Fajar telah tiba sepenuhnya, dan sorak-sorai,
"FOR VICTORYYYYYYYYY!!!!"
masih menggema di udara saat kami bersiap untuk bergerak. Demian, dengan Mata Surgawi yang telah meyakinkannya, berdiri tegak di gerbang desa, mengenakan baju zirah kulit seadanya. Dia memanggul tanggung jawab yang terasa jauh lebih berat daripada usianya.
"Berjuanglah!!!"
seru Demian, suaranya lantang dan penuh semangat seperti biasanya, melepaskan gelombang energi positif kepada kami.
"Jangan cemaskan yang ada di sini, karena ada aku yang akan menjaganya!!!"
Kami semua menoleh kepadanya, memberi penghormatan terakhir sebelum menghadapi neraka.
"Kami mengandalkan mu!!!"
Jawab Kakek White Sphere, suaranya dipenuhi kepercayaan yang tulus.
Gotch, yang berdiri di samping Kakek, mengangguk kecil, pandangan matanya kini mengandung rasa hormat yang baru terhadap anak dan juga diriku.
Kamipun berangkat menuju markas musuh.
Kami bergerak dalam formasi sunyi, melintasi padang rumput yang mulai kering dan tandus. Setiap langkah dipenuhi dengan kewaspadaan. Di tangan kananku, Mata Surgawi berdenyut pelan, membimbing kami menyusuri jalur tikus yang hanya diketahui oleh Kakek.
Kami berusaha mengendap-endap ke markas musuh dan menyerang beberapa prajurit musuh yang sedang berpatroli di sekeliling markas. Ini adalah taktik awal yang krusial. Kami harus mengurangi jumlah musuh mengingat jumlah kami yang tak sebanding dengan musuh. Keberhasilan kudeta ini bergantung pada kejutan dan efisiensi.
Kami menyerang sebagian musuh dengan menggunakan senjata jarak jauh—busur panah yang ujungnya diolesi getah pelumpuh dan ketapel yang melontarkan batu tajam. Serangan itu harus cepat dan senyap. Aku menggunakan kemampuan teleportasi ku yang diperkuat oleh Mata Surgawi untuk menyingkirkan beberapa penjaga yang posisinya sulit dijangkau, memastikan tidak ada alarm yang dibunyikan.
Namun, semakin dekat kami ke markas, semakin jelas tantangan yang kami hadapi.
Udara di sekitar markas musuh begitu sesak karena dicemari racun milik Rohha. Bau busuk yang samar-samar tadi kini berubah menjadi aroma kimiawi yang menyesakkan, menyerang paru-paru. Beberapa anggota pasukan penyerang mulai batuk-batuk, wajah mereka menunjukkan ketidaknyamanan yang akut.
Kakek White Sphere, yang sudah terbiasa dengan kondisi ini selama empat tahun, bertindak cepat.
"Cepat! Tutup hidung dan mulut kalian!" Kakek White Sphere memerintahkan kami untuk segera menutupi mulut dan hidung kami dengan sesuatu. Semua orang segera menggunakan kain lap, syal, atau sisa pakaian yang mereka bawa. Aku, dengan Mata Surgawi, merasakan racun itu mencoba menembus pertahananku, tetapi energi murni dari Bola Putih memberiku perisai internal yang membuatku tetap waspada.
Di depan mata kami sudah terlihat markas musuh, sebuah bangunan batu gelap yang tampak angkuh dan dingin, dikelilingi oleh pagar tinggi. Dan begitu banyak prajurit yang berjaga di depan gerbang, setidaknya ada tiga puluh orang di sana, dengan baju besi yang berkilauan.
Ini adalah momen kunci, titik nol di mana operasi penyusupan harus berubah menjadi serangan frontal.
Kakek White Sphere berdiri, di balik semak-semak, dan mengetuk tongkatnya ke tanah.
"Seal of Illusion"
Sebuah cahaya segel dengan pola rumit berwarna biru pucat muncul di sekitar kakek White Sphere. Cahaya itu memancar dan menyebar, bergerak seperti kabut tipis, mengarah ke penjaga gerbang.
Saat cahaya segel miliknya sampai ke penjaga, Kakek bergumam,
"Hipnotis."
Aku melihat pancaran mata para penjaga gerbang menjadi kosong. Gerakan mereka melambat, seperti boneka yang tali kendalinya ditarik menjauh. Mereka sudah berada dalam pengaruh ilusi kakek White Sphere. Kemampuan ilusi kakek benar-benar luar biasa, sebuah trik lama yang sangat efektif.
"Kalian para penjaga gerbang tak pernah melihat kami!!! Segera buka pintu gerbangnya,"
kata kakek White Sphere kepada penjaga.
Para penjaga, kini di bawah kendali penuh, mematuhi tanpa ragu. Penjaga pun membuka pintu gerbangnya.
Dan...
JREEEENNNGGGGG!!!
Begitu gerbang terbuka, kejutan yang kami harapkan menghilang dalam sekejap. Di balik gerbang, alih-alih kekosongan, Musuh sudah bersiap dalam posisi bertempur. Ratusan prajurit, mengenakan baju besi lengkap dan memegang senjata, berbaris dalam formasi tempur yang sempurna. Mereka menunggu. Mereka tahu kami akan datang.
Di garis paling depan, berdiri seorang pria tinggi dan kurus dengan aura hitam pekat yang mengelilinginya. Kulitnya tampak sedikit keunguan, dan matanya menyala dengan kegilaan yang dingin. Dialah Kapten Rohha Sinoda.
"Welcome to the hell, everybody!!! Hahahahaha!!!"
Ucapnya, tawa seraknya bergema di halaman markas, tawa yang penuh penghinaan dan keyakinan.
Kakek White Sphere melangkah maju dengan tenang, tongkatnya siap di tangan.
"Kau tahu kami akan datang, Kapten Rohha!!!"
kata kakek White Sphere, wajahnya keras, ilusi yang gagal tidak membuatnya panik.
Kapten Rohha menyilangkan tangannya, aura racun di sekelilingnya semakin pekat.
"Racun yang menyebar di daerah ini adalah tubuhku, jadi aku akan mengetahui siapapun yang masuk ke daerah kekuasaanku!!!"
Jawab Kapten Rohha, bangga dengan kekuatan mengerikannya.
"Setiap napas yang kalian hirup adalah peringatan bagiku, Kakek Tua. Aku sudah menunggumu."
Kakek White Sphere mengangkat tongkatnya.
"Tapi kekuasaanmu akan berakhir hari ini!!!"
Ancam kakek White Sphere, nada suaranya tegas, menantang racun dan kegilaan Rohha.
Kapten Rohha tertawa keras, tawa mengejek yang membuat racun di udara terasa semakin mencekik.
"Hyuuuuu... badanku menggigil saking takutnya!!! Jangan bercanda... hahahahahahahaha!!!"
Kapten Rohha meledek. Penghinaan itu terasa seperti tamparan di wajah para pejuang desa.
Aku telah melihat terlalu banyak penderitaan semalam untuk menoleransi ejekan ini. Aku telah melihat tubuh-tubuh yang diracuni, dan mendengar rintihan mereka. Amarah yang kubawa dari kamar itu kini mendidih. Aku tidak bisa membiarkan Kakek bernegosiasi lagi. Waktu adalah racun.
"Hey... kau kepulan kentut!!!"
Aku bergerak. Dalam sekejap, aku pindah ke depan kakek White Sphere. Kecepatan transfer ku membuat udara di sekitarku berputar. Mata Surgawi berdenyut, memberiku fokus penuh pada Rohha.
Kapten Rohha terkejut dengan kecepatan itu. Matanya menyipit.
"Siapa bocah yang lancang bicara seperti itu kepadaku!!! Grrrrrrrr..."
Kapten Rohha marah, racun di sekelilingnya berputar-putar seperti asap ungu.
"Aku!!!"
Jawabku singkat, melipat tangan di d**a.
"Apa kau sadar kau bicara dengan siapa? bocah sialan?!?"
Kapten Rohha semakin marah. Kepalanya miring, seolah-olah dia sedang mempertimbangkan bagaimana cara terbaik untuk membunuhku dengan rasa sakit yang maksimal.
"Aku bicara dengan orang yang dipenuhi kepulan kentut bau busuk,"
Aku tersenyum untuk meledek dia, senyum yang dingin dan menantang. Aku sengaja memprovokasinya, menarik perhatiannya sepenuhnya daripada Kakek dan pasukan.
Ejekan itu sudah cukup. Wajah Rohha Sinoda memerah, atau lebih tepatnya, menghitam.
"BUNUH BOCAH SIALAN ITU!!!"
Kapten Rohha memerintahkan prajuritnya maju.
Ratusan prajurit bergerak serentak, pedang, tombak, dan kapak mereka terangkat. Udara bergetar oleh suara sepatu bot mereka.
Aku tahu waktu 30 menit kami sangat terbatas. Kami tidak bisa membuangnya untuk bertarung di tengah racun ini.
Aku mengayunkan tanganku ke samping, bukan dalam gerakan menyerang, melainkan gerakan melingkar yang terkonsentrasi. Aku mengarahkan energi yang diberikan Mata Surgawi.
Wuuuussshhhhh!!!!
Angin kencang dan murni mengelilingi semua pasukan penyerang desa dengan lingkaran angin yang rapat. Angin itu berputar cepat, menciptakan zona aman di sekitar mereka, sebuah gelembung udara bersih yang bertekanan tinggi.
"Karena aku sedang kesal!!! Biarkan aku yang menghajar mereka!!!"
Kataku kepada para pasukan penyerang, yang kini aman di dalam lingkaran angin.
Aku mengeluarkan pedangku, pedang baja sederhana yang diasah oleh pandai besi desa.
Hiyaaattttttt!!!!
Prajurit musuh sudah mendekatiku, tombak mereka mengarah ke jantungku.
Aku menarik pedangku.
SYUUUUUTTTTT...
Aku melompat ke udara, membiarkan serangan pertama mereka meleset. Pedangku bersinar biru muda, memantulkan energi angin yang ku panggil.
"Tarian Angin"
Aku mengayunkan pedangku dengan cepat, melakukan serangkaian tebasan berulang-ulang dengan kecepatan luar biasa. Pedang itu menjadi pusaran angin dan baja murni. Semua prajurit yang ada di depanku terangkat ke atas semuanya, terlempar ke langit karena kekuatan pusaran angin yang dihasilkan pedangku. Mereka menjerit, kaget karena tiba-tiba melayang di tengah udara beracun.
Aku tidak berhenti di sana. Aku memanfaatkan momentum dan posisi mereka.
"Tebasan Seribu Bintang"
Aku mendarat, lalu dengan kecepatan tak terlihat, aku melepaskan gelombang energi pedang dalam bentuk ribuan tebasan tipis yang bersilangan. Tebasan itu menargetkan titik-titik vital prajurit yang masih melayang.
Craaaassssshhhhhhhhhhhh!!!
Jeritan mereka terhenti. Semua prajurit musuh yang terangkat ke atas, mengeluarkan darah akibat dari tebasanku. Darah berceceran di udara, bercampur dengan kabut racun Rohha. Satu per satu dari mereka berjatuhan ke tanah, senjata mereka berdentangan, debu dan lumpur menghantam mereka.
Medan perang hening. Pertempuran massal telah berubah menjadi pembantaian satu sisi dalam waktu kurang dari sepuluh detik.
"Anak itu sangat kuat!!!"
Kata Gotch yang ada di dalam lingkaran angin, matanya melotot kagum dan takut. Pria yang tadi dia coba pukul kini telah menunjukkan kekuatan yang menghancurkan.
"Aku tahu itu,"
Jawab kakek White Sphere dengan senyuman. Kakek tahu kekuatan Mata Surgawi, tetapi ia juga takjub melihat betapa cepat dan murni aku mampu menguasai dan menggunakannya.
Aku berbalik, pedangku meneteskan darah ungu-hitam dari racun Rohha. Aku menunjuk pedangku lurus ke wajah Rohha Sinoda, yang kini tidak lagi tersenyum. Wajahnya dipenuhi kebencian dan kejutan yang mendalam.
"Sekarang giliranmu, kepulan kentut!!!"
Aku acungkan pedangku kearahnya.
Waktu telah dimulai. Aku baru saja menghabiskan kurang dari tiga menit. Sisa waktu dua puluh tujuh menit lagi untuk mengakhiri tirani ini dengan mengalahkan Rohha Sinoda.