Langit di atas Desa Pasundan berubah menjadi lautan awan kelabu yang bergolak, seolah-olah alam sendiri sedang mempersiapkan panggung untuk sebuah drama besar. Angin menderu, membawa aroma hujan dan ketegangan yang mencekam.
Di dalam rumah sederhana di tepi desa, Wing Glory, kini berusia delapan belas tahun, duduk di dekat jendela, memandang langit yang semakin gelap. Hatinya gelisah, seolah merasakan bayang-bayang takdir yang mendekat.
Di depannya, Kakek Dharma Perkasa, yang dikenal sebagai (Sang Penjelajah Waktu), baru saja mengakhiri penglihatan yang ia tunjukkan melalui 'Rune of the Time'. Gambar-gambar masa lalu—kepahlawanan Scout, pengorbanan Raja Vince, dan terombang-ambingnya Wing di tengah lautan—perlahan memudar dari pikiran Wing, meninggalkan jejak kebenaran yang mengguncang.
“Jadi itukah kebenaran yang ingin kau tunjukkan, Kek?” tanya Wing, suaranya penuh keraguan namun juga rasa ingin tahu yang membara.
Matanya mengarah ke langit yang kini diselimuti awan hitam, seolah menunggu sesuatu. “Mungkin akan hujan,” pikirnya, mencoba mengusir firasat buruk yang merayap di hatinya.
Dharma, dengan pipa rokok di tangannya, menghembuskan asap yang mengepul pekat, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang khas.
“Kau saat ini berusia 18 tahun, sudah saatnya kau mengetahui kebenaran yang terjadi. Kau juga akan mengetahui takdir yang telah menunggumu, Wing!” jawabnya, suaranya dalam dan penuh wibawa. Ia menghisap rokoknya lagi, lalu menghembuskan asap yang berputar-putar di udara.
Wing, dengan gerakan tangan yang halus, menarik asap itu keluar melalui jendela, menjaga udara di ruangan tetap bersih. Kemampuan kecil ini, meski tampak sederhana, adalah tanda dari 'Rune Power Angin' yang bersemayam di dalam dirinya.
Nenek Angela, dengan langkah pelan namun penuh makna, masuk ke ruangan membawa tiga gelas teh hangat.
“Takdir seseorang sudah ditentukan saat dia terlahir ke dunia ini, Nak!” katanya, menyerahkan gelas teh kepada Wing dan Dharma.
Mereka bertiga duduk bersama, mencoba mencairkan suasana dengan candaan ringan. Wing meraih gelasnya, menyeruput teh hangat yang menenangkan tenggorokannya, namun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Ia menatap kakek dan neneknya, lalu melontarkan apa yang mengganjal di hatinya.
“Kenapa aku disebut yang akan membawa perubahan terhadap dunia? Memangnya apa yang bisa diandalkan dari bocah seperti aku?” tanyanya, nadanya menyentak, penuh keraguan pada dirinya sendiri. Ia meletakkan gelasnya dengan sedikit keras di meja, menunjukkan kegelisahannya.
Dharma mematikan rokoknya di asbak, menatap Wing dengan mata penuh keyakinan.
“Kau tidak akan pernah tahu jawabannya sebelum kau mencobanya,” katanya, suaranya tenang namun tegas.
“Jika kau ingin mengetahui jawabannya, ikutlah dengan nenek, Wing!” lanjut Angela, berdiri dari kursinya dengan gerakan yang penuh tujuan. Wing mengerutkan kening, kebingungan. Ia melirik ke arah Dharma, mencari petunjuk, namun kakeknya hanya mengangguk, memberi isyarat agar ia mengikuti Angela. “Kemana, Nek?” tanya Wing, suaranya penuh keheranan.
Angela menatap ke arah laut, matanya yang terpejam seolah melihat sesuatu yang tak terlihat oleh orang lain. “Sebentar lagi angin tornado akan mengarah ke desa kita,” katanya, suaranya dingin namun penuh kepastian. Mereka berjalan menuju pesisir pantai, angin mulai menderu, membawa butir-butir hujan yang dingin. Ombak di laut mengamuk, seolah alam sedang marah. Wing merasakan bulu kuduknya merinding, jantungnya berdegup kencang.
“Memangnya apa yang harus aku lakukan, Nek?” tanyanya, suaranya mulai bergetar karena cemas. Ia menelan ludah, merapikan rambutnya yang basah dan menghalangi pandangannya.
Angela berbalik ke arah Dharma, yang ternyata telah mengikuti mereka tanpa sepengetahuan Wing.
“Sayang, panggil lah seluruh warga desa dan berkumpulah di pesisir pantai!” pintanya.
Dharma mengangguk, segera berlari kembali ke desa untuk memanggil warga. Wing menoleh, terkejut melihat kakeknya di belakangnya.
“Keren, Kek, aku kira kau tidur di rumah,” gumamnya, mencoba meringankan suasana, namun hatinya semakin gelisah.
Di pesisir pantai, angin kini bertiup dengan kekuatan yang menakutkan, disertai petir yang menyambar di kejauhan. Suara gemuruh petir mengguncang bumi, membuat gendang telinga Wing terasa nyeri. Ombak setinggi dinding rumah menghantam pantai, menyapu pasir dan bebatuan. “Kenapa kita tak mengungsi ke tempat yang aman saja, Nek?!” tanya Wing, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin. Matanya perih karena air hujan, tubuhnya menggigil kedinginan, dan ia bersin berkali-kali, menambah kepanikannya.
Angela berdiri tegak, tak tergoyahkan oleh badai yang mengamuk.
“Tak ada tempat untuk sembunyi maupun lari, kita harus menghadapi kenyataan yang ada. Kau tak bisa merubah takdir yang datang kepada kita!” katanya, suaranya penuh keyakinan.
Wing tahu, prediksi Angela selalu benar. Jika neneknya berkata akan ada tornado, maka tornado itu pasti akan datang. Ketakutan menjalar di dadanya, namun ia berusaha menenangkan diri.
“Aku harus melakukan sesuatu,” pikirnya, meskipun ia belum tahu apa.
Angela menyerahkan sebuah katana kepadanya.
“Pakailah pedang ini, Nenek membuatkannya khusus untukmu. Hancurkan tornado itu dengan 'Rune Power' milikmu,” katanya, suaranya penuh harap.
Wing memandang katana itu dengan bingung, lalu menatap neneknya dengan ekspresi kesal.
“Apa maksud semua ini, Nek?” tanyanya, suaranya nyaris terpecah oleh kepanikan. “Pedang ini kosong!”
Angela tersenyum tipis, seolah tahu apa yang akan terjadi.
“Pedang itu memang sengaja Nenek buat kosong…”
Belum selesai ia berbicara, Wing memotongnya dengan nada frustrasi. “Lalu kenapa benda tak berguna ini diberikan padaku? Banyak nyawa yang bergantung padaku saat ini!” Suaranya gemetar, tangannya menunjuk gagang pedang kosong itu.
Ia menoleh ke depan, dan jantungnya hampir berhenti—tornado raksasa kini terlihat di kejauhan, mendekat dengan kecepatan mengerikan.
“Gyaaaaaaahhhhh…!” teriaknya, melompat kaget. Suara gemuruh tornado itu mengguncang bumi, menyakitkan telinga, dan membuatnya semakin panik.
Di belakangnya, warga desa mulai berdatangan, dipanggil oleh Dharma. Mereka berkumpul di pesisir pantai, wajah mereka penuh kebingungan dan ketakutan.
“Wooooooowwwww… apakah itu tornado? Kenapa kita tidak mengungsi ke tempat yang lebih aman, bukannya malah menghampiri bahaya?!” teriak salah seorang warga, suara mereka riuh di tengah badai.
Dharma melangkah maju, berdiri di antara warga dengan wibawa sebagai kepala desa.
“Kita sudah tak bisa mengelak dari takdir ini. Percayalah kepada Wing, dialah yang akan menyelamatkan nyawa kita!” serunya, suaranya penuh keyakinan meski angin hampir menenggelamkan kata-katanya.
Warga saling pandang, lalu berteriak serentak, “Kami percaya padamu, Wing! Berjuanglah!” Sorak mereka seolah menjadi beban tambahan di pundak Wing, namun juga menyalakan percikan harapan di hatinya.
Angela mendekati Wing, matanya yang terpejam seolah menembus jiwa pemuda itu. “Dengarkanlah harapan mereka, Nak! Takdir kita sekarang ditentukan olehmu. Pikirkanlah, jika kau gagal, maka banyak nyawa akan berjatuhan. Mereka sangat menyayangimu, kau sejak kecil selalu spesial di mata kami. Jangan mengecewakan kepercayaan kami semua kepadamu!” katanya, suaranya penuh semangat namun juga tegas. Ia lalu melangkah mundur, berdiri di samping Dharma, memberikan ruang bagi Wing untuk menghadapi takdirnya.
Wing menoleh sekilas ke arah kakek dan neneknya, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia lalu memandang tornado yang kini semakin dekat, pusarannya seperti monster raksasa yang siap melahap desa.
“Aku harus mencoba,” pikirnya, meski hatinya masih dipenuhi keraguan. Ia memegang gagang pedang kosong itu erat-erat, tangannya gemetar.
“Pedang itu tidak akan kosong jika kau menyalurkan 'Rune Power' milikmu ke dalam pedang itu,” saran Angela, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh angin.
Wing menutup mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. Ia mengingat penglihatan yang ditunjukkan Dharma— Scout yang mengorbankan dirinya, Raja Vince yang bertarung hingga titik darah penghabisan, dan cahaya hijau yang memasuki tubuhnya saat ia masih bayi.
“Aku adalah Wing Glory,” bisiknya pada dirinya sendiri,
“dan aku tidak akan mengecewakan mereka.” Dengan tekad yang mulai membara, ia menyalurkan 'Rune Power Angin' ke dalam gagang pedang. Tiba-tiba, cahaya hijau zamrud menyala terang, dan bilah pedang yang sebelumnya kosong kini terbentuk, memancarkan energi angin yang berputar-putar dengan dahsyat. Angin di sekitarnya menderu lebih kencang, seolah menari mengikuti kehendaknya.
Namun, kekuatan itu terlalu besar. Pedang itu bergetar hebat di tangannya, hampir lepas dari genggamannya.
“Aku tak bisa mengendalikannya!” teriak Wing dalam hati, panik.
Angela, seolah mendengar kegelisahannya, berteriak, “Kau tak perlu memikirkan sesuatu, cukup yakin akan kemampuanmu! Dan ingat orang-orang yang berada di belakangmu!” Suaranya nyaris hilang di tengah badai, namun kata-kata itu menggema di hati Wing.
Ia menatap tornado dengan tajam, matanya menyala dengan tekad yang baru.
“Aku bisa melakukan ini,” bisiknya. Dengan gerakan mantap, ia menarik pedang itu dari sarungnya, dan seketika, angin di sekitarnya berputar lebih kencang, membentuk pusaran kecil di sekelilingnya.
“Tarian Angin!” teriaknya, melompat tinggi ke udara. Tubuhnya berputar dengan kecepatan luar biasa, seperti elang yang menari di tengah badai. Angin dari pedangnya bergabung dengan putarannya, membentuk tornado hijau zamrud yang semakin membesar, memancarkan cahaya yang menyilaukan.
Warga di belakangnya terpaku, mulut mereka ternganga menyaksikan pemandangan itu. Tornado yang diciptakan Wing berputar dengan kecepatan yang menakutkan, menyaingi monster alam yang kini hanya beberapa ratus meter dari pantai. Wing terus mempercepat putarannya, rambutnya berkibar liar, pakaiannya robek-robek oleh angin.
“Ini saatnya!” pikirnya. Dengan raungan penuh tekad, ia mengarahkan pedangnya ke arah tornado musuh. “Dancing Tornado!” teriaknya, menghempaskan tornado hijau miliknya ke arah pusaran gelap yang mendekat.
WUNGGGGGGHHH…!
Kedua tornado bertabrakan di tengah laut, menciptakan ledakan dahsyat yang mengguncang bumi.
DUUUUUUUUMMMMMM!
Suara benturan itu memekakkan telinga, membuat warga menutup telinga mereka dengan panik. Air laut terlempar ke udara, ikan-ikan dan puing-puing tersapu angin, berhamburan seperti hujan aneh di tengah badai. Cahaya hijau dari tornado Wing bertabrakan dengan kegelapan tornado alam, menciptakan pusaran energi yang menyilaukan. Wing mendarat kembali di pasir, napasnya tersengal, tangannya masih memegang pedang yang bergetar. Ia berdoa dalam hati, “Semoga ini berhasil…”
Tiba-tiba, tornado gelap itu mulai melemah, pusarannya terpecah-pecah oleh kekuatan tornado hijau Wing. Dalam beberapa detik yang terasa seperti kekekalan, tornado itu lenyap, meninggalkan laut yang kini tenang dan langit yang perlahan terbuka.
Hujan mulai reda, dan secercah cahaya matahari menembus awan, membentuk pelangi indah di tempat benturan tadi. Wing berdiri terpaku, pedangnya masih bersinar samar.
“Apa benar… aku yang melakukan ini?” gumamnya, jantungnya masih berdegup kencang. Ia memandang laut lepas, tak percaya bahwa ia telah menghentikan bencana yang mengancam desanya.
Warga di belakangnya meledak dalam sorak sorai, berlari mendekati Wing dengan wajah penuh kekaguman.
“Wing! Kau berhasil!” teriak mereka, beberapa di antaranya menangis haru.
Dharma dan Angela berpelukan, wajah mereka dipenuhi kebanggaan.
“Kau luar biasa, Nak,” kata Angela, suaranya penuh kehangatan.
Dharma menepuk pundak Wing, tersenyum lebar. “Keren, Nak. Keren.”
Wing memandang pelangi di kejauhan, hatinya dipenuhi campuran rasa takjub dan tekad baru.
“Aku sadar, bahwa kekuatan bukan hanya dari dalam diriku, kekuatan bisa aku peroleh dari orang yang percaya kepadaku dan menyayangiku…” pikirnya.
Ia menoleh ke warga desa, yang kini memandangnya sebagai pahlawan. “Semua orang berhak meraih kebahagiaan, dan tak ada yang berhak merenggut kebahagiaan itu darinya,” gumamnya. Dengan tekad yang bulat, ia memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya, dan cahaya hijau dari 'Rune Power Angin' perlahan memudar.
“Aku sudah memutuskan… aku akan memenuhi takdirku!” katanya dalam hati, matanya menyala dengan semangat yang tak tergoyahkan. Ia tahu, ini hanyalah awal. Di kejauhan, bayang-bayang kerajaan Mirror Heart yang telah jatuh ke tangan Sir Alex Mercury menantinya. Wing Glory, pangeran yang ditakdirkan, kini berdiri di ambang perjalanan epiknya, siap untuk merebut kembali warisan ayahnya dan membawa perubahan bagi dunia.
— Epilog —
Malam itu, Desa Pasundan merayakan kemenangan Wing dengan pesta sederhana di tepi pantai. Api unggun menyala terang, menerangi wajah-wajah penuh harap.
Wing duduk di samping Angela dan Dharma, mendengarkan cerita-cerita tentang masa lalu dan petunjuk tentang masa depan.
Di dalam dadanya, ia merasakan getaran 'Rune Power Angin' yang kini sepenuhnya menyatu dengannya, dan di lehernya, kalung keluarga Glory bersinar samar, seolah mengingatkannya pada tugas yang menanti.
Di bawah langit yang kini cerah, Wing menatap bintang-bintang, berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi pahlawan yang layak bagi Scout, Raja Vince, dan rakyat Mirror Heart.
Takdir telah memanggilnya, dan dengan pedang angin di tangannya, ia siap menjawab panggilan itu.