Bab 27. Mantra Pengikat

1030 Kata
“Ya. Ras kami yang memulai perang. Kami membangkitkan kekuatan kami dan menguasai sampai selat asia dan selat arabian.” Baiklah, Melvern rasa cerita ini memang terlalu mengada-ngada. Jika benar ada peperangan besar di zaman dulu, kenapa tidak ada sejarah yang mencatatnya? “Lalu karena kami terlalu kuat, makhluk di kayangan murka lalu mengutuk ras kami. Kemudian kerajaan kami runtuh dan sekarang semua itu hanya tinggal abu lalu musnah di telan waktu.” Dan Vian mengakhiri ceritanya yang super singkat dan membingungkan itu. Awal mula mereka memulai perang dan alasannya apapun tidak dijelaskan. Bagaimana Melvern bisa mengerti? “Lalu hanya kalian berdua yang tersisa dari ras kalian?” Vian tersenyum sambil menyisir rambutnya. “Ya. Itu suatu kebanggaan bagi kami. Kami satu-satunya ras paling tua saat ini yang berhasil bertahan sampai sekarang.” Ucapnya begitu bangga. Tapi Melvern tidak lagi bertanya tentang peperangan itu. Jika disimpulkan secepat itu, Melvern yakin tidak ada yang berkesan dari semua peperangan di masa lalu. “Apakah Anda tidak tertarik untuk memperbanyak keturunan?” Vian menggeleng pasrah. “Aku ingin sekali memperbaiki keuturnan agar ras kami tidak punah. Tapi satu-satunya wanita yang ingin aku nikahi hanya kakakku seorang. Sedangkan kami ini saudara sedarah dari ibu yang sama. Apakah Anda paham bagaimana tersiksanya aku, Queen Heddwyn?” Melvern tertawa. Sial sekali Vian harus menjadi adiknya. Jika saja Tiffa bukan saudara, mungkin sejarah sudah mencatatkan nama ras mereka sebagai legenda. Sayangnya semua itu harus pupus dengan kenyataan pahit itu. “Aku juga baru pertama kali melihat wanita secantik kakakmu. Aku iri dengan rambut putihnya yang halus itu.” Vian juga begitu. Ia mungkin satu-satunya orang yang akan memuja kakaknya seperti patung sesembahan karena kecantikannya. Tidak hanya rambut yang ia suka, bahkan lubang hidungnya pun Vian suka. “Ngomong-ngomong, apakah kakakmu masih enggan keluar dari kamarnya?” Vian tersadar dari lamunannya yang entah sejak kapan ia melamun. “Dia sedang keluar istana sebentar. Ada sesuatu yang sedang diurusnya.” Sorot mata Melvern tampak sedih saat tahu Tiffa sudah pergi dari istana. “Apakah kakakmu betah tinggal disini?” Tanyanya khawatir sedangkan Vian memutar matanya malas. “Dia sangat, sangat betah tinggal disini. Tapi memang dia sedang ada urusan. Mungkin sore dia akan kembali.” Vian teringat dengan perintah kakaknya untuk mencari vampir yang bisa membaca masa depan. Sudah sejak lama ia mengincar Melvern karena dari pengamatannya, Melvern seperti bisa membaca masa depan. Hanya saja ia tidak tahu bagaimana cara kerjanya. Itulah kenapa Vian berhati-hati sekali jika dengannya. Karena dari yang ia tahu, vampir bisa membaca masa depan jika bersentuhan dengannya. “Kalau begitu, aku kembali ke ruanganku. Semoga harimu menyenangkan, Tuan Yovanka.” Kata Melvern berpamitan pada Vian. Vian menatap arloji antik miliknya. Saat ini waktu menunjukkan pukul sembilan pagi. Dan seperti kebiasaan ketiga bersaudara itu. Vian sudah mengamati Rivaille dan kedua adiknya karena tampaknya mereka lebih sering bersama di dalam kamarnya. “Ck! Merepotkan sekali.” Gumamnya malas mengurusi bocah-bocah nakal itu. -Sore hari- Tiffa sungguh kembali saat sore. Daerah lembah seperti Rjukan ini memang cepat gelapnya jika waktu sudah lewat pukul tiga. Matahari terbenam lebih cepat disini dan Tiffa kembali dalam keadaan lembah sudah gelap gulita. Tapi kepulangannya setelah mencari mangsa hari ini ditunggu oleh Rivaille di depan pintu kastil. Karena kekuatannya sudah kembali, ia jadi sedikit bersemangat hari ini. “Kenapa kau tidak izin padaku sebelum pergi?” Tanyanya sudah dengan tatapan menusuk sekali. Ekspresinya terlihat marah menunggu Tiffa melangkah ke arahnya. “Apakah harus?” Tiffa balik bertanya. Rivaille murka. Satu detik jarum jam berdetik, vampir muda itu sudah menarik tangan Tiffa dan membawanya masuk ke dalam kamar. Tiffa sampai kaget dengan keagresifan Aredric di zaman ini. “Oh tuhan!” Eredith memekik kaget. Elunial langsung terbangun dari posisi rebahannya dan seketika memojokkan diri di sudut kamar. Tapi sayangnya Rivaille lupa jika kedua adiknya masih di dalam kamarnya. Eredith menganga lebar. Bisa-bisanya sang kakak membawa monster itu ke dalam kamarnya. Dan apa-apaan dengan tangan kakaknya di pinggang wanita itu? “Oh? Kalian rupanya senang bermain bersama ya.” Ujar Tiffa sengaja. Sayangnya semua kegilaan yang dibawa Rivaille membuat kedua adiknya hampir pingsan karena ngeri. “Kalian kembalilah ke kamar kalian.” Eredith langsung menghilang secepat kilat dan meninggalkan Elunial. “Tanpa Kakak suruh pun aku akan pergi dari sini!” Pekiknya berlari dengan ekspresi horor. Jangan ditanya lagi siapa yang paling menakutkan bagi kedua adiknya. Tentu saja mereka akan berteriak menyerukan nama sang vampir legendaris itu. “Kemana saja kau seharian ini?” Rivaille bertanya sambil bersedekap. Auranya sudah seperti vampir yang siap mengajak Tiffa berduel. Tapi Tiffa tetap santai saja dan sengaja duduk di ranjang sang pemilik kamar. Ia juga tengah menantang vampir muda itu tentang siapa yang paling m***m diantara mereka. “Kenapa kau ingin tahu?” “Dan kenapa jika aku ingin tahu?” Permainan kata ini sungguh menarik perhatian Tiffa. Tidak sampai 12 jam Tiffa meninggalkan kastil, Rivaille sudah seperti anak kecil yang marah karena tidak diajak oleh ibunya pergi ke pasar. “Cari tahu sendiri.” Ucap Tiffa menantang. Rivaille menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. Tapi ia mendekati wanita itu lalu mengangkat dagunya sengaja menatap matanya. Bisa tercium aroma darah dari mulutnya. Aroma ditubuhnya juga berbagai macam dan membuat kepalanya pusing. “Kenapa kau tidak meminta pada pelayan jika sedang lapar?” Tiffa tertawa mendengarnya. Nafsu makan vampir sehabis hibernasi sanggup meminum berliter-liter darah. Itu berarti satu cangkir saja tidak akan cukup untuk memuaskannya. Bahkan satu manusia saja sangat kurang. “Kau ingin tahu sebesar apa nafsu makanku saat ini?” Rivaille tidak lagi banyak berbasa-basi dan segera menarik kepala Tiffa dan menciumnya dengan ganas. Ini seperti bukan dirinya. Rivaille sadar jika dirinya sudah terperosok semakin dalam dengan semua keindahan gurunya sendiri. Ia merasa begitu merindukannya setelah seharian ini ia tidak melihatnya. Ia merindukan wanita itu ketika ia pergi sebentar. Dan Rivaille tidak tahu kenapa bisa seperti itu. Ia lalu melepaskan ciuman mereka. Rasa darah segar itu bisa ia cicipi dari mulut Tiffa. “Aku yakin sekali kau menggunakan mantra pengikat padaku.” Tiffa membuang muka. Tanpa perlu ia gunakan mantra pengikat pun Rivaille sudah menempel padanya seperti ini. “Aku hanya memberikanmu mantra pelindung.” Rivaille merasa ada yang aneh saat pertama kali Tiffa memanggilnya Aredric. Siapa Aredric?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN