MAIN STORY

2463 Kata
ALENA tersenyum simpul menatapi Darius yang masih terlelap di ranjang mereka dari jendela. Ya, tidak ada lagi kata ‘pisah ranjang’ bagi keduanya. Tidak untuk acara menginap atau seterusnya. Mungkin, selama ini mereka memang memiliki kesempatan, hanya saja terlalu gengsi untuk saling menyerah. Langit Bali semakin terang, tapi Alena tidak berniat masuk dan mengenakan pakaian. Tubuhnya hanya memakai celana pendek Darius dan dibalut selimut, duduk di balkon hotel tanpa takut dipergoki siapa pun. Ya, siapa juga yang bisa memergokinya. Secangkir teh hangat menemani paginya di kota Denpasar. Mungkin setelah agak siangan, dia akan mampir ke salon atau spa untuk relaksasi tubuhnya yang pegal-pegal karena semalaman dikuasai suaminya. “Nghh, Alena.” Samar-samar Alena mendengar sebuah erangan dari dalam. Wanita itu cuek, tidak menuruti kode Darius yang memintanya untuk datang. Siapa suruh pria itu hanya membiarkannya tidur kurang dari 3 jam? “Alena,” panggil lagi Darius, suaranya serak. Hanya dehaman sebagai sahutan Alena. Sibuk menikmati teh dengan pucuk camelia sinensis sengaja dibiarkan mengapung untuk memperkuat aroma. Suasana tepi pantai, suara deburan ombak, dan secangkir teh, perpaduan yang sempurna dan tidak bisa didapatkannya selama rutinitas di Jakarta. “Sedang apa kau di luar dengan penampilan begitu?” Darius menghampirinya dan ucapannya bernada tak suka. Wajahnya ditekuk, tapi berbanding terbalik dengan aksinya. Pria itu menarik Alena dan membiarkannya duduk di pangkuannya. Tangan berototnya memeluk pinggang Alena sementara dagunya mampir di bahu sang istri. “Apa kau tak malu kalau ada yang melihatmu?” bisik Darius tepat di telinga Alena, membuat wanita itu kegelian. Dia melirik ke dalam selimut. “Gak usah ngada-ngada deh, Darius. Ini lantai sembilan, siapa juga yang bisa ngeliat aku?” Alena memutar bola matanya. Tidak lagi dia nikmati secangkir tehnya karena dengan posisi yang diberikan Darius ini, selimutnya bisa turun dari menutupi bahunya yang terekspos. Atau mungkin bertambah ke bagian yang lain. “Tetangga mungkin.” Darius terkekeh kecil. Garis wajahnya yang tegas tampak santai dengan senyuman terbit di bibirnya. “Tuh liat, jarak balkon dari sini ke sana aja jauh banget.” Alena melirik Darius yang memejamkan mata sambil sesekali mengecup dan menghisap lehernya. “Kamu juga sama. Apa-apaan? Cuma pake celana ketat tanpa baju.” Darius mengangkat kepalanya dan menatap Alena intens. “Tenang saja. Tidak ada satu pun wanita yang berhak melihatku seperti ini selain istriku, Alena.” “Oh ya?” Alena merasa gamang dengan tatapan itu. Jenis perasaan yang sering dirasakannya jika terlalu dekat dengan pria. Tapi, ini Darius. Suaminya meski dia belum terbiasa. “Terus siapa istrimu itu, Mister Kyle?” Darius menyeringai. “Kau. Alena Widya Astara Kyle, istriku.” Pelukan di pinggangnya mengetat seiring dengan pergerakan Darius yang merapat pada Alena. Selimutnya diturunkan Darius perlahan, memandang lapar kulit putih istrinya. Lalu mengecupnya berkali-kali. Alena berdecak. “Yang benar saja, kita baru—” “Ssttt.” Jari telunjuk Darius membungkam ucapan Alena. Ada gairah yang menuntut untuk dipuaskan tersirat di matanya. “Tidak ada kata lelah, Alena. Sudah cukup belakangan ini aku menahan diri.” Akhirnya, mereka melakukannya lagi dan lagi. Tak mengenal waktu atau memedulikan bahwa kanan-kiri kamar mereka bisa saja terganggu. Darius sudah banyak berubah belakangan ini dan Alena rasa memberikannya hadiah kecil tidak masalah. Akan tetapi, mungkin, lain kali Alena memilih membelikan pria itu sesuatu dibanding menjadikan tubuhnya ‘hadiah’. Ya, itu pelajaran untuk Alena. Tidak peduli seberapa banyak Alena mengeluh kelelahan, Darius menulikan telinganya dan terus mengusahakan kepuasannya biarpun tanpa keikutsertaan sang istri. Astaga, cukup! Jangan sampai kalian membayangkan yang tidak-tidak. *** “Darius,” panggil Alena sewaktu mereka berkunjung ke pantai Kuta. Ide Alena ke sana karena Darius maunya bermalas-malasan di hotel, tapi tentu saja ditolaknya mentah-mentah. Percuma mereka berlibur kalau hanya terkurung di kamar hotel. Apalagi ini Bali, Alena bodoh kalau menyia-nyiakan kesempatan ini. Lihat, Darius benar-benar tidak mau menikmati keindahan pantai ini. Pria itu tampak kepanasan menyandar setengah berbaring di kursi pantai yang begitu jauh dari air, wajahnya memerah. Sebenarnya Alena tersanjung suaminya mau menurutinya, kontras dengan sosok yang dikenalnya beberapa waktu lalu. Jarang-jarang tuan muda Kyle itu tunduk pada seseorang. “Apa?” sahut Darius enggan membuka mata. Alena menggigit bibirnya. Dia punya permintaan yang kayaknya cukup sulit dikabulkan. Jangankan tentang permintaannya saja, Darius bahkan tak pernah membiarkannya keluar rumah seorang diri. “Apa?” ulang Darius, dia mengangkat kaca mata hitamnya. Bulatan sewarna obsidian itu menatap Alena menuntut. “Aku ....” Alena menggigit bibirnya, ragu untuk melanjutkan. Dia sudah tahu pasti jawaban Darius akan seperti apa, tapi pria itu terlalu pelit untuk membiarkannya bertemu temannya sepulang mereka nanti. “Bicara atau lupakan itu, Alena.” Darius bangkit dari sandarannya dan mendekat pada Alena sehingga jarak mereka hanya beberapa senti, Alena bahkan bisa mencium aroma permen mint dari hembusan napas Darius. “Ada apa? Kau tahu kau bisa meminta apa pun padaku.” Darius mengecup singkat bibir menggoda di depannya. Alena berdecak. “Tapi kamu gak bakal mau ngabulinnya, Darius,” keluhnya setengah merengek. Mata Darius memicing. “Jangan bilang kau ingin mengenakan bikini.” “Enggak, enak aja!” tegas Alena langsung. “Aku tahu ini Bali, lumrah berpakaian begitu. Tapi aku gak bakal mau ngumbar tubuhku, Darius, apalagi kamu bikin tanda semalem banyak banget,” rajuk wanita yang sudah sah menjadi anggota keluarga Kyle itu. Yang benar saja, bikini?! Apa pria itu tidak terpikir tebakan lain yang lebih sopan? Alena itu wanita terhormat, dia menjaga harga dirinya sendiri. Ya, walaupun keperawanannya tidak lepas dengan status legal, tapi Darius tetap mau tanggung jawab, ‘kan. Harga dirinya sebagai seorang wanita tetap terlindungi. Darius tersenyum begitu Alena membelai pipinya. Salah satu caranya membujuk. “Katakan,” desisnya meresapi belaian itu. “Jo, dia pengen ketemu nanti.” Hilang sudah ketenangan Darius jika menyangkut pria yang pernah dekat dengan istrinya itu. Rahangnya mengetat dengan persatuan kedua alis yang membuat matanya lebih tajam. Dia berdesis, “Apa? Tidak, kau tidak boleh bertemu dengannya, Alena.” “Tapi kenapa? Dia cuma pengen ketemu bentarrrr aja.” “Tidak.” Darius membuang muka. Dadanya naik turun penuh emosi. Darius tidak suka berbagi, terutama tentang istrinya. Tidak ada yang bisa mengusik miliknya. Tidak Jonathan, atau siapa pun itu. Alena menghela napas dalam, meraih wajah Darius agar kembali menatapnya. Pria itu menatapnya tajam, tapi lebih lembut dari tatapannya yang biasa digunakan Darius si Dirut. “Ck, plisss. Kita cuma ketemu. Kamu gak usah khawatir. Ya?” “Tidak, Alena,” tegasnya berdiri. Alena menariknya untuk duduk lagi sebelum Darius mengambil langkah. “Please.” Puppy face Alena membuat Darius gemas. Pertama kalinya dan nyaris saja dia menyerah pada Alena, bagusnya wajahnya yang tanpa ekspresi mendukung kekukuhannya. “Aku ikut.” Alena mendesah singkat. Mempertemukan Jo dan Darius sama saja dengan mempertemukan Tom dan Jerry, mereka tidak akur dalam waktu yang lama; atau mungkin mereka memang tidak pernah akur. “Nanti yang ada kalian berantem lagi. Kamu 'kan gak akur sama dia.” “Jadi kau rela kalau kita yang bertengkar?” Mata Darius memicing. “Ya enggaklah bukan gitu.” Dia bersandar pada bahu Darius, menyembunyikan wajahnya di d**a bidang sang suami. Membujuk Darius sangat sulit jika ini berhubungan dengan hal-hal yang tidak disukainya. “Cuma kayak reuni biasa. Pas aku resign 'kan boro-boro ada acara perpisahan gitu.” “Mana ada reuni hanya berdua? Jangan mencari-cari alibi, Sayang.” Darius mengusap pucuk kepala Alena. Wanita itu memberengut di balik persembunyiannya. Bukan kali pertama, malah terlalu sering Darius melarangnya banyak hal jika menyangkut keluar rumah sendirian, apalagi kalau bertemu pria lain. Tidak hanya menemuinya. Semenjak insiden dia terserempet, Darius jadi lebih protektif. Memang waktu itu perantaranya Mark, tapi tetap saja secara tidak langsung Darius yang memberi perintah. “Ayolah. Kamu sering banget nolak aku, Darius.” “Kau juga sering menolakku,” balas Darius enteng. Alena menarik diri. “Apanya yang sering? Semalam kamu 'kan dapet, banyak.” Sebelah alis Darius mengangkat. “Kau juga. Menurutmu aku memilih berlibur di sini untuk siapa? Untukmu. Biar kita tidak cepat pulang dan kau bisa berlibur, tapi malah kau yang mendengus tak suka dengan honeymoon ini." “Dariusss,” bujuk Alena manja. “Just one more time.” Darius mendorong pelan Alena, melihatnya lebih meneliti. Pandangannya tampak mengintimidasi, tapi justru membuat Alena meremang. Tatapan seorang pria dewasa. Ah, stop! dia tertular pikiran kotor Darius! Pria itu mengakhirinya dengan dengusan. “Terakhir kali aku biarkan kau bertemu dengannya, kau hampir saja bekerja kembali jadi reporter.” “Itu 'kan Lero. Lagian ini sama buruknya kayak jadi sekretaris kamu,” gerutu Alena pelan. Darius mendengarnya, tapi tidak mau merusak bulan madunya dengan baper. Toh Alena benar, menjadi sekretarisnya memang berat. “Oke,” serah Darius membuat wajah Alena mencerah. “Give me your best offering.” Seringai licik tercetak di bibir merah itu. “Ahh jangan lagi.” Bibir Alena mengerucut. Darius terkekeh, tangannya merambati lekuk pinggang ramping istrinya. Dia mendekatkan wajahnya pada Alena, otomatis wanita itu memejamkan mata. Darius terkekeh geli saat istrinya ini mulai berpikir yang tidak-tidak. Bukannya singgahan yang didapat, justru jitakan mampir di dahinya. “Pikiranmu kotor, istriku.” Semburat merah tampak di pipi Alena. Malu-malu dia membuka matanya. “A-aku gak mikir begitu,” kilah Alena salah tingkah. Pria itu mengendikan bahunya. “Kalau pun begitu aku tidak keberatan,” katanya, “jadi, apa penawaran sebanding yang bisa kau berikan?” "Kamu gak pengen aku beliin sesuatu, 'kan? Kamu tau sendiri sejak resign aku gak punya uang, semuanya dari kamu. Kamu sendiri yang buat aku bergantung ke kamu." “Aku tidak mengharapkan hal seperti itu, Alena. Tidak bisakah kau memikirkan hal lain?” Entah Alena sedang emosional atau apa, tapi nada bicara Darius seolah jengkel. Pria itu seolah kesal, dan entah kenapa membuat suasana hatinya memburuk. Mendadak membujuk Darius tidak lagi menyenangkan di ekspektasinya. Biarpun begitu, Alena memaksakan senyumnya. “Lupain aja.” Dia bangkit dan menjauh. Cukup cepat sampai Darius yang kebingungan tidak sempat mencegahnya. “Alena!” Darius mengejarnya di antara padatnya pengunjung pantai Kuta. Pria itu kesulitan menyamakan langkah karena Alena begitu gesit menjauh. Sejenak Darius kehilangan siluetnya. Beberapa kali salah orang mengira dia Alena, padahal orang lain. “Alena!” teriaknya lagi, tak peduli mulai dipandangi oleh orang lain. Pria itu mulai panik, bingung mengambil langkah ke mana. Bahkan tidak memedulikan tubuh shirtless-nya yang menggoda iman itu. Astaga, kenapa bisa ada begitu banyak orang di sini? Harusnya dia menyewa sebuah pulau atau mungkin turun ke kolam renang hotel. Kenapa pula Alena berkeras honeymoon tanpa Mark atau pengamanan yang lain? Argh! “Alena!” Sekali lagi, Darius berteriak. Setidaknya masih tersisa secuil kewarasan untuk tidak dikuasai kepanikan. Pikirannya buntu, Darius bingung harus apa. Tepat saat dia akan berbuat apa saja untuk menemukan istrinya, dia menangkap siluet seseorang berpostur sama dengan pakaian yang juga sama seperti Alena sedang duduk di akar mencuat sebuah pohon. Darius sontak menghampirinya, mendesah lega begitu benar itu Alena. “Alena, astaga,” gumamnya meraup tubuh Alena untuk dia rengkuh. Erat sekali sampai Alena memprotes. Dia terus bergumam, yang jelas perasaan Alena membaik melihat betapa Darius peduli padanya. Alena ikut memeluk tubuh Darius. Mereka berpelukan beberapa saat sebelum Darius menarik diri dan merangkum wajahnya. Matanya meneliti Alena, tampak begitu khawatir. “Kau tidak apa-apa, ‘kan? Jangan melakukan hal itu lagi, Alena.” Dahi mereka saling bersentuhan. "Aku lepas kendali, aku terlalu mengekangmu. Aku hanya tidak mau terjadi sesuatu di luar kendaliku.” Alena membeku. Kali kedua dia mendengarnya setelah pengungkapan perasannya, Darius yang minta maaf rasanya begitu tidak mungkin. Sosoknya yang dulu masih melekat, jelas Darius yang dulu tidak akan tunduk pada satu wanita selain tentang seks. Apalagi merendahkan dirinya seperti ini. “Akan kuizinkan kau bertemu Jonathan, tapi hanya kali ini. Dan jangan coba-coba untuk kembali ke pekerjaanmu yang dulu, sayang.” Dia kembali merengkuh Alena. Detak jantungnya masih bertalu-talu keras, bayangan buruknya tentang kehilangan Alena belum lenyap sepenuhnya. Sebenarnya Darius marah pada istrinya, hanya karena mantan rekan kerjanya itu dia menyebabkan hubungan mereka terancam kembali runyam. Tapi kali ini Darius rela mengalah. Demi rumah tangga mereka yang dulu sempat dia harapkan musnah. “Darius,” panggil Alena pelan. Darius berdeham, enggan melepaskan Alena. “Aku juga minta maaf ....” “Aku minta maaf karena egois dan gampang banget emosinya. Tadi itu ... aku gak marah. Gak tau deh, aku hanya ....” Wanita itu tidak melanjutkan, bingung kata-kata seperti apa yang bisa menggambarkan benar perasaannya. Dia juga tidak mengerti kenapa perasannya begitu mudah berubah. “Shtt, tidak apa-apa.” Alena merasakan punggungnya dielus Darius. Dia melakukan hal yang sama. Dadanya berdesir, dia harap pertengkaran kecil seperti ini tidak akan bisa merusak kepercayaan keduanya. Sadar mereka di tempat umum, Alena memaksa memisahkan diri. Wajahnya memerah sampai telinga, panas ditambah malu pada suaminya. Alena belum terbiasa. Meski di tempat ini orang-orang tidak sungkan mengumbar bagian tubuhnya dan berbuat asusik “Sebaiknya kita kembali ke kamar,” kata Alena. Darius mengangguk. “Ya, kamar.” Ada makna tersirat di balik kata yang meluncur dari bibir keturunan Mr. Kyle itu. “Enggak ya!” Alena memelototi Darius. “Udah cukup, Darius. Semalem aku udah gak tidur lho demi kamu. Kok masih bisa belum puas?" “Bagaimana mungkin aku bisa puas? Kau tidak mengerti hormon lelaki.” Pinggangnya dirangkul, Darius menghelanya meninggalkan pesisir pantai. “Terserahlah,” tandas Alena memutar bola matanya. “Tapi jangan sampe kamu berubah pikiran soal Jo.” Pandangan Darius mengarah ke atas, seolah sedang mengkhayal. “Menurutmu, bagaimana jika aku bertemu Clarissa sepulangnya kita?” Langkah Alena berhenti begitu memekik, “Darius!” “Baiklah, baiklah.” “Kalau begitu, aku ingin hadiahku. Menambah durasi bulan madu kita.” Kecupan sensual dilayangkan Darius ke lehernya. Tanpa aba-aba, tubuh Alena melayang. Darius menggendongnya ala bridal style. Pria itu tergesa-gesa membawanya memasuki kamar hotel, tidak memedulikan pekikan Alena, “TIDAKK!!” *** A.N : Ini ‘kan kayak prolog—pengen kedengeran keren aja makanya ‘Main Story’ haha—jadi next chapter One ini enggak melanjutkan dari sini ya gais. Ini cuma penggalan scene aja. Nantinya balik lagi dari awal bab satu. Oh ya, maafkan daku lebih seneng nulis author note di sini daripada di kolom. Selain terbatas, karena sudah kebiasaan. Satu lagi, aku udah bilangin dari sini ya. Berhubung film dan bahan reset tentang reporter itu enggak banyak dan kondisi di akunya terbatas, jadi yang ada di sini sesuai apa yang aku temukan dan pernah aku dengar. Bukan bermaksud sok tahu, ngasal, atau apa pun, tapi ya karena keadaan aku yang gak punya kenalan atau siapa pun yang tahu tentang reporter, terus terhambat di waktu juga, aku hanya bisa riset seadanya. Dan ... jangan harap ada adegan macem-macem karena aku baru aja legal bikin KTP haha. Kalau pun ada, kemungkinan itu bukan aku yang bikin . Selama bulan September, InsyaAllah aku update setiap hari, mungkin 1-3 chapter persatu kali update. Doakan aja ya aku lancar, apalagi mulai hari ini aku PKL. Kita fighting bersama-sama kuyy. Oke, bye-bye, see you tomorrow.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN