Rebutan Shampo

1173 Kata
Aku terbangun dengan sebuah suara, gemericik hujan dari balik jendela, kuambil ponsel di atas nakas dengan merabanya. Masih jam lima, kayanya di luar hujan deh. Aku duduk dan melihat cowok yang semalam tidur di sebelahku sudah tidak ada. Eh, ke mana dia? Tak lama pintu kamar mandi terbuka, aku lalu pura-pura kembali tidur. Dengan menyipitkan kedua mata, aku melihat Aksa keluar kamar mandi hanya dengan handuk yang dililit di pinggangnya. Haduh, kenapa jantung ini jadi jedak-jeduk. Mana tuh roti sobek menggoda banget. Astaga, Saski, dia lekong. Aku menelan ludah berkali-kali, terlebih saat dia mulai mengambil pakaian ganti dari dalam kopernya. Lalu dengan semena-mena melepas handuk dan melemparnya ke atas kasur. “Aaaaa.” Aku seketika berteriak sambil menutup kedua mata. “Eh, ngapain kamu teriak pagi-pagi? Bangun!” Suara Aksa membuatku menggeleng. “Tutupin dulu itunya, Mas. Mending kalo bagus.” “Oh, kamu pura-pura tidur mau ngintip ya? Nih lihat nih, nggak apa-apa kok kalo mau lihat. Sini, Mas kasih lihat.” Dingin, saat tangannya menyentuh tanganku yang masih menutupi wajah. Kami saling tarik tangan, sekilas aku tidak melihat sesuatu yang aku pikirkan, dia ternyata sudah pakai boxer. Astaga, Saski. Otak ngeres amat ini ya. Aku menunduk malu, mengulum bibir dan melihat bagian atas Aksa sudah tertutup kaos basket yang memperlihatkan lengan kekarnya. Ah, kenapa sih cowok lekong itu badannya harus atletis? Coba si Amaar kaya Aksa, dia mah kerempeng. Aksa duduk di depanku sambil menyisir rambutnya. “Mandi gih, biar seger. Abis itu kita sholat Subuh berjamaah.” “Apa? Sholat? Mas sholat?” tanyaku tak percaya. Aku kan cuma punya satu mukena, apa pakainya gantian aja kali ya. “Kenapa? Kamu nggak pernah sholat?” tanyanya menatapku dan membuatku jadi salah tingkah. Ditanya soal sholat, aku hanya menunduk. Aku sholat bisa dihitung dengan jari, setahun hanya dua kali. Idul Fitri dan Idul Adha, itu juga kalau nggak pas lagi halangan. “Eum, sholat lah. Trus imamnya siapa?” tanyaku. “Ya kamu pikir aja sendiri siapa imamnya. Sana mandi, badan kamu bau banget. Nggak bisa tidur Mas semalam,” celetuknya sambil berdiri mengambil sesuatu dari dalam kopernya lagi. Bau? Emang? Apaan nggak bisa tidur, pules begitu. Aku merentangkan tangan dan mencium ketiakku sendiri. Buset dah, kecut banget kaya cuka, tapi seger sih. Wkwkwk. Kulihat dia menggelar sajadah, mengambil sarung dan memakainya begitu juga dengan baju koko. Aku hanya menggaruk kepala yang tak gatal menyaksikan cowok di depanku seolah pria sejati. Kupikir kita bakalan saling tukar mukena. Tiba-tiba dia menoleh, dan membuatku kembali tersentak. “Buruan mandi, mau Mas mandiin? Mas wudhu dulu.” Dia melangkah ke kamar mandi, tak lama kembali dengan rambut yang basah. Aku cepat-cepat beringsut dari ranjang. Mengambil handuk lalu masuk kamar mandi seraya bergidik. Nggak bisa bayangin dimandiin cowok lekong, hiii. Baru saja aku melepas pakaian, kini aku dikejutkan oleh barisan peralatan mandi yang tak kukenal berada di pinggir wastafel. “Buset dah, itu lakik perabotan lenongnya ngalahin gue, ada lulur, shamponya wangi beut. Odolnya yang mahal ini, sabun cuci mukanya juga. Cobain ah shamponya, Mayan gue ngirit shampo.” Aku menuang shampo ke telapak tangan, wanginya benar-benar bikin segar. Kuharap hingga berbusa baru kubasuh ke kepala. “Saski! Saskiyaaa!” panggil suara dari luar kamar mandi. “Iya, baru lepas baju,” sahutku bohong. Tadi disuruh mandi, sekarang digedor-gedor. “Kamu pakai shampo Mas ya?” Apa? Kok dia tahu sih? “Enggak, enggak kok.” “Jangan bohong, Mas hapal baunya.” “Minta dikit sih, pelit amat,” sahutku kesal karena ketahuan. “Jangan, Dek!” What? Jangan? Sumpah ya tuh cowok ngakunya orang kaya, diminta shamponya dikit aja ngomel. . Aku buru-buru membilas kepala dengan air shower. Agak aneh sih emang nih shampo, nggak kaya shampo biasanya. Ini lebih licin kaya pakai oli, busanya juga nggak banyak. Duh, kenapa nih rambut nggak keset-keset ya? Apa ini conditioner? Aku mengambil botol shampo tadi, memcoba membaca komposisinya, ah nggak ngerti lagi bahasanya. Huruf China, tapi beneran wangi sih. “Dek, sebaiknya habis pakai itu kamu shampoan lagi pakai shampo kamu ya,” ucap suara dari balik pintu kamar mandi. “Emang ini apaan sih, Mas? Licin begini deh? Oli? Minyak?” “Yaaa, itu deh, ya ituan.” Suara itu terdengar gugup. “Ituan apaan?” “Udah kamu buruan mandinya, jangan lupa dibilas. Keburu Magrib ini.” What? Magrib? Ngigo tuh lekong, masih Subuh kali, dibilang magrib. Bodo ah, aku nggak mau bilas. Nanti kalau aku bilas pakai shampoku ya percuma dong, niatnya mau ngirit malah nggak jadi. Lagipula wanginya enak ini. Aku melanjutkan mandi, setelah ritual sabunan dan sikat gigi selesai. Aku baru ingat, kalau nggak bawa baju ganti. Astaga, gimana caranya aku bisa ambil baju di luar? Oh iya, dia kan nggak suka cewek. Nggak apa-apa kali ya aku keluar handukan doang? Eh tapi kalau tetiba lihat badanku yang seksi dia nafsu gimana? Diterkam lah aku. Oh tidak bisa kubayangkan miliknya yang mungkin pernah masuk ke lubang belakang, lalu masuk ke milikku yang suci ini. Astaga otak ini, otak dijaga. Aku menepuk-nepuk kepala. “Mas!” panggilku pada akhirnya. Nggak ada sahutan, apa jangan-jangan dia tidur lagi? Aku membuka pintu kamar mandi sedikit untuk mengintip keluar. Ada tuh dia lagi duduk di atas sajadah, eh udah sholat duluan? Kebetulan nih, aku keluar aja kali ya. Kan dia lagi sholat, nggak mungkin dong batalin sholat hanya mau lihat aku? Perlahan aku keluarkan satu kaki agar tidak bersuara. Huft. Mas Aksa bangkit dan masih melaksanakan sholat, aku berjalan berjingkat di belakangnya dan menuju lemari. Kuambil pakaian dalam dan cepat-cepat kupakai sebelum dia selesai. Kaos putih lengan pendek dan celana jins selutut sudah kukenakan. Lalu aku mengeringkan rambut dengan handuk sebelum memakai hairdryer. Kulihat cowok yang sudah sah jadi suamiku itu baru saja selesai sholat. Dia memandangku dari ujung rambut sampai kaki. “Sudah wudhu? Ayo sholat berjamaah.” “Bukannya Mas udah sholat duluan?” “Sholat Sunnah. Buruan, habis ini kita olah raga.” “I—iya.” . Tidak ada yang aneh dengan gelagat Mas Aksa, yang kata Papa dia nggak suka sama perempuan. Tapi, memang dia nggak minta jatah buat aku melayaninya sebagai istri sih. Ah ngapain juga dipikirin, bukannya aku harusnya bersyukur? “Ganti baju!” titah Mas Aksa tiba-tiba ketika kami hendak keluar kamar. “Kenapa?” tanyaku bingung. “Dek, kamu pernah belajar agama nggak?” “Ya pernah lah. Ngece!” “Kamu tahu batas aurat laki-laki dan perempuan?” “Iya tahu dong.” “Ya udah, kalau kamu tau, kamu tutupin aurat kamu.” Aku melongo, menatap diriku di dalam cermin. Kok dia jadi nyebelin kaya gini sih? Papa sama Mama aja nggak pernah ngatur hidupku. Aku kesal, duduk di depan meja rias menatap cermin. Mengambil pelembab wajah yang belum sempat kugunakan, lalu melapisi dengan alas bedak sebelum memoles bedak. Kemudian aku hendak memakai lipstik kesayanganku juga, tapi belum sampai bibir, lipstikku sudah berpindah tangan. “Mas, Mas mau pakai lipstikku juga?” “Jangan dipakai, nggak bagus seorang wanita muslimah berdandan berlebihan.” Aku kembali menghela napas. Takut kesaing kali ya cantiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN