"Kalau semisal kita gak pulang, yah harapanku bang, setidaknya mayat kita ketemu," jawab Adul yang diangguki Ucok dan Andi. Harapan mereka sekarang hanya ini, kalaupun nanti mereka meregang nyawa di dalam hutan ini, mereka menerimanya dan ikhlas, akan tetapi mayat mereka ditemukan dan dalam kondisi utuh.
"Gimana yah, dulu Abang juga pernah sih tersesat gini, tapi gak separah ini. Terhitung kita udah lama banget dari tadi di hutan ini, tapi kenapa kayaknya waktu itu lambat."
"Iya, sih. Aku juga mikirnya gitu, kayaknya waktu itu gak bergerak. Di tambah lagi kejadian demi kejadian yang aneh, di hutan seluas ini gak mungkin ada penduduk, kecuali penduduk dunia lain." Sahut Andi sambil merapatkan jaketnya. Adul mengangguk setuju. Tidak mungkin di hutan yang luas, ada penduduk yang berkeliaran di tengah malam.
"Yang kita temui tadi, kayak bukan dari sebangsa kita, karna orangnya pindah-pindah. Di mana pun kita pergi, pasti bakal ada dia lagi, masa iya kita di ikuti?"
"Ada kemungkinan iya, sedari awal aku udah jumpa sama sosok anak kecil, dan aku rasa di juga sampai di sini ngikutin kita," ucap Adul dengan melihat ke arah semak-semak di belakang Ucok. Ia melihat sosok anak kecil itu bersembunyi di balik semak-semak. Dirinya jadi merasa seperti anak yang memilki Indra ke 6. Bisa melihat makhluk halus sedari tadi. Apalagi kehadiran anak kecil itu, seperti baru saja datang.
"Serius kau, dul? Datang lagi dia?"
"Datang, di semak-semak belakang Abang tadi larinya." Tunjuk Adul dengan tetap menatap semak-semak itu. Andi dan Ucok langsung berjengit kaget dan menghampiri Adul. Mereka juga menatap semak-semak itu dengan intens. Hingga tiba-tiba Adul berdiri dengan cepat.
"Kenapa, Dul?"
"Kayaknya gak cuma dia aja yang ada di sekitar itu bang. Ada yang lain, hawa nya juga udah gak enak."
Adul memandangi hutan daerah sekitar mereka. Matanya terfokus kepada pohon Pinus yang berada sekitar 65 meter dari mereka. Di sana seperti ada seseorang yang berdiri mengawasi mereka, akan tetapi tidak terlihat jelas.
Tiba-tiba Adul merasa matanya memanas dan tidak bisa dibuka sama sekali, ia berulang kali memejamkan matanya lalu membuka matanya, namun sama sekali tidak menghilangkan rasa panas itu.
"Ndi, Ndi. Air Ndi. Tolong, mata aku perih kali." Teriak panik Adul dengan tangan yang seakan ingin menggapai sesuatu. Ucok dan Andi dengan kompak memberikan air mereka. Menyiramkan sedikit demi sedikit ke mata Adul, namun tidak ada efek yang terjadi.
Adul terus berusaha untuk membuka matanya, namun semakin ia mencoba semakin sakit pula matanya. "ANDI, BANG. MATAKU KENAPA INI? SAKIT KALI."
Sontak saja hal ini menimbulkan kepanikan dua rekannya, mereka tidak tahu menahu mengapa mata Adul bisa merasa sakit dengan tiba-tiba. "Astagfirullah Astagfirullah Astagfirullah... Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar... Ya Allah, kenapa mataku ini? Kok panas kali."
Adul terus beristighfar, dia terus menyebut nama Allah agar terhindar dari marabahaya apa pun itu. Dengan inisiatif nya sendiri, Adul mengumandangkan adzan dengan keras.
"Allahu Akbar... Allahu Akbar.... Allahu Akbar Allahu Akbar..." Ucok dan Andi terdiam mendengarkan Adul mengumandangkan adzan ya dalam keadaan menangis, entah itu menangis karena kesakitan, ataupun menangis karena berserah diri kepada Allah mengenai apa yang terjadi pada mereka.
"Asyhadu Allaa ilaaha illa Allah....Asyhadu Allaa ilaaha illa Allah.. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah...." Suara adzan Adul bertema ke seluruh penjuru hutan, suara yang terdengar sangat syahdu dan menenangka.
"Hayya ‘alash shalaah... Hayya ‘alash shalaah...Hayya ‘alal falaah.. Hayya ‘alal falaah... Allahu Akbar Allahu Akbar.. Laa ilaaha illa Allah..." Setelah mengumandangkan adzan, Adul secara perlahan membuka kedua matanya, meski pada awalnya terasa berat dan sangat menyakitkan, Adul tetap memaksa, sampai akhirnya mata itu kembali terbuka dan menatap ke arah dua rekannya dengan penuh kelegaan.
Namun rasa lega itu tidak bertahan lama, sesaat setelah dia memberikan senyuman lega, angin kencang berhembus di sekitar mereka, di susul dengan suara tawa yang menggelegar dan memekakkan telinga.
"HAHAHAHA..... HAHAHAH..... HAHAHAH...."
Ketiganya menutup telinga dengan erat, Ucok melihat ke sana ke mari untuk mencari asal suara. Sedangkan Adul yang sadar akan kehadiran sosok itu yang sudah berada di dekat mereka. Ia langsung menarik Ucok ke sebelah nya dan juga Andi. Di mana ia berhadapan langsung dengan sosok hitam, tinggi besar, dan memilki mata merah yang tajam.
Badan Adul sedikit bergetar melihat itu, namun ia harus menyelesaikan semua ini, sebagai jalan satu-satunya menghindari gangguan yang serupa. Secara tidak langsung, gangguan inilah yang membuat mereka semakin dalam tersesat.
"Kami di sini bukan niat mengganggu, kami hanya tersesat dan tidak tau jalan pulang, jangan ganggu kami. " Teriak Adul dengan keras, sosok itu tampak semakin berang, bahkan angin semakin kuat berhembus, namun hal itu tidak lantas membuat Adul gentar, ia sudah sangat lelah terus-terusan diteror seperti ini.
"Apa salah kami? Sehingga kalian meneror kami seperti ini?"
Ucok dan Andi hanya diam melihat aduk seoalh berbicara sendiri, namun mereka meyakini, rekannya ini berbicara dengan sosok yang mengganggu mereka selama ini. Hingga tak lama, tubuh Andi terasa sangat dingin dan kaku. Ia menggigil dan juga tegang di waktu bersamaan. Bibirnya memucat dan keringat membasahi seluruh badannya. Sontak saja hal ini membuat ucok terkejut, ia dengan cepat memegang Andi sebelum sahabatnya itu jatuh ke tanah.
"Dul, udah Dul. Andi ini kenapa?" Teriak Ucok panik. Adul yang begitu sadar Andi dalam keadaan tidak baik-baik saja langsung merebahkan sahabatnya itu ke tanah rerumputan. Ia melihat ke sosok itu yang ternyata sudah menghilang.
Mendadak mata Adul melotot dan berdiri tegak. Pandangan Andi menatap Ucok dengan tajam, bahkan sudah melangkah mendekati Ucok. Adul yang sadar rekannya itu kenapa, langsung menahan langkah rekannya yang akan menghampiri ucok.
"Ndi, sadar, Ndi. Astagfirullah.. ya Allah."
Suara menggerang seperti harimau terdengar dengan jelas, mereka mencari di mana harimau tersebut, hingga pada akhirnya mereka melihat ke arah Andi yang mendesis marah sambil mengeluarkan suara layaknya suara harimau.
"Kenapa dia,Dul?" Tanya Ucok. "Udah gak dia lagi ini, Bang, bingung aku." Jawab Adul yang berusaha menghentikan Andi yang terus saja berjalan ke arah Ucok sedangkan Ucok terus mundur.
"Kenapa tidak pulang?"
Adul dan Ucok. Langsung terdiam, mendengar pertanyaan Andi yang sedang kerasukan, mengingatkan Adul bahwa dirinya sudah berulang kali mendapatkan pesan agar segera pulang dan kembali ke jalur awal mereka.
"Terlambat."
Ucok tersentak kaget, terlambat apa yang di maksudkan oleh Andi? Ucok menatap rekannya itu selalu lagi, yang berdiri dengan kepala menunduk serta kaki yang bergetar pelan.
"Dul, maksudnya apa?"
Belum sempat Adul menjawab, suara tawa itu terdengar lagi, bahkan berada sangat dekat dengan mereka, tubuh Andi kembali kejang, dan seketika putih ke tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri. Adul melihat sosok hitam itu ada kembali, dan berdiri di sebelah pohon pinus yang ada di hadapan mereka.
"Ndi, Ndi. Bangun Ndi." Ucok menggoyangkan tubuh Andi dengan cepat, berharap sahabat nya itu lekas sadar dan mereka akan segera pergi dari hutan mistis ini.
Keadaan Andi yang sangat lemah, memaksa Ucok dan Adul membopong Andi dengan susah payah, mereka harus meninggalkan dataran semak-semak yang dikelilingi oleh pohon besar berpagar bambu ini. Aduk mengawasi jalan dari belakang, sedangkan Ucok yang menggendong Andi di pundaknya. Lelah memang, tapi ini resiko mereka yang bermain dengan alam lainnya.
Beberapa kali mereka berhenti untuk beristirahat, terutama Ucok yang merasa tubuhnya sangat lelah sekali, asupan makanan yang tidak memadai, hanya biskuit kelapa, dan juga air mineral, tak mampu menguat Ucok bertenaga seperti biasanya, ia jadi menyesal memberikan tas peralatannya ke Aswad, akh. Mengingat Aswad, entah mengapa dirinya jadi rindu dengan bocah Keling satu itu. Apalagi dengan anggota lainnya. Kira-kira mereka panik atau tidak yah? Begitu menyadari tiga rekannya menghilang dan sedang berada di hutan yang memiliki alam lain seperti ini.
"Dul, kau udah kuat belum?" Tanya Ucok dengan nafas yang kembang-kempis. Adul mengangguk, ia meletakkan tas Ucok, Andi dan dirinya di sebelahnya, lalu menggantikan Ucok yang menggendong Andi dengan pelan. Setelah berganti, Ucok tetap di belakang Adul. Sedangkan Adul dengan sekuat tenaga membawa Andi yang masih setia dengan tidurnya.
"Dul, kira-kira, orang Aswad bisa nemuin kita gak yah? Atau mereka gak tau kalau kita ini hilang?"
"Insyaallah, pasti bisa nemukan mereka, toh kayaknya kita sedari tadi di sekitar hutan ini aja, gak sampe mana-mana. "
Ucok mengangguk membenarkan, sedari tadi mereka berjalan, ujung-ujungnya akan tetap menghampiri lokasi yang sudah mereka lalui, seperti sekarang, mereka bahkan sudah kembali lagi ke pinggir sungai, meskipun bukan tempatnya mereka berhenti.
"Sesusah ini buat pulang yah, Bang?"
Ucok mengangguk setuju, hingga lenguhan suara Andi, membuat mereka berhenti melangkah menyusuri pinggiran sungai. Adul mendudukkan Andi yang masih terlihat lemas.
"Udah di mana kita, bang?"
"Masih di jalan, Ndi. Cari jalan pulang."
"Kalian ajalah bang yang cari jalan pulang, biar aku di sini. Gak tahan rasanya lagi buat jalan."
Ucok dan Adul langsung panik mendengar ucapan Andi, biasanya jika seperti ini, ciri-ciri orang yang akan meninggal dunia. "Woy, Ndi. Kau belum mau ketemu Izrail kan, Ndi? Jangan lah dulu, belum lagi jadi imam mesjid kampus kau." Sahut Ucok dengan guyonan yang ia lontarkan, mencoba untuk menyamarkan rasa khawatir dan kalutnya.
"Hahahah... Belum lah, gak mau aku koid di sini, bang. Maksud aku, aku di sini aja, kalau ada jalan pulang, jemput aku."
Adul mendelik tajam. Yang benar saja, yang ada mereka malah akan berpencar dan terpisah satu sama lain, lebih ribet nanti.
"Gak lah, kau pun ada-ada aja. Tetep bareng-bareng kita."
Andi hanya terkekeh, badannya sangat lemas sekali, entah karena apa. Mungkin karena dirinya belum ada makan nasi sama sekali. "Gak ada kau lihat di hutan kayak gini pohon pisang atau apalah gitu?" Tanya Andi lirih. Adul dan Ucok kompak mendengus pelan.
"Dodol emang kau, kau lihat ini hutan gimana? Pohon Segede gajah semua, mana mungkin ada pisang. " Sungut Ucok kesal. Ia ikut duduk lesehan di samping Andi dan Adul.
"Nasib kita gini kali yah, luntang-lantung di dalam hutan penuh misteri gini? Udah kek dalam film horor aja." Lanjut Ucok.
"Lebih-lebih film horor pun ini, Bang. Masa aku jadi punya indra ke enam, tau aja di mana ada makhluk halus. "
Ucok tertawa geli, sedangkan Andi hanya terkekeh sekilas dengan lirih. Mereka tau penderitaan Adul yang bisa melihat sosok-sosok halus yang ada di hutan ini.
"Tapi kan lumayan, Dul. Kau jadi bisa berinteraksi sama bangsamu." Sahut Ucok lagi. "Enak aja muncung kau bang, kau bilang berarti aku setan, kalau gitu."
"Bukannya emang iya, dul?" Lagi lagi Ucok dan Andi tertawa pelan melihat kekesalan Adul. Bahkan mereka tidak sadar, jika ada cahaya yang masuk ke dalam hutan lebat tersebut.
"Udah siang kayaknya, itu ada cahaya masuk," ucap Andi dengan lemah. Ucok dan Adul mengikuti ke arah yang ditunjuk Andi. Dan mereka dapat melihat sinar itu.
"Astaga, udah tinggal sholat subuh ku, ya Allah." Adul lemas seketika, ia sangat menjaga sholat nya, sedangkan seharian kemarin dirinya sudah tinggal sholat magrib dan sekarang subuh. Ya Allah, tiba-tiba ia merindukan kecerewetan ummi nya ketika membangunkan dirinya untuk sholat.
"Aku rindu ummi lah we, kayaknya nyesek kali, baru aja semalam subuh aku di bangunin ummi sambil ummi yang marah-marah. Sekarang subuh aku lewat, padahal kata bapak aku, subuh jangan pernah lewat. Pasti bapak aku kecewa di sana yah we."
Andi terdiam, begitupun dengan Ucok. Mereka tau, di antara anggota, yang paling taat beribadah adalah Adul. Bahkan bisa dibilang Adul adalah ustad ya anak-anak camp.
Jika anggota lain akan membawa perlengkapan seperti baju yang banyak, maka Adul akan membawa sarung, dan sajadah. Kemana pun Adul pergi.
"Maaf yah, Dul. Secara gak langsung aku yang buat kita nyasar," sahut Andi yang melihat Adul dengan tatapan penuh rasa bersalah.
Adul segera menggeleng. Baginya ini tidak salah siapa-siapa, toh ini semua sudah jadi keputusan bersama, jadi sama sekali tidak bisa mengalahkan siapa pun.
"Bukan salah kau lah, Ndi. Ini udah jadi kesepakatan kita, siap gak siap, resikonya kita tanggung sendiri lah."
"Kalau gitu, aku juga bersalah, Ndi," ujar Ucok yang melihat ke arah kedua rekannya. "Aku yang bandel gak dengerin saran kalian, coba tadi kita balik aja ke post, pasti kita gak bakal kayak gini."
"Bang, bukan waktunya kita saling mengalahkan, yang ada sekarang kita kudu kompak, biar bisa pulang dalam keadaan utuh dan selamat, sehat wal Afiat. "
Keadaan diantara mereka hening, masing-masing memiliki rasa bersalah dan penyesalan yang tidak terkira.
"Lagian, yang namanya penyesalan selalu terlambat. Kalau duluan itu namanya pendaftaran.".