BAB 3

1006 Kata
*** Sudah dua bulan yang lalu sejak Fina menutup usia. Sejak itu pula Farida selalu meminta Finka untuk pulang ke Indonesia. Warto, anaknya tak ingin berita kematian Fina sampai di telinga Finka, tapi Farida tak bisa tinggal diam. Bagaimanapun juga Fina adalah saudari kembar Finka. Tentu Finka pernah merasakan ikatan bathin karena Finka pernah sangat menyayangi dan menghargai Fina sebagai kakaknya. Finka boleh saja terlihat angkuh, tetapi hatinya rapuh. Meskipun ia membenci apa yang pernah Fina lakukan padanya, tapi Fina masih belahan jiwanya, sebagian darinya. Finka menahan diri untuk tidak menangis. Kekecewaan tampak jelas di matanya akibat baru mendapatkan kabar duka itu sekarang. Jika saja Finka tahu Fina meninggal, mungkin ia akan lebih cepat memaafkan kesalahan kembarannya itu. Finka menatap Dio dan Zira bergantian. Putri kecil kakaknya itu tampak sedih mendengar lagi kabar kematian ibunya. Finka heran kenapa Neneknya harus mengikut sertakan Zira dalam pembicaraan ini. Mata Finka kembali memperhatikan Farida. "Apa Nenek juga udah nggak anggap aku keluarga?" Finka bertanya padanya. "Bukan Sayang, Nenek nggak mau kamu terluka lagi di sana, sendirian. Nenek sengaja memberi tahumu sekarang, Finka," Nenek Farida khawatir pada Finka. Ia tak ingin melihat cucu satu-satunya itu menyesali rasa bencinya pada Fina di sana. Farida yakin hal itu akan semakin membuat Finka enggan kembali ke Indonesia. Farida takut Finka menetap di sana. Ketakutan itu juga yang menjadi alasan kenapa Warto tak ingin memberitahu Finka. "Lalu.. Di mana Papa? Jangan bilang.." "Papamu kerja, Fin!" Hilda yang menjawab pertanyaan itu dengan cepat, membuat Finka bersitatap secara langsung dengannya. Meski menyayangkan keputusan Papanya untuk menikahkan Dio dan Fina, tapi Finka tak sampai hati untuk tidak menanyakan bagaimana keadaan Warto setelah beberapa saat lalu dikejutkan dengan adanya kabar duka dari Fina. Helaan napas lega memenuhi rongga d**a Finka. Syukurlah bila Papanya baik-baik saja. "Finka.." panggilan itu mengalihkan perhatian Finka. Ia kembali menatap Neneknya. "Sebenarnya ada yang ingin Nenek sampaikan," terlihat kerutan memenuhi dahi Finka yang tak memiliki poni itu. Farida mengalihkan tatapannya pada Hilda, ia menganggukan kepala seolah mengintruksi Hilda untuk melakukan sesuatu. "Ada apa?" tanya Finka tak sabar. Lalu Hilda mendekatinya, memberikan sebuah amplop yang Finka yakini berisi secarik kertas di dalamnya. Finka juga mengenali amplop milik siapa bercorak pink itu. "Fi.. Fina?" tanyanya ragu. Namun, anggukan kepala dari mamanya menjawab segala keraguan itu. "Surat dari Fina," terang Hilda. Finka menerima surat tersebut dengan tangan gemetar. Perlahan tapi pasti amplop berisi secarik kertas itu terbuka juga. Finka membaca pesan yang tertulis di sana. Fina meminta maaf atas perbuatannya dulu. "Apa maksud Fina ini?" bola mata Finka seakan keluar usai membaca sebaris kata yang Fina tulis di dalam sana. Mata Finka menatap tajam meminta penjelasan pada semua orang. Dirinya yakin mereka tahu tentang pesan dari Fina. Farida yang paling dekat dengan Finka pun menggenggam tangannya. "Fin, almarhumah kakakmu meminta agar kamu menikah lagi dengan Dio demi Zira," ucapnya memperjelas apa yang tertulis di dalam surat Fina. Dengan tegas Finka menggelengkan kepalanya. Mana mungkin ia kembali bersama Ardio Jayadi, yang jelas-jelas telah melukainya begitu dalam. "Aku nggak mau!" ujarnya. "Siapa juga yang mau nikah lagi sama kamu!" lalu Dio pun menyahut. Sama halnya dengan Finka, Dio juga tak sudi kembali berstatus suami istri dengan sang mantan. Mendengar Dio berkata ketus seperti itu, membuat Finka menatap tajam padanya. Finka bertanya-tanya apa yang dulu membuatnya tergila-gila pada Ardio Jayadi hingga memutuskan untuk menikah dengannya? Entahlah, kini Finka hanya tahu ia memiliki alasan yang kuat untuk tidak menikah lagi dengan lelaki itu. "Pikirkan Zira," Hilda membuka mulutnya, bergantian menatap Finka dan Dio. "Sebaik-baiknya ibu tiri, hanya Finka pilihan terbaik itu. Tak hanya wajahnya yang mirip dengan Fina, darahnya pun sama," terangnya. "Benar kata mamamu, Fin. Jika memang kalian tak bisa saling mencintai lagi, maka tolong pikirkan Lazira kita. Hanya dia yang bisa mengingatkan kita akan kehadiran Fina," "Nenek tahu kamu kecewa dengan apa yang dulu pernah Fina lakukan, tapi Nenek juga tahu kamu masih sangat peduli pada kakakmu itu," Finka terdiam. Ia meresapi apa yang Mama dan Neneknya katakan. Perempuan Dua Puluh Delapan tahun itu menatap Zira yang juga sejak tadi tak lepas menatapnya. Ada rasa sakit sekaligus haru melihat Zira tumbuh dengan sangat cantik. Ia mewarisi wajah Dio juga Fina dengan sempurna. Tiba-tiba Finka teringat akan anaknya. Bagaimana rupanya bila dulu janin itu selamat? Akankah mirip dengan Dio? Rasa sakit itu menyerang Finka dengan sangat hebat. Dirinya ingin menangis ketika merasakan dilema. "Aku nggak bisa!" lalu itulah keputusan Finka. Ia tak bisa membesarkan Zira di tengah kesakitannya mengingat si buah hati yang urung lahir ke dunia akibat keegoisan Dio dan Fina.  Finka menegakan tubuhnya. Masih dengan menatap Zira yang juga tampak membalas tatapannya penuh harap. Entah apa yang balita Lima tahun itu pikirkan, tetapi keputusan Finka untuk tidak menjadi ibu sambungnya sudah final. "Aku pergi dulu! Terima kasih, Nek, atas sarapannya," Detik jarum jam mengiringi langkah kaki Finka yang sekali lagi memilih pergi, alih-alih menghadapi. Dio menatap punggung yang selalu mencoba untuk tegar itu dengan nanar. Jauh di dalam lubuk hatinya ada rasa penyesalan atas apa yang pernah menimpa Finka Lima tahun yang lalu. Kehilangan buah hati mereka juga menjadi pukulan sendiri bagi Dio, tapi rahasia dibalik pernikahan mereka juga tak kalah membuatnya terluka hingga memutuskan untuk menghancurkan Finka sampai akhir. "Mama mau ke mana, Pa?" pertanyaan Zira yang polos menyadarkan Dio dari lamunannya. Lelaki itu menatap Zira dengan sayang. "Dia kembaran Mamamu Sayang, namanya tante Finka," terang Dio berusaha membuat Zira mengerti. Namun, Zira menggeleng dengan tegas. "Mama pelnah bilang akan sembuh, Pa. Itu pasti mamanya Ziya," ucapnya keras kepala. Umurnya yang masih sangat kecil membuatnya tak bisa menyebutkan huruf R. Dio menghela napasnya dengan berat. Jujur saja, hatinya sakit melihat putrinya seperti ini meskipun dulu semasa Fina masih hidup, mereka tak pernah akur. "Papa cepat kejal mama, Pa! Jangan bialkan mama pelgi lagi," "Benar Dio, kejar Finka!" sahut Farida dengan cepat. Sejujurnya Dio menolak melakukan itu, tapi demi Zira, ia akhirnya pergi juga. Mengejar Finka yang entah pergi ke mana. . . Bersambung. Lanjut nanti ya kalau sudah tanda tangan kontrak. Jangan lupa sekali lagi aku ingatin untuk Tap LOVE untuk menambahkan cerita. Terima kasih sebelumnya :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN