B A B • 1

1306 Kata
345 butir berlian tipe round diamond kualitas terbaik dihitung satu-persatu dengan teliti oleh Arslan. Hooded eyes-nya tampak antusias memandangi tiap butir aset berharga dari mendiang kakeknya yang 9 jam lalu telah meninggal dunia. Pada lima butir batu permata berjenis serendibite, dan 3 butir traaffeite, Arslan tidak berhenti meneguk ludahnya. Dalam benaknya seketika terbayang hidup mewah tanpa harus bekerja. Setiap hari, dirinya akan sibuk bersenang-senang, menghabiskan semua batu pertama, sementara induk perusahaan, holding company, akan diurus oleh tangan kanannya. Tugasnya hanya keluar-masuk kelab, menyewa wanita, dan berlibur ke luar negeri setiap hari. “Ars, lo mau masuk, kagak?” Teriakan dari luar membuat konsentrasi Arslan terganggu sejenak. “Bentar!” teriak Arslan. Butir paling berharga di antara yang lain, dengan warna paling indah dan mencolok, red diamond. Arslan bahkan sedikit gemetar ketika memindahkan batu berharga itu ke sebuah tempat rahasia berbentuk sepatu yang telah ia siapkan sejak lama, menunggu kematian sang kakek. Setelah semua batu permata masuk ke 'sepatu' khususnya, ia membuang kotak persegi yang semula menjadi tempat penyimpanan kakeknya untuk menghilangkan jejak. Kemudian, menaruh sepatu khusus itu di bawah kursi kemudi. Arslan keluar dari mobil, dengan senyum bangganya. Ia melihat dengan saksama kelab di depannya. Ini akan jadi terakhir kali Arslan ke sini, karena besoknya, ia akan mulai membangun kelabnya sendiri di dalam rumah. Akan menjadi kelab khusus, karena Arslan hanya mengundang para wanita, dan menghabiskan malam dengan begitu panasnya. Menyapa beberapa wanita yang Arslan kenal—karena sudah langganan di kelab ini selama 5 tahun, dengan ciuman hangat. Arslan tersenyum, kemudian menuju ke meja bar. Bartender memberikan gelas berkaki panjang dengan red wine di dalamnya. Sembari menyesap minumannya, Arslan memperhatikan satu-persatu penghuni kelab malam. Namun, tampak tidak ada yang baru untuknya. Hampir semua, sudah pernah menghabiskan malam dengan Arslan. “Yang gaun navy,” tiba-tiba bartender menunduk dan berbisik di samping telinga Arslan, “rambut cokelat ikal itu, baru di sini. Yang agak sudut itu, yang goyangnya lemes banget.” Arslan mengikuti arah petunjuk dari bartender, dan memperhatikan wanita yang dimaksud. Butuh sedikit usaha untuk melihatnya, karena banyak manusia yang menghalangi pandangan Arslan. Pria itu kemudian berdecak ringan, saat usahanya tidak berhasil. Wanita itu sulit dilihat dari kejauhan. Arslan meminum red wine miliknya dalam sekali teguk, menaruh gelas di meja bar, kemudian berdiri. Berjalan dengan langkah tegas dan tatap lapar, ia fokus pada si wanita. Meski beberapa datang menghampiri, meraba tubuh Arslan, pria itu tetap, tidak mengindahkan pandangannya sedikitpun dari tujuannya. Pada jarak yang dekat, dan si wanita tidak menyadari Arslan, pria itu mengulurkan tangan, menyentuh pinggang si wanita, kemudian menariknya dalam pelukan. Damn! Pada detik itu juga, mata Arslan terpaku. Jakunnya terlihat jelas naik turun melihat wajah oval yang dihiasi dengan mata bulan nan indah milik si wanita. Hidung mancung lurus, dan bibir berisi berwarna merah menyala dari wanita itu turut serta menaikkan hasrat Arslan. Wanita itu turut menyambut, melingkarkan tangannya di leher Arslan, tersenyum dengan sengaja untuk menunjukkan kekenyalan di bibirnya yang amat menggoda. Arslan merunduk, mengecup singkat. Lembut, candu. Itu yang dirasakan Arslan, lalu seketika mencium lagi. Bukan sekadar kecupan. Arslan terus mencium dengan tujuan menghapus semua lipstik di bibir wanita. Namun, tidak, yang terjadi malah bibir merah itu kian menyala hasil saliva Arslan sendiri. Arslan menahan pipi wanita itu, maju untuk menghimpit si wanita di dinding. Begitu menggebu-gebu, menggerayangi tubuh si wanita, dan semangatnya kian memacu kala lagu Shape On You dari Ed Sheeran digabung desahan rendah si wanita. Arslan akan lupa diri, tapi kemudian pria itu sadar mengenai keberadaan mereka saat ini. Ini bukan tempat yang mendukung untuk berhubungan seliar bayangan Arslan saat ini. Terpaksa, dengan amat berat, Arslan memisahkan tautan tubuh mereka. Memilih menggenggam tangan si wanita untuk menunjukkan kepemilikan, menuntun ke bagian dalam kelab. Namun, ketika ia akan memasuki sebuah lorong, sebuah pria menahannya. “Udah penuh, Bro.” Arslan sontak tidak terima. “Kenapa bisa? Gue udah langganan di sini, udah jelas kamar khusus buat gue, kenapa bisa lo kasih ke pelanggan lain?” “Ya sorry, Bro. Lo sendiri telat. Tau sendiri, malam tahun baru begini, ya banyak yang pesen kamar.” Napas Arslan naik-turun, diguncang amarah juga gairah. “Sialan lo!” Arslan segera menarik si wanita menuju arah sebaliknya, ke pintu keluar, menuju parkiran, masuk ke dalam mobil. Mereka akan ke hotel terdekat, setidaknya begitulah yang Arslan inginkan. Namun, apa ia bisa tahan untuk sampai kamar jika wanita di sampingnya begitu menggoda? Dress navy mengkilapnya, bibir seksi, dan mata menggodanya. Arslan pikir, ia tidak punya kesabaran sebanyak itu. Ia hanya mengunci pintu mobil, dan menghimpit si wanita di kursinya, menciumi dengan brutalnya, dan melepaskan hasratnya dalam ruangan sempit itu. Meski terbatasi, panasnya malam tahun baru tetap begitu dahsyat Arslan rasakan, bahkan berkali-kali lipat. Arslan tidak salah pilih malam ini, pikirnya, karena si wanita amat ahli membuatnya terus mencapai puncak gairah berkali-kali. Bahkan ketika kedua lututnya terasa nyaris lepas akibat lelah, si wanita tetap terus bergerak, memacu gairah hingga puncaknya yang ke sekian kali. *** Ruh Arslan mungkin tidak akan terbangun lagi jika bukan karena panasnya sinar matahari yang semakin tinggi. Kening pria itu mengerut dalam, memeriksa keadaannya. Tanpa busana, sedang tidur di kursi depan dengan posisi yang membuat leher pegal. Arslan menegakkan tubuh, seketika pening melanda kepalanya hingga ia terus memejam selama beberapa saat sembari memijit pelipis. Kala ia menunduk, di samping kakinya, terdapat sepasang sepatu wanita dengan hak-nya yang patah. Arslan tidak peduli itu. Namun, ia tidak bisa mencegah matanya melotot saat menyadari bahwa ruang khusus di bawah kursi kemudinya terbuka. Sialan! Pria itu memaki dalam hati dan bergerak kilat mengecek sepatu dalam tempat khusus itu. Kosong. Arslan seketika panik. Khayalannya semalam menjadi kacau seketika. Ia terus mencari, bahkan tidak peduli keadaan tubuhnya sendiri. Bergerak ke belakang kursi, mengacaukan mobilnya sendiri demi mencari sepatu paling berharganya. Pria itu semakin mengumpat kasar, karena hanya kebuntuan yang ia dapat. Di saat putus asanya mencari, Arslan menatap sepatu wanita di bawah, seketika, matanya menunjukkan amarah yang menggelora. Suaranya melantang ketika berteriak keras memaki si wanita. *** Arslan sama sekali tidak peduli, keluar dari mobilnya dengan hanya menggunakan boxer hitamnya. Ia menenteng pakaian luarnya memasuki rumah berlantai 4 miliknya, penuh amarah. Kala ia sampai di ruang tamu, ia melempar pakaian serta sepatu wanita ke atas meja. Pria lain seusia dirinya yang tengah duduk, seketika menatapnya bingung. “Kenapa lo?” tanya pria berambut disisir ke belakang tersebut, dengan sangat tenang. Ia berdiri dengan penuh wibawa menatap Arslan, sepupunya. “Bukan urusan lo!” balas Arslan kesal, kemudian duduk dengan kasar di sofa. Berteriak keras, kemudian menyugar rambut dengan kasar. Tidak cukup melepas kesal, ia memukul meja yang terbuat dari kaca tebal di depannya. “Loh, bukannya harus seneng, ya? Tahun baru, bawa berlian baru? Kenapa belum bersyukur juga?” Vian—pria tenang itu, kembali menyindir. “Pantes, tumben-tumbeban kunjungi Kakek, padahal kamu bahkan mungkin lupa punya Kakek kemarin. Eh ternyata ngincer berlian. Seriusan ini, lo ... beneran belum merasa cukup udah jadi pemilik induk perusahaan Kakek? Tamak amat lo jadi manusia. Kaya jalur dikasihani aja, belagu amat.” “Bukan urusan lo, Anjing!” teriak Arslan, kemudian berlalu dengan terburu-buru dari ruangan tersebut, masuk lebih dalam bagian rumah, memasuki lift, menuju lantai 4. Di kamarnya, ia menelpon asistennya, Edy. “Sekarang juga, kamu cari seorang wanita! Dia ke kelab langganan saya semalam. Dia ....” Arslan menarik napasnya panjang saat rasa kesalnya semakin bertumpuk. “Cari dan temukan dia sekarang!” “Wanita apa, Pak? Ciri-cirinya bagaimana?” tanya Edy. “Ciri-ciri?” Arslan mendadak blank. Tidak ada yang tertinggal di memori otaknya selain bibir merah menyala yang kenyal, juga gerakan cepat si wanita saat memacu gairah keduanya. “Tanya bartender. Dia tahu wanita itu!” teriakku antusias. “Baik, Pak.” Edy membalas ramah. “Sekarang, Edy. Sekarang! Hari ini, jam ini juga, wanita itu harus ketemu!” Arslan, dengan penuh penekanan berujar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN