Misteri Terkuak

1281 Kata
Dia (Kakek White Sphere) menarik lenganku dengan kekuatan yang mengejutkan untuk usianya. Cengkeramannya kuat, namun tidak menyakitkan, seolah-olah dia menarikku bukan dengan otot, melainkan dengan sebuah tekad yang tak tergoyahkan. "Ayo, Anak Muda," bisiknya, suaranya parau dan mendesak. "Ada yang harus kau lihat. Sesuatu yang akan menjelaskan semuanya." Dia membawaku menyusuri koridor batu yang remang-remang, yang tadinya tak kusadari keberadaannya. Udara di sini terasa dingin dan lembap, berbanding terbalik dengan hangatnya tempat berkumpul penduduk desa tadi. Setiap langkahnya terasa yakin, seperti seseorang yang telah menginjak jalur ini berkali-kali. "?!?" Aku terus bertanya-tanya siapa si kakek sebenarnya dan apa maksud dari semua perkataannya. Wajahnya yang keriput dan mata birunya yang tajam menyimpan rahasia yang lebih tua dari desa ini. Bola putih yang selalu dia pegang, yang berkilauan samar dalam kegelapan, seolah menjadi sumber kekuatan misteriusnya. Aku mencoba menanyakan sekali lagi, tapi dia hanya menoleh dengan senyum penuh teka-teki, menaruh jari telunjuknya di bibir, isyarat untuk diam. Semua wargapun merasa bingung dengan tindakan si kakek. Ketika kami pergi, aku sempat melirik ke belakang. Mereka berbisik-bisik, wajah mereka penuh tanya dan sedikit ketakutan. Mereka memandangi kepergian kami, si kakek masih merahasiakan dari semuanya, bahkan dari orang-orang yang telah menderita bersamanya. Mungkin ini adalah bagian dari rencana besar yang dia sebutkan, rencana yang begitu rahasia hingga tak seorang pun boleh tahu sampai saatnya tiba. Kami terus berjalan, menuruni beberapa anak tangga, lalu menyusuri lorong yang lebih sempit, seperti memasuki jantung gunung. Aroma obat-obatan, tanah basah, dan sesuatu yang getir mulai tercium, menusuk hidungku. Rasa penasaran bercampur dengan kegelisahan mulai menggerogoti. Sampailah aku dan kakek White Sphere di suatu tempat, bisa dikatakan sebuah kamar yang cukup besar. Pintu di depan kami terbuat dari kayu tebal, dihiasi ukiran yang sudah pudar, dan terkunci dari luar dengan gerendel besi yang berkarat. Sebelum kakek sempat menyentuh pintu itu, suatu suara mencekam menghantam telingaku. Di luar kamar terdengar suara seperti orang yang sedang meringis kesakitan. Sakitttttt....sakittttt....tolonggggg!!!! Suara-suara itu terdengar jelas di telingaku. Ada yang melolong, ada yang merintih pelan, ada pula yang berteriak meminta pertolongan dengan suara serak. Itu bukan hanya satu atau dua orang; itu adalah paduan suara penderitaan. Jantungku berdebar kencang. Ini jauh lebih buruk dari yang aku bayangkan. Penderitaan yang diceritakan penduduk desa kini menjadi nyata, hanya terhalang oleh sepotong kayu tebal. "Tempat apa ini, kek?!? Aku mendengar begitu banyak orang yang meringis kesakitan!!!" Aku bertanya kepada kakek, suaraku tercekat, berusaha keras menekan kepanikan. Aku menoleh ke kakek, menuntut jawaban, menuntut kejelasan. Kakek White Sphere berhenti sejenak, Bola Putihnya bergetar sedikit di tangannya. Dia menatapku dengan sorot mata yang aneh, seolah-olah dia terkejut atau mungkin menguji kemampuanku. "Aku tidak tahu bagaimana cara kau bisa mengetahui ada banyak orang yang kesakitan di sini!?!" Dia bertanya, nada suaranya bukan pertanyaan, melainkan pernyataan yang penuh makna tersembunyi. "Aku... aku hanya mendengarnya," jawabku cepat, tidak mengerti mengapa dia meragukannya. "Suaranya sangat jelas." Dia menghela napas panjang, seolah menerima kenyataan yang tak terhindarkan. Kemudian, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Kakek White Sphere mendekati pintu dan membukanya. CKKKKLLLEEEEKKKK!!! Gerendel besi ditarik, menghasilkan bunyi deritan yang memekakkan telinga. Kakek mendorong pintu kayu tebal itu. JREEEEEENNNNGGGG...!!!! Pintu terbuka, dan pemandangan di baliknya menyerbu indera ku, jauh lebih mengerikan daripada suara-suara yang kudengar. Aku terkejut dengan apa yang aku lihat di balik pintu kamar itu. Ruangan itu begitu penuh dengan orang yang terbaring sakit. Itu bukan kamar, melainkan sebuah bangsal darurat yang diisi melebihi kapasitasnya. Puluhan orang terbaring di atas tikar jerami, di atas tandu darurat, bahkan beberapa hanya di lantai batu yang dingin. Mereka semua lemah, pucat, dan hanya bisa merintih. Bau rumah sakit yang diselimuti oleh bau penyakit dan kematian mendominasi. Aku melangkahkan kakiku memasuki kamar tersebut. Kakiku terasa berat, seolah-olah aku berjalan menembus air. Aku tengok sekeliling ruangan, begitu menyedihkan melihat kondisi mereka semua. Mereka adalah ibu-ibu, ayah-ayah, bahkan anak-anak kecil, wajah-wajah yang seharusnya penuh kehidupan kini dipenuhi kesakitan. Yang membuatku heran adalah di tubuh semua orang yang sakit, sebagian tubuhnya berwarna ungu. Bukan lebam biasa, tapi warna ungu tua yang menyeramkan, seperti jaringan di bawah kulit telah mati atau diracuni secara perlahan. Warna itu paling jelas terlihat di tangan, kaki, dan sekitar leher mereka, membuat kontras yang mengerikan dengan kulit mereka yang pucat. Beberapa batuk parah, mengeluarkan cairan ungu-gelap. Ini adalah racun, atau semacam penyakit aneh yang disebabkan oleh perbuatan keji. Aku mencoba bertanya kepada salah satu orang yang terbaring sakit di sebelah kiri dari posisiku saat ini. Dia adalah seorang wanita tua, matanya setengah tertutup, air mata kering membekas di pipinya. "Apa yang sebenarnya terjadi?!?" Aku mencoba memegang tangan orang itu untuk memberikan sedikit kekuatan, tapi kakek meraih tanganku dengan cepat. Cengkeramannya kembali kuat dan mendesak. Kakek White Sphere menggelengkan kepalanya. Wajahnya kini terlihat lebih tua, lebih sedih. "Jangan sentuh mereka, Wing. Penyakit ini... itu bukan penyakit biasa." Dia menarik ku menjauh dari tempat tidur. Bola Putih di tangannya kini bersinar sedikit lebih terang, seolah-olah sedang menyerap atau memancarkan sesuatu, menjaga jarak aman antara diriku dan para penderita. "Kau sudah melihat apa yang sebenarnya terjadi di desa ini!!!" katanya dengan suara yang berat. "Ini bukan sekadar penindasan atau kekurangan makanan. Ini adalah genosida yang disengaja. Mereka membiarkan kami sakit, mereka meracuni kami secara perlahan dengan limbah dari instalasi kekuasaan mereka. Mereka ingin kami musnah, perlahan-lahan dan tanpa perlawanan." Kakek tidak memberiku kesempatan untuk bertanya lebih lanjut. Dia mendorongku dengan lembut keluar dari kamar yang penuh penderitaan itu. Kakek mengajakku meninggalkan kamar tersebut dan kembali ke tempat berkumpul penduduk desa. Pintu itu ditutup dengan derita yang sama menyedihkannya, mengunci kembali jeritan dan penderitaan di dalamnya. Aku berjalan keluar dalam keheningan yang syok. Pemandangan itu telah mengukir dirinya sendiri dalam ingatanku. Itu adalah bukti nyata, sebuah bukti tak terbantahkan tentang kejahatan yang telah dilakukan. Sesampainya di tempat berkumpul para penduduk desa, suasana terasa berbeda. Udara menjadi tegang, dan mata semua orang tertuju pada kami. Kakek White Sphere berjalan ke tengah ruangan, Bola Putihnya diletakkan di atas sebuah meja kayu tua. Kakek White Sphere menceritakan kejadian yang sebenarnya kepadaku, tetapi dengan volume yang cukup keras sehingga semua penduduk desa bisa mendengarnya lagi. Dia tidak bertele-tele. Dia menjelaskan tentang kamar rahasia itu, tentang pasien-pasien yang diracuni, dan bagaimana penyakit ungu itu berasal dari polusi yang dilepaskan secara sengaja oleh para penguasa tirani. "Bukan hanya makanan yang mereka curi," kata kakek, suaranya menggelegar. "Bukan hanya harta benda yang mereka ambil. Mereka mengambil kesehatan kita, mereka meracuni darah kita, mereka mencoba mengambil kehidupan kita secara diam-diam!" Semua penduduk desa hanya tertunduk lesu mengingat penderitaan yang mereka rasakan selama hampir 4 tahun. Mereka tahu kebenarannya, tetapi mendengarnya dikonfirmasi lagi, terutama setelah mengetahui ada yang masih bisa diselamatkan di kamar rahasia itu, membuat kesedihan mereka semakin dalam. Suara isak tangis yang tertahan mulai terdengar. Setiap keluarga telah kehilangan seseorang—ayah, ibu, anak, yang meninggal dengan tubuh keunguan. "Sudah banyak korban berjatuhan akibat ulah manusia yang menyalah gunakan kekuasaannya," kakek menyimpulkan, suaranya kini dipenuhi kesedihan yang mendalam. "Mereka yang berkuasa di Kota Utama kekaisaran telah melupakan kemanusiaan mereka. Mereka melihat kita sebagai sampah yang harus dibuang, sebagai tanah yang harus diserap kekayaannya." Mendengar semua itu, melihat kengerian di kamar tadi, dan menyadari bahwa penderitaan ini disengaja—itu sudah terlalu jauh. Itu adalah pengkhianatan terhadap kehidupan. Amarah yang selama ini ku pendam, amarah atas ketidakadilan yang kulihat, kini meledak. "Ini sudah tak bisa dibiarkan lagi!!!" Aku berdiri dari dudukku, bangkit dengan kekuatan baru yang terasa asing. Aku merasa seolah-olah api membakar di dalam diriku. "Aku tak akan memaafkan mereka!!!" Amarah terpancar dari mataku. Aku mengepalkan tangan, buku jariku memutih. Aku ingin berlari sekarang, mencari markas para penguasa itu, dan menghancurkan semua yang telah mereka lakukan. "Tenangkan dirimu, Wing!!!" Seru kakek White Sphere dengan suara tegas yang memaksa perhatianku. Dia berdiri, matanya yang tajam menatap lurus ke mataku, menembus emosiku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN