Suasana yang gelap setelah matahari terbenam di Rjukan membuat suasana tegang semakin menjadi-jadi. Tiffa dan Vian sudah berdiri menantang sebagai pintu baja bagi kerajaan Heddwyn.
Dan seperti yang Tiffa duga, ia tidak mengenal mereka semua. Semuanya tampak asing baginya. Vian juga tidak mengenali.
“Sepertinya mereka kemari karena kita.” Kata Vian seperti baru saja membuka pintu otaknya.
Belum ada sebulan ia di Heddwyn, otaknya jadi tumpul karena terlalu menikmati hidup. Ia sudah lama mengira bahwa hidupnya aman dan tentram tanpa gangguan.
Tapi ternyata kewaspadaannya telah ia tinggalkan di negara Paman Sam. Lalu disinilah ia berdiri bersama kakaknya.
“Tenangkan dirimu, bodoH. Kita tidak akan mati disini. Takdir kita mati di tangan Rivaille.”
“What the… Apakah kau tidak bisa mengatakan hal yang baik-baik saja saat ini?” Vian langsung memprotes keras. Bisa-bisanya sang kakak bercanda dengan dark joke seperti itu.
Disaat Tiffa sedang memperhatikan para pasukan musuh yang mulai menampakkan diri, Rivaille juga tiba di garis depan.
“Kita tidak akan mati disini. Ingat seperti apa takdir kalian.” Ucap Rivaille kembali berkata buruk. Vian memutar matanya malas sekali.
“Seriously? Apakah tidak ada yang memimpin doa untuk keselamatan kita bertiga disini? Apa perlu aku yang jadi pendetanya?”
Tapi perkataan Vian menjadi diskusi akhir yang tidak penting sama sekali. Para pemimpin pasukan itu sudah berjajar rapi menunggu untuk disambut oleh mereka.
“King Rivaille Heddwyn. Maafkan atas kedatanganku yang tidak memberimu pesan. Tapi aku kemari ingin beramah tamah denganmu.”
Tiffa dan Vian kompak menoleh ke samping. Rivaille yang berdiri di tengah-tengah antara TIffa dan Vian ternyata lebih menarik perhatian mereka.
Tapi setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, Tiffa langsung menyenggol lengannya.
“Kau sapa dia.” Tapi Rivaille malah menoleh ke arah Vian.
“Kau saja.” Dan Vian menatap kakaknya.
“Kau saja.”
Dan begitulah mereka saling melempar tanggung jawab untuk membalas sapaan vampir itu.
“Siapa kau?” Rivaille kali ini yang langsung bertanya pada inti.
Dan setelah Rivaille bertanya, semua vampir disana yang memakai jubah hitam itu langsung membuka tudung mereka. Kali ini Tiffa bisa melihat dengan jelas seperti apa wajah para tamu.
Pria gendut yang menyapanya itu malah dikira babi bertindik oleh Tiffa. Sedangkan wanita di belakangnya malah terlihat seperti penyanyi rock and roll.
“Oh astaga… Apakah mereka sekelompok sirkus keliling?”
Rivaille langsung speechless mendengar celetukan Vian. Sayangnya Tiffa sudah menahan tawanya setengah mati karena terlalu serius menanggapi candaan receh adiknya.
“Maafkan aku King Heddwyn. Tapi aku datang kemari tidak sedang berurusan denganmu. Tapi pada dua vampir di sampingmu.”
“Haahh… Mulai lagi.” Vian terus mengoceh.
Rivaille juga tahu bahwa mereka sedang mengincar Tiffa dan Vian. Tapi yang benar saja! Urusan Tiffa saat ini akan menjadi urusannya juga.
“Tapi siapapun yang berurusan dengan mereka, akan berurusan juga dengan Heddwyn. Lagipula kau tidak boleh berbuat kerusuhan di tanah Heddywn….” Rivaille langsung diberi tepuk tangan pelan oleh Tiffa dan Vian.
Entah kenapa ia merasa dua vampir veteran ini tampak tengah bermain-main sekali. Padahal tadi di dalam kastil mereka semua panik sekali. Terlebih Tiffa.
“Kalau begitu aku tidak akan segan.” Kata pria itu lagi. “Perkenalkan, aku McQueen. McQueen keturunan bangsa Xandes.”
Rivaille kaget sekali mendengarnya. Bukankah Tiffa berkata semua keturunan Xandes dan Lusorius telah dibantai habis?
“Pfffttt! HAHAHAHAHA.” Vian akhirnya tertawa lepas. Saking terhiburnya dengan perkataan pria bernama McQueen itu.
Rivaille terus saja dibuat bingung. Apakah ini juga termasuk strategi untuk memancing lawan? Entahlah, Rivaille butuh penjelasan saat ini.
“Vian. Jaga sikapmu… Jangan tertawa.” Tiffa memang berwajah serius. Tapi sedikit tawa kecil lolos beberapa kali dari mulutnya.
“Astaga… Aku tidak mengerti dengan kalian berdua.” Rivaille memilih pasrah saja sekarang.
TRANG!
Tapi saat Vian sibuk tertawa, tiba-tiba McQueen yang ternyata gerakannya sangat cepat itu menyerang Vian lebih dulu.
Berharap serangannya yang tiba-tiba akan melukai Vian. Tiffa melirik saja sambil menarik Rivaille agar menjauh darinya.
“Sudah lama sekali rasanya.” McQueen langsung buru-buru mundur saat tahu ternyata Vian tidak bergerak sedikitpun setelah diserang.
Dan karena serangan McQueen, akhirnya TIffa langsung berwajah serius sekarang. Kali ini Tiffa melakukan transformasi pada pakaian perangnya.
Tapi kali ini bukan pakaian serba putih yang bertaburkan emas. Tapi kali ini adalah gaun berwarna biru tua dan masih dengan aksen emas yang menjadi hiasan mewahnya.
Tiara emas yang ada di kepalanya juga tampak bersahaja dan berkilauan sekali. Mahkota yang biasa dipakai oleh para raja dari keturunan Yovanka.
Mahkota itu memiliki ujung yang runcing dengan simbol Spade yang berarti adalah kematian. Sedangkan dari lambang Spade itu di tengah-tengahnya dihiasi dengan permata yang membuat mata silau melihatnya.
Rivaille benar-benar terpana. Ia tidak tahu jika Yovanka juga punya pakaian khas suku mereka. Vian pun juga sama berubah dengan seragam yang sama dengan Tiffa.
“Jarang sekali kakakku bertarung menggunakan gaun. Kalian sangat beruntung tentunya.” Vian tersenyum senang sedangkan Rivaille sekarang tampak seperti rakyat jelata berdiri di tengah-tengah mereka.
“SERAAAAANGG! YANG MAHA AGUNG XANDES!”
McQueen menggeram marah. Ia seketika mengangkat bendera perang pada Tiffa dan Vian. Setelah itu perang pun langsung pecah.
Tiffa masih berdiri di tempatnya selagi membiarkan Vian mengamuk lebih dulu. Sebilah pedang berlapiskan emas yang terlihat luar biasa itu menarik perhatian Rivaille.
“Aku bangga sudah bercinta dengan ratu dari Yovanka. Kita menyatukan dua kerajaan sekarang.” Ucap Rivaille yang otaknya masih kesulitan untuk beradaptasi dengan kewarasan yang ada. Tiffa tersenyum kecil.
“Aku sudah katakan padamu tidak ingin gelar lain selain ratu.” Ucap Tiffa begitu santai.
Biasanya ia akan menutupi semua kekuatannya untuk menghemat tenaga. Tapi karena kali ini ada Rivaille di sampingnya, Tiffa ingin sedikit terlihat keren.
Tatapan matanya kini kembali terfokus pada medan perang. Beberapa pasukan berhasil lolos dari amukan Vian dan berlari ke arah mereka berdua.
Tapi sayangnya mereka bahkan tidak bisa menyentuh Tiffa seujung rambutnya karena dari jarak tiga meter saja mereka langsung tercabik-cabik oleh ayunan pedang Tiffa.
ZRASSHH!
“ARRGHH!”
ZRASH!
Dan begitulah uang Rivaille saksikan.
“Kenapa tadi ekspresimu panik sebelum mereka menampakkan diri? Ternyata kau tidak perlu menghancurkan ruang bawah tanahku untuk menghabisi mereka semua.” Celetuk Rivaille sedikit pesimis setelah melihat kehebatan Tiffa.