," ucap Andi dengan nada lemah, menatap Ucok dengan satu lalu memutuskan pergi duluan ke tenda mereka, guna menenangkan diri. Adul menghampiri Ucok yang masih menatap Andi dengan tersenyum miring, meremehkan. "Aku tau bang Ucok gak mau diatur-atur, aku juga tau, kalau Abang tipe orang yang mau jadi pemimpin. Tapi gak gini juga bang, selama perjalanan ini, sebenarnya aku diam, nahan buat gak ngomong gini. Tapi bang, kali ini Andi benar, Abang manusia yang gak pantas diperlakukan kayak manusia, lakukan sesuka Abang, kami udah gak peduli lagi, tapi satu hal yang harus Abang tau dan Abang catat dalam otak Abang! Kami berdua begini itu karna Abang, karna keegoisan Abang, dan karna sifat sok tau Abang. Semua perbuatan Abang yang tidak beretika, kami yang kena imbasnya, jadi mulai sekarang, terserah Abang mau bagaimana. Kami gak peduli!" Adul langsung meninggalkan Ucok yang terdiam di tempat, setelah mengucapkan itu, Adul mencoba untuk meredam emosinya, dirinya diam bukan berarti tidak emosi, hanya saja, di situasi begini bukan saatnya mencari siapa yang salah, dan siapa yang benar. Namun kali ini, Ucok benar- benar kelewatan, dan tidak bisa ditoleransi, perilaku dan tingkahnya yang tidak bisa di arahkan dan tidak beretika, membuat mereka akan semakin dalam masalah yang lebih besar. Adul melihat Andi yang terduduk diam menatap ke luar dengan pandangan kosong, dan juga linangan air mata. Andi sedikit sensitif jika mengenai keluarga, dikarenakan kondisi keluarganya yang tidak seharmonis orang lain. "Ndi, jangan diambil hati ucapan bang Ucok, " ujar Adul menepuk pundak rekannya itu. Andi mengangguk, lalu menghapus air matanya. "Apa yang dibilang bang Ucok itu ada benarnya, Dul. Keluarga ku kau tau lah gimana kondisinya, kan? Bapak aku yang berperilaku kayak binatang, mamak aku yang sabarnya kayak orang paok. Tiap hari ada aja piring melayang, tapi mamak tetep sabar, aku gak kayak mamakku, Dul. Yang sabarnya itu kelewat batas, makanya tadi aku emosi kali. Tapi lihat bang Ucok yang ngomong gitu, rasanya kok sakit kali, selama ini bang Ucok temen aku cerita, pas dia ngomong gitu, rasanya kayak gak percaya aja." Adul mengangguk mengerti, diantara mereka yang paling dekat dengan ucl itu Fahri dan Andi. Di mana ada Ucok, maka di situ ada Andi ataupun Fahri. "Yang sabar aja, aku juga kurang ngerti kenapa bang Ucok tiba-tiba gini, intinya sekarang banyakin sabar, gak mungkin kita pisah-pisah, harus cari jalan keluar sama-sama." "Maunya gitu,Ndi. Tapi kalau salah satunya gini terus, gimana mau cara jalan sama-sama? Kalau bang Ucok gini terus, gak mau Nerima saran orang. Capek aku tuh,"sahut Andi dengan nada gemulai di akhirnya. "Jijik aku denger suara kau yang terakhir, udah kek sama banci." Andi tertawa ngakak mendengar ucapan Adul, apalagi mimik wajah rekannya yang bernama lengkap Abdullah itu, sangat menggelikan, dirinya saja geli sendiri, apalagi Adul yang menjadi pendengarnya. "Serasa lagi mangkal di lampu merah Carrefour aku, pake kerincingan, terus pake wik sama make up tebel sepuluh inci." "Hahahaha.... Gak kebayang, bangke. Ya Allah, bisa-bisanya kau, Ndi. Punya cita-cita terpendam kayak gitu." "Matamu!" Mereka tertawa tanpa beban, seolah lupa dengan satu orang yang asyik merenung sendirian di pinggir sungai, tidak ada ketakutan dalam diri Ucok, yang ada hanya kehampaan, dirinya saja tidak menyadari kenapa harus seperti ini, sifatnya yang seolah membuat dirinya memilih kepribadian lain. Menatap air yang mengalir deras dari sungai, dirinya memainkan batu krikil yang ada di tangannya, lalu melempar batu itu hingga ada beberapa lompatan batu. Ia bukan tidak ingin mendengarkan saran orang lain, hanya saja, untuk saat ini, ia memiliki rencana mengeksplor seluruh hutan untuk jadi kenangan yang akan ia ceritakan ke anak cucunya. Namun apakah bisa dirinya menceritakan itu semua? Apa dirinya bisa kembali lagi? Memang benar apa kata orang, rasa penasaran secara perlahan akan membunuhmu. Rasa penasaran Ucok lah yang membuat dirinya membawa kedua rekannya masuk terlalu jauh ke dalam hutan ini. Yang pada awalnya ia bersemangat mengabadikan setiap hal-hal janggal yang terjadi, namun kini hanya ada sesak yang merajahi hatinya. Mengapa ia begitu keras. Dirinya harus meminta maaf kepada Andi, menyadari apa yang ia ucapkan tadi sangat keterlaluan. Ucok memutuskan berdiri, begitu dirinya berbalik badan, alangkah terkejutnya ia melihat sosok hitam yang menatapnya dengan tajam dan penuh kemarahan. "ARGHHHHHHH!" Di lain tempat, Andi dan Adul tersentak kaget mendengar teriakan Ucok, mereka langsung keluar dari dalam tenda, menghampiri Ucok yang suaranya berasal dari arah sungai. Andi yang tadinya dirundung emosi, malah sekarang sangat panik dan khawatir, bahkan Andi sampai merosot karena terjatuh saat berlari. "Ndi, bang Ucok, Ndi. Lari cepet." Belum sampai mereka di hadapan Ucok, terlihat Ucok sudah berlari ke arah mereka dengan sangat cepat. "Cepet beresin semua nya, kita pergi sekarang, cepat,Ndi! " Andi yang tadinya terbengong-bengong, akhirnya sadar dan langsung putar balik mengikuti langkah Ucok dan Adul yang berjalan terlebih dahulu. Mereka langsung membereskan semua barang bawaan, dan melepas tenda dengan asal. "Kenapa, Bang?" tanya Adul sembari tetap memasukkan perlengkapan semua ke dalam tasnya. "Cepet aja dulu gerak, nanti Abang kasih tau, Andi mana Andi? " "Di sini aku, bang," jawab Andi dengan cepat. "Udah semua, Kan? Yok sekarang." Ucok langsung melangkah dengan cepat, menjauhi lokasi itu. Dengan nafas yang tidak beraturan, mereka menerobos pepohonan dan semak belukar di tengah malam. Andi menghidupkan senter kepala miliknya, sedangkan senter milik Ucok dan Adul di simpan untuk lain waktu. Ucok yang memimpin barisan, mematahkan ranting-ranting yang mengganggu perjalanan mereka. Begitu sudah terasa jauh dari tempat tadi, Ucok berhenti dan menetralkan degup jantungnya sembari melihat ke arah dua rekannya yang juga dalam kondisi yang sama dengan dirinya. "Kenapa, Bang? Kasih tau dulu, baru lanjut kita." Ucok menghentikan langkahnya ketika mendengar pertanyaan Andi. Ia menghela nafasnya sejenak, lalu duduk di tanah. "Aku tadi lihat sosok hitam yang kalian bilang. Matanya melotot tajem banget. Kayak yang dibilang Adul, kalau sosok itu muncul, pasti ada aja itu kejadian yang ngerugikan kita, kita harus pergi sejauh mungkin, cari jalan keluar." Adul mengenal nafasnya lelah. "Sebenarnya dengan kita yang makin masuk ke hutan gini, resiko kita gak bisa pulang itu lebih tinggi, karna biasanya pencarian itu dengan menyusuri sumber air, Bang. Setidaknya meskipun kita dalam keadaan mati, masih bisa ditemukan." "Aku aja yang mati, kalian harus pulang, aku bantu kalian pulang, pokoknya harus pulang!" ucap Ucok dengan penekanan disetiap kalimatnya. Andi dan Adul sontak menggeleng. "Kita, Bang. Bukan cuma kami berdua, kita yang bakal pulang. Paham, Bang?" Ucok mengelap air matanya, dan terisak dalam tangisnya. "Mungkin kayak gini lah yang di alami adek aku, bingung, takut, pasrah, pengen pulang." Ucok sudah menangis. Membayangkan sang adik yang harus merasakan ini sendirian, dirinya saja yang memiliki teman rasanya sudah hampir gila, bagaimana dengan adiknya itu? Ya Allah. Sekiranya kami tidak bisa selamat, temukan jasad kami dengan orang-orang, agar bisa dimakamkan dengan layak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN