Episode 2 : Mari Bercerai

1295 Kata
“Kalau kamu tetap enggak mau, lebih baik kita bercerai!” Giani mematung tak percaya, jika kata cerai baru saja Adi lontarkan kepadanya. Bukan karena orang ketiga, bukan juga karena Giani tak bisa memberi Adi keturunan sebab mereka sudah dikaruniai sepasang anak yang sangat menggemaskan, tetapi lagi-lagi mengenai perbedaan prinsip dalam urusan momongan. Meski sebelum menikah mereka sudah berpacaran selama empat tahun lamanya, dan usia pernikahan mereka juga sudah berjalan lima tahun, nyatanya kenyataan tersebut tak mampu memupuk pondasi hubungan mereka. Mengenai momongan, Adi ingin memiliki anak sebanyak-banyaknya tanpa peduli keadaan, berbanding terbalik dengan Giani yang ingin fokus membesarkan kedua anaknya. Giovan anak pertama mereka baru berusia empat tahun, sedangkan Giavanya anak kedua mereka berusia dua puluh bulan. Terlalu egois bagi seorang Giani yang nota bene hanya seorang IRT tanpa bisa menghasilkan pundi-pundi uang untuk mencukupi kebutuhan apalagi tabungan masa depan. Giani tak mungkin meninggalkan anak-anaknya hingga Giani hanya bisa mengerjakan pekerjaan serabutan semacam katering dadakan jika ada yang meminta bantuannya, dan itu pun dengan hasil yang tak seberapa. Belum lagi, selain mereka masih tinggal di kontrakan kecil, hidup mereka juga masih sangat pas-pasan bahkan meski Adi sudah bekerja di dua tempat pekerjaan dan membuat pria itu jarang pulang. Kehidupan yang mereka jalani benar-benar kehidupan rakyat biasa yang kalau tidak bekerja memang tidak bisa makan. Kontras dengan kehidupan Sasmita yang setelah melepas Rarendra justru mendapatkan malaikat hidup sekelas Leon. Kini, Giani menjadi menggeragap, ia menghela napasnya beberapa kali sambil mencoba menguatkan diri. Ia memaksa otaknya untuk bekerja keras demi masa depan anak-anaknya. “Di, oke kita nambah momongan, tapi nanti, nanti tunggu paling enggak lima tahun lagi, biar anak-anak bisa menghabiskan masa kecil mereka dengan lebih leluasa. Enggak usah mikir macam-macam dulu, masa iya hanya karena aku belum mau menambah momongan sekarang, kamu mau menceraikan aku? Memang, aku enggak mau dimadu, tapi masa iya sedrama ini?” Giani memang tidak ingin menangis, tapi nyatanya air matanya jauh lebih berekspresi, menuangkan jerit batinnya yang meronta-ronta jauh di dalam dadda sana. “Coba lihat, Leon dan Sasmita saja yang sudah menikah empat tahun justru,” ucap Giani masih mencoba meredam keinginan Adi dengan hati-hati, meski jauh di dalam daddanya sudah sangat berisik, jerit batin dan detak jantungnya saling beradu, menghasilkan nyanyian pilu. “Jangan samakan aku dengan Leon, Gi! Kami sangat berbeda apalagi jika dilihat dari materi. Namun kamu enggak khawatir, kamu enggak usah pusing memikirkan uang, penghasilan, dan semacamnya karena setiap anak pasti bawa rezeki sendiri-sendiri.” Adi tetap lurus dengan keputusannya yang yakin, memiliki banyak anak akan membuat orang tua juga memiliki banyak rezeki. Memiliki anak akan membuat anak-anaknya memiliki banyak saudara, tidak sepertinya yang harus selalu berjuang sendiri tanpa dukungan saudara hanya karena dirinya anak tunggal. “Iya, aku tahu. Namun alangkah baiknya kalau kita urus yang sudah ada dulu. Kita fokus sambil nyiapin masa depan buat mereka. Apalagi uang pendidikan sekarang enggak cukup sedikit, Di. Jangan sampai anak-anak seperti kita, yang kalau enggak banting tulang jadi kuli, enggak bisa makan.” Giani menunduk pasrah. “Kalau keputusanku membuat kamu merasa kecewa, itu hak kamu, Di. Namun tolong, tolong lihat anak-anak. Mereka selalu merindukan kamu, mereka selalu iri kenapa mereka enggak bisa bareng sama papahnya seperti teman-teman mereka? Mereka enggak punya banyak waktu sama kamu karena sebulan dapat libur sehari saja, kamu sangat jarang. Tolong jangan mikir macam-macam dulu, Di. Kita bukan baru kenal, kita sudah mengenal lama. Selain itu, aku juga khawatir ke kamu yang kurang istirahat karena kamu terlalu sibuk bekerja.” Giani bertutur cepat tanpa berani menatap Adi. Ia terlalu merasa sakit dengan kata cerai semacam talak yang beberapa saat lalu baru saja ia dapat. Andai Giani egois, tentu Giani akan mengungkit kenyataan Adi yang tidak pernah menemaninya menjalani persalinan maupun dalam mengurus anak mereka. Bukan karena Adi pria tidak bertanggung jawab, tetapi karena Adi terlalu sibuk bekerja. Jangan sampai cerai, jangan! Jangan sampai Gia dan Gio merasakan apa yang aku rasakan! batin Giani menguatkan diri. Ia terlalu parno dengan perceraian orang tuanya yang membuatnya kehilangan kasih sayang orang tua. Karena semenjak bercerai sebelum akhirnya hidup sendiri-sendiri, orang tua Giani tidak mengikutkan Giani dalam kehidupan mereka. Giani dititipkan pada orang tua mamah Giani. Giani tumbuh bersama keluarga sang mamah dan menjadi tanggungan kakek-neneknya karena orang tua Giani benar-benar lepas tangan bahkan hingga sekarang. Menurut desas-desus yang Giani dengar, orang tua Giani menyesali pernikahan mereka yang sampai menghasilkan Giani. Karenanya, sekadar berurusan dengan Giani yang tentu saja merupakan darah daging sendiri membuat orang tua Giani trauma. “Huh!” Adi mendengkus kecewa kemudian beranjak dari tempat tidur mereka. Pria berkulit kuning langsat itu memungut pakaiannya yang terserak di lantai kemudian buru-buru mengenakannya, membuat tubuhnya tak lagi polos. Adi berlalu, keluar dari kontrakan kecil mereka setelah sebelumnya pergi ke belakang dan membuat kedua tangannya menggenggam kotak rokok dan korek bensol. Mendengar suara pintu kontrakannya tertutup, Giani terduduk lemas bersama air matanya yang mengalir lebih deras. Yang Giani tahu, sebuah kata talak akan membuat sebuah rumah tangga makin seret rezeki jika terus dipertahankan. Giani benar-benar takut kenyataan tersebut sampai menimpa rumah tangganya dengan Adi, tapi Giani lebih takut anak-anaknya kekurangan kasih sayang orang tua. Giani sangat berharap anak-anaknya mendapatkan yang terbaik tanpa terkecuali masa depan terbaik itu sebabnya Giani ingin fokus mengurus kedua anaknya lebih dulu sambil turut bekerja tanpa menambah momongan lebih dulu. Tak beda dengan Adi, Giani juga bergegas memunguti pakaiannya, tapi ia memilih berlalu ke belakang untuk membersihkan diri lebih dulu di kamar mandi. Beberapa saat lalu, sebelum akhirnya perdebatan yang sampai membuat Adi melayangkan talak terjadi, sebenarnya mereka sedang melakukan rutinitas suami istri. Namun karena Adi berdalih akan mengeluarkannya di dalam dan Giani pastikan akan membuatnya yang tidak KB hamil, Giani terpaksa mendorong Adi hingga pria itu terjatuh. Beruntung, Adi terjatuh ke kasur, tidak sampai ke lantai karena jika sampai iya, Adi pasti akan mengalami hal fatal. **** Satu bulan berlalu, kebersamaan menyayat pilu akhirnya kembali Giani rasa. Tanpa saudara, semuanya memang terasa lebih berat karena segala sesuatunya apalagi beban memang akan lebih ringan jika dibagi. Layaknya apa yang Giani jalani, tanpa saudara, Giani benar-benar sebatang kara sedangkan orang tua Adi yang menjadi satu-satunya harapan juga sudah renta dan kerap sakit. Giani tidak sanggup jika harus hamil dalam waktu dekat, hamil sambil mengurus dua anak yang masih balita, belum lagi setelah itu. “Baiklah, Di. Mari kita bercerai. Aku enggak boleh egois apalagi aku enggak bisa kasih apa yang kamu mau. Aku enggak akan mempersulit niatmu. Kita bercerai baik-baik karena kita memulai hubungan pun dengan baik-baik. Makasih buat semuanya, dan maaf karena aku masih jauh dari sempurna.” Giani berlapang dadda tanpa bisa menyembunyikan air mata berikut kesedihannya. Ia memang terluka, hancur hanya karena membayangkan kehancuran masa depan anak-anaknya yang seolah sudah ada di pelupuk mata. Namun, Giani bersumpah tidak akan membuat anak-anaknya sebatang kara. Giani akan bekerja tanpa meninggalkan anak-anaknya. Giani akan menghasilkan banyak uang untuk menyongsong masa depan anak-anaknya. Adi menatap tak percaya Giani yang beberapa saat lalu menyambut kepulangannya dengan hangat. Giani yang buru-buru menyiapkannya teh manis hangat meski raut lelah mengiringi Giani yang terengah-engah. “Sekarang kamu makan dulu, sudah malam pasti kamu capek. Kamu sudah kasih aku dua kata talak, enggak baik kalau aku terus minta kamu buat ngerti. Mengenai anak-anak, nanti aku pelan-pelan kasih mereka pengertian.” Giani meninggalkan Adi yang ada di dapur, Giani memasuki sekat kamar dan membuatnya mendapati wajah-wajah anaknya yang telah terlelap di sana. Maafin Mamah, ya. Tak ada kata lain selain kata maaf yang mampu Giani ucapkan baik pada anak-anaknya, Adi, maupun dirinya sendiri. Kata maaf yang mengiringi penyesalan tak berkesudahan dan membuatnya tidak baik-baik saja. Di lain sisi, Giani bersyukur karena kepulangan Adi selalu larut. Tak terbayang jika anak-anaknya melihat sekaligus mendengar perdebatan Giani dan Adi. Tak terbayang jika mereka yang selalu Giani tanami kata-kata cinta dalam hubungan mereka justru melihat Giani berderai air mata. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN