*1. Kabar Duka

1072 Kata
Part 1 . Kabar Duka. Ponsel Calista berdering. Ada panggilan dari Abisatya, sang suami yang tengah di tunggunya sejak dua hari lalu. “Halo,” sapa Calista. Mendekatkan benda pipih nan canggih itu di telinga kanannya. “Halo, Sayang,” sahut suara di seberang. Suara Abisatya yang berat terdengar jelas kali ini, mungkin kapalnya sedang berlabuh. Jika suara putus-putus dan jaringan tidak bagus, maka suaminya itu melakukan panggilan saat kapal pesiar berlayar. “Bagaimana Mas, apa kapten mengizinkanmu mengambil cuti?” tanya Calista penuh harap. Usia kandungannya sudah hampir tujuh bulan. Selama enam bulan, sejak usia kandungannya empat minggu. Sang suami, Abisatya, belum pernah pulang sama sekali. “Iya, Sayang! Kapten mengizinkan aku mengambil cuti selama 3 bulan, dengan catatan aku resign dan ketika aku masuk, aku akan melamar dan di tempatkan lagi di kapal semula!” jelas Abisatya. Suaranya terdengar sangat ceria. Sama halnya dengan Calista, Abisatya juga merindukan istrinya itu. “Lantas kapan Mas Satya tiba?” tanya Calista. Ya, tiada yang lebih penting kecuali kapan suaminya sampai di rumah. “Mungkin tiga hari lagi aku sampai di sana!” jawab Satya. Dua hari saja cukup untuk tiba di Indonesia, apa salahnya memberikan kejutan dengan datang satu hari lebih awal. Rencananya saat kapal pesiar singgah di Pelabuhan Malaga Spanyol, Abisatya akan turun dari kapal. Menggunakan kapal kecil ia akan berlayar menuju pelabuhan Old Port Of Marseille. Kemudian, dengan perjalanan darat menuju Bandar Udara Internasional Prancis Charles de Gaulle dan akan segera terbang ke Bandara Soekarno Hatta. Perjalanan udara kurang lebih selama 18 jam perjalanan. Itu artinya kurang dari tiga hari akan bertemu dengan istrinya. “Baiklah Mas, segera pulang, aku rindu! Rindu kamu, Mas!” ungkap Calista. Terdengar suara isakan lebih sering dan lebih jelas. “Iya, aku akan segera pulang! Cup! Jangan menangis!” pintanya. “Sampai ketemu di hari minggu, Mas!” “Sampai ketemu, Sayang!” “Iya.” Calista memberi cium jauh lalu mengakhiri panggilan telefon. Calista mencoba melihat ke samping. Ke wajah sang mama yang tengah tertidur di sofa bed. Wanita itu tampak lelah karena sudah dua minggu terus berada di rumah sakit menemaninya. Sejak kehamilan Calista jalan tujuh bulan, kesehatan tubuhnya mulai tak membaik. Membuatnya harus bed rest sepanjang hari. Keadaan itu semakin parah karena wanita yang sedang hamil muda itu, selalu merindukan suaminya. Puncaknya hari ini ketika, nomor ponsel sang suami aktif, Calista meminta agar Abisatya pulang lebih cepat dari jadwal yang telah di tentukan. *** Dua hari kemudian. Air mata Bu Marisa mengalir deras. Ia menghunjamkan wajah di d**a sang suami. Apa yang baru saja ia dengar, tidak! Itu tidak benarkan? “Ini tidak benarkan, Pa?” tanya wanita berusia 54 tahun itu. Kabar mengenai kapal yang ditumpangi Abisatya, telah tenggelam. Semua penumpang dan awak kapal dinyatakan hilang. Kejadian itu, baru saja di kabarkan oleh seorang karyawan dari perusahaan tempat putranya bekerja. “Sabar, Ma!” bujuk Pak Seno membalas pelukan istrinya. Air matanya juga merebak. “Apa yang harus kita lakukan, Pa?” keluhnya lagi. Air mata sudah tidak terkendali. “Mama tenang ya, Papa akan menelefon Bu Sofi, Calista, kita harus memberitahunya!” usul Pak Seno. Ia mengurai pelukan sang istri, lalu mengambil ponsel. “Jangan beritahu Calista, Pa!” cegah Bu Marisa. Ia merebut benda pipih dari tangan sang suami. “Memangnya kenapa?” tanya Pak Seno. Ia tidak paham apa yang di maksud sang istri. “Calista sedang dalam keadaan yang lemah Pa, jangan beritahu kabar buruk ini! Atau keadaannya akan semakin memburuk!” cegah Bu Marisa. Ia menghapus air mata dan mencoba menguasai emosinya. Wanita paruh baya itu duduk. Ia menggigit bibir untuk menahan tangis. Kabar duka, mengenai kapal yang di kendarai putranya masih membuat tubuhnya bergetar. Ya, kapal itu sudah tenggelam sejak dua hari yang lalu. Tidak, tidak mungkin Abisatya masih hidup, sementara bangkai kapalnya pun tidak ditemukan. Ponsel yang berada di tangan Bu Marisa berdering. Ada panggilan telefon dari menantu cantik kesayangannya, Calista. Bu Marisa dan Pak Seno beradu tatap. Sama-sama tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Kemudian, Bu Marisa menggeser ikon warna hijau di layar ponsel suaminya. Menerima panggilan telefon dari Calista. Panggilan terhubung. “Halo,” sapa Bu Marisa pelan. “Halo Ma, apa Mas Satya sudah tiba?” tanya Calista langsung. “Emm, Satya belum tiba,” sahut Bu Marisa. Ia terpaksa berbohong. “Kalau Mas Satya sudah datang, tolong jemput Calista di rumah sakit, Calista kangen tidur di rumah sama Mas Satya!” rengek wanita hamil itu. “Iya, Sayang, nanti kalau Satya sudah tiba Mama akan memintanya untuk segera membawamu pulang!” sahut Bu Marisa. Berusaha mempertahankan agar suaranya terdengar seceria mungkin. “Terima Kasih Ma,” ucap Calista dari seberang telefon. Suaranya terdengar lebih bersemangat dari pada dua hari yang lalu. “Iya, Nak, ya sudah kamu istirahat dulu! Nanti, Mama kabari,” pinta Bu Marisa. Tenggorokannya tercekat tidak tahu harus berkata apa lagi. “Iya, Ma.” Bu Marisa mengakhiri panggilan telefon dan kembali menghambur ke pelukan sang suami. Menumpahkan seluruh air matanya di sana. Pak Seno membalas pelukan. Ia berusaha menenangkan sang istri, hingga tangisan Bu Marisa perlahan mereda. “Mama punya ide Pa!” kata Bu Marisa sembari mengusap air mata yang membanjiri pipinya. “Ide apa Ma?” tanya Pak Seno menatap dalam ke manik coklat istrinya. “Kita suruh Abiyoga menjadi Abisatya, Pa!” usulnya yakin. Pak Seno membalas tatapan istrinya. Ia menggeleng tidak setuju. Ia sudah pernah berpesan pada kedua putra kembarnya Abisatya dan Abiyoga, untuk tidak saling bertukar posisi. Bagaimana mungkin ia yang mengingkari hal itu. “Tidak Ma!” tolak Pak Seno. Ia tidak setuju dengan ide dari istrinya. “Lantas, apa yang harus kita lakukan?” tanya Bu Marisa pasrah. Ia terus menatap sang suami. Menunggu jawaban dari pria yang selama tiga puluh tahun ini menjadi nahkoda dalam bahtera rumah tangganya. Hening. Pak Seno menunduk, ia tidak berani membalas tatapan sang istri. Bukan berarti dia setuju dengan usulan wanita itu. Hanya saja keadaan Calista mungkin akan semakin memburuk. Jika keadaannya memburuk bukan hal yang tidak mungkin, ia akan kehilangan bayi dalam kandungannya. “Jangan diam saja, Pa!” desak Bu Marisa. Air mata kembali lolos dari sudut matanya. “Baiklah Ma, suruh Abiyoga untuk berpura-pura menjadi Abisatya,” tutur Pak Seno pasrah. “Baik Pa, mama akan suruh Abiyoga menjadi Abisatya,” sahut sang istri. Meski Bu Marisa, tidak yakin Abiyoga akan melakukan apa yang ia perintahkan. Namun, setidaknya ia memiliki solusi untuk menyelamatkan Calista dan bayi dalam kandungannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN