Adul hanya diam, tidak ada niatnya untuk menyusul kedua rekannya, dia membiarkan Andi dan Ucok menyelesaikan permasalahan yang ada, tanpa campur tangan miliknya.
Adul melirik ke arah jalan setapak yang mereka lalui tadi, sedikit ada rasa penasarannya terhadap pasar yang tadi mereka lewati. Dengan pelan, Adul kembali lagi melangkah ke arah pasar.
"Dul, mau ke mana?" Teriak Andi yang melihat Adul hendak melangkah kembali ke jalan yang mereka lewati. "Ke sana, aku penasaran."
Andi melotot kaget, apa-apaan Adul ini, mau kembali lagi ke pasar yang penghuni nya menyeramkan? Cari mati namanya.
"Dul, mau ngapain sih? Gak usah lah, cari aman aja."
"Penasaran, Ndi. Lagian mudah-mudahan bisa jadi petunjuk buat pulang," sahut Adul kembali melangkah ke arah pasar tersebut, Ucok menggeleng tidak setuju, bukannya Adul sendiri yang mengatakan kalau itu pasar tidak aman, dan penduduknya aneh semua? Lalu kenapa sekarang Adul malah ingin kembali lagi.
"Dul, gak usah cari masalah, mending sekarang kita cari jalan ke sana aja." Tunjuk Ucok ke arah depan mereka yang masih terlihat padat oleh semak-semak.
"Mana tau kita bisa dapet petunjuk, Bang. Mudah-mudahan aja bisa pulang."
"Iya kalau pulang ke rumah, kalau pulang ke pangkuan tuhan gimana?" Sahut Andi dengan mendumel kesal.
"Yah, kalau pulang ke pangkuan tuhan itu udah takdir, Ndi. "
Andi menghela nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. "Terserah kau lah, Dul." Andi hanya pasrah dengan keputusan temannya itu, ia dan Ucok hanya mengikuti langkah Adul yang kembali menyusuri semak belukar yang sudah mereka tebas.
Adul sendiri dengan langkah pasti kembali ke keramaian yang masih sama dengan yang mereka tinggalkan tadi, ia mencari orang yang memakai sarung yang sempat terlibat perkelahian dengan Ucok, ah! Bukan perkelahian, akan tetapi yang dimaki-maki Ucok tadi. Hingga matanya menemukan sosok yang sedang dicari di antara kerumunan penduduk.
Adul dengan cepat berlari mengejar sosok itu, hingga Andi dan Ucok keheranan dan terlihat panik ketika Adul sama sekali tidak terlihat, lalu tiba-tiba muncul dengan sosok yang tadinya terlibat cekcok dengan Ucok mengikuti di belakangnya.
Adul menghampiri kedua rekannya dengan wajah sumringah, karena sudah berhasil menemukan orang itu. "Bang, lebih baik Abang minta maaf sama bapak ini," ujar Adul dengan pelan, Ucok mengangguk setuju, ia segera berjalan menghampiri laki-laki bersarung itu.
"Pak maaf, sebelumnya saya berperilaku tidak baik, dan mungkin kata-kata saya terlalu kasar, saya minta maaf sebesar-besarnya."
Tak ada jawaban dari laki-laki di hadapan Ucok, hingga tak lama kemudian, anggukan dan juga kibasan tangan mereka dapatkan, pertanda Ucok telah di maafkan. Namun kibasan tangan itu semakin lama semakin kuat, seakan memerintahkan mereka untuk segera pergi, awalnya mereka sama sekali tidak paham maksud dari kibasan tangan itu. Hingga ketika kibasan itu disertai dengan jari telunjuk yang menunjuk ke arah jalanan yang mereka lalui barusan. Seakan tersadar, Adul langsung menarik kedua rekannya dengan cepat. Namun belum mereka melangkah, tangan Ucok ditarik dengan kuat hingga Ucok terpental dan jatuh terduduk di tanah.
Ucok melihat ke arah orang yang menariknya, dan melihat orang itu menggeleng pelan, Ucok yang tidak mengerti kembali berdiri lalu melangkah menyusul Andi dan Adul yang menatap Ucok dengan khawatir.
Begitu Ucok berdiri, tanpa membuang waktu, mereka bertiga langsung berlari, menjauhi pasar tersebut. Mengikuti jejak semak-semak yang telah mereka tebang. Sepanjang jalan, Ucok masih berfikir mengapa laki-laki itu menarik tangannya sampai ia terpelanting dan langsung jatuh? Kenapa sepertinya ia dilarang mengikuti kedua rekannya? Apalagi laki-laki itu menggeleng tidak setuju.
Adul menghentikan langkahnya, sama halnya dengan Andi dan diikuti oleh Ucok yang menyusul mereka dari belakang.
"Haus aku, laper juga. Masih ada gak roti kita?"
Andi mengangguk, dan langsung membuka tasnya, ada beberapa bungkus roti lagi, dan juga air sungai yang sebelumnya mereka ambil. Beralaskan tanah, Adul duduk bersila lalu membaca doa dan minum. Sedangkan Andi membuka bungkus roti, untuk dimakan bersama.
"Bang, tadi kenapa yah, Abang ditarik gitu?"
Ucok menggeleng tidak tau, lalu melahap satu keping roti dengan pikiran yang melayang ke arah kejadian tadi. "Gak tau aku, Dul. Bingung juga kenapa."
Andi melihat ke belakang Adul sepertinya ada orang yang melihat ke arah mereka, namun karena gelap, Andi sama sekali tidak bisa melihatnya dengan jelas, Adul yang menyadari tatapan Andi segera mengikuti arah yang Andi tatap.
Namun, di sana sama sekali tidak ada apa pun kecuali kegelapan dan siluet pohon serta semak-semak belukar.
"Kenapa, Ndi?"
"Tadi kayak ada yang berdiri di sana, Dul." Tunjuk Andi tepat ke arah semak-semak belakang Adul. Adul dan Ucok kembali melihat ke arah yang ditunjuk Andi. Namun sama saja, tidak ada apa-apa.
"Gak ada, Ndi. Siapa emang?"
"Gak tau, Bang. Kayak orang berdiri. Aman ini kan?"
"Insyaallah, aman lah, Ndi," ujar Adul dengan yakin, padahal jauh di dalam lubuk hatinya ia merasa tidak tenang.
Andi dan Ucok percaya saja, mereka juga tidak ingin berfikir berat mengenai apa pun. Dengan tenang mereka bertiga mencoba menikmati makanan seadaanya.
"Beberapa penduduk tadi sebenarnya ngeliat ke arah kita matanya tajem banget, katak benci banget gitu," ujar Adul dengan pelan. Ucok dan Andi tersentak kaget mendapati fakta ini.
"Tapi orang tuh nunduk aja, Dul. Gak ada ngeliatin muka?"
"Kalian gak perhatikan itu penduduk yang di ujung, selalu liat kita penuh permusuhan? Udah kayak ngajak gelot aja. Yang kalian liat kan penduduk yang di sekitar kita aja. "
Andi mengangguk, bisa jadi apa yang dikatakan oleh Adul merupakan sebuah kebenaran? Ia menatap ke arah Ucok yang termenung.
"Kenapa, Bang?"
"Masih kepikiran yang narik aku tadi, dia juga liat aku cem orang yang mau malak, garang kali. Udah kek bendahara kelas nagih uang kas."
Plak!
Adul menggeplak kepala Ucok yang bisa-bisanya bercanda di keadaan yang seperti ini. Hanya ada kekehan dari Ucok sebagai balasan dari keganasan tangan Adul.
"Aku serius, matanya itu tajam kali, aku aja liatnya agak takut tadi, aku gak tau salahnya apa, tapi yah mungkin masih dendam karena tadi."
Adul dan Andi mengangguk setuju mendengar ucapan Ucok, bisa jadi orang yang menarik Ucok tadi masih merasa dendam dengan seniornya ini.
Hingga secara tiba-tiba, suara gamelan terdengar dari kejauhan, semakin lama suara itu semakin jelas, Adul segera berdiri dari duduknya, membuat kedua rekannya berjingkat kaget.
"Ngapanya kau, Dul?"
Adul tidak menjawab, hanya saja matanya ke sana ke mari mencari sumber suara. "Kenapa, Dul?"
"Kalian denger gak? Suara gamelan? Itu loh yang kayak nari jaipongan."
Andi dan Ucok terdiam, mereka menajamkan pendengarannya, hingga sayup-sayup mereka juga bisa mendengar suara gamelan itu.
"Anjir, ya kali ada suara itu di hutan? Udah gak betul ini, Dul."
Andi terlihat panik, ia mendekati Adul dengan segera. "Yok lah, Dul. Langsung pergi aja kita, udah gak bener lagi ini."
Belum sempat Adul mengangguk untuk meninggalkan lokasi mereka, tiba-tiba, Ucok tergeletak dengan barang yang kejang-kejang gak karuan, tubuh Ucok kaku dan sedikit membiru di bibirnya.
Musik gamelan semakin lama semakin kuat, bahkan terlihat mendekat. Tubuh Ucok semakin tidak terkendali, kejang dan menggeram seperti menahan sakit.
Musik gamelan semakin lama semakin kuat, bahkan terlihat mendekat. Tubuh Ucok semakin tidak terkendali, kejang dan menggeram memanggil nama Andi dan Adul seperti menahan sakit.
"Dul, panas. Dul."
Adul terlihat panik, ia menuangkan sebagian air yang berada di dalam botol minuman miliknya, namun bukannya berhenti, Ucok malah semakin blingsatan gak karuan.
"Dul, gimana, Dul? Ini makin parah kayaknya, malah musik gamelannya juga makin Deket ke arah kita."
Musik itu kian kuat, bahkan seperti berada di antara mereka, tapi tidak ada siapapun selain mereka bertiga. Adul melihat dengan seksama, apakah ada pertanda yang memberitahu ke arah mereka tentang apa yang terjadi sebenarnya.
"Gak ada siapa-siapa, Dul. Tapi kok suaranya deket sama kita."
"Jangan dulu banyak tanya, Ndi. Masih genting gini, tapi banyak kali bacotmu."
Andi langsung terdiam begitu Adul terlihat sangat emosi. Dirinya juga ikut bergetar, hingga tak lama, ketika dia hendak menghampiri Ucok yang kejang tanpa henti, tubuhnya ditarik oleh Adul begitu kuat, bahkan sampai terhempas.
"Apa-apaan nya kau, Dul. Aku mau nolongin bang Ucok. "
"Jangan, Ndi. Suara itu makin Deket."
Andi terdiam, telinganya berdengung sakit. "Dul, sakit gak telingamu?"
"Sakit, Ndi. Cuma tahan aja dulu, kau gak denger dibalik suara gamelan itu ada suara tahlil kayak kemarin yang kita jumpai itu?"
Belum sempat Andi menjawab pertanyaan Adul, tubuhnya sudah ditarik bersembunyi oleh rekannya itu, meninggalkan Ucok yang masih kejang dan mengerang kesakitan.
"Apa-apaan nya kau? Itu bang Ucok kasian."
Adul menyuruh Andi diam, dan melihat ke arah semak-semak di sebelah Ucok yang tiba-tiba muncul banyak orang. Sontak saja Andi terkejut bukan main. Tapi mereka berdua tetap memilih bersembunyi, hingga orang-orang yang mengelilingi Ucok perlahan bertambah banyak, Andi ingin segera menghampiri Ucok, namun lagi dan lagi ditahan oleh Adul dengan keras.
"Itu bukan ranah kita, biarkan bang Ucok, ikhlaskan aja."