Sebuah Penyesalan

1800 Kata
Beberapa tahun kemudian .... Elsa menatap nanar brosur salah satu universitas swasta di kotanya itu. Ada beberapa fakultas yang tersedia di universitas yang masih baru hitungannya dibanding beberapa universitas swasta lain di Surakarta. Mamanya menyodorkan brosur itu kepadanya, memintanya memilih satu dari bebrapa fakultas yang tersedia disana. Ia harus kuliah? Ia menatap sang mama yang tengah menggoreng ayam di dapur, adiknya sedang sibuk membuat prakarya, sang papa? Jangan ditanya, ia masih di luar kota tentunya. Papanya bekerja sebagai penyuplai keperluan-keperluan sekolah di daerah-daerah terpencil di Jawa Timur sana. Dan hanya pulang kerumah ketika hari sabtu, dan kembali ke Jawa Timur minggu sore. "Ma, nggak perlu lah Elsa kuliah, Elsa sudah daftar di BKK sekolah, selepas ujian selesai nanti akan ada seleksi, Elsa mau kerja sajalah." guman Elsa lirih, ia tahu diri kok, kondisi ekonomi keluarganya tidak terlalu mendukung bukan? Dan kuliah di universitas swasta? Berapa juta nanti biaya masuk dan persemesternya? "Nak, ambilah. Memang universitas swasta, tapi biayanya murah. Sayang kalau secerdas kamu cuma mandek sampai SMK saja." Anita melirik Elsa yang masih memegang brosur itu di tangannya, ia tahu betul bahwa putrinya itu masih ragu. Murah? Benarkah murah? Kalau benar murah, kenapa tidak ada fakultas kedokterannya? Kenapa hanya ada fakultas ekonomi, hukum dan pertanian juga? Elsa mendadak pedih, dalam hatinya ia masih berharap bisa lanjut kuliah di fakultas kedokteran, menjadi dokter seperti impiannya selama ini. "Sudahlah, papamu juga yang minta. Kuliah ya? Fokus ujian mu saja dan jangan pikirkan apapun!" guman Anita mengultimatum, ia kemudian kembali serius memasak. Meninggalkan Elsa yang masih berkecamuk dengan pikirannya sendiri. "Elsa pikir-pikir dulu lah, Ma!" guman Elsa kemudian. Elsa menghela nafas panjang, ia mengangguk patuh kemudian bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ia meletakkan brosur itu di atas meja belajar. Matanya memanas, ia masih berharap bisa menjadi dokter, meskipun nampak tidak mungkin namun asa dalam hatinya itu tidak mau padam. Asa itu masih menyala di dalam hatinya. Elsa duduk di tepi ranjang. Minggu depan ia sudah ujian nasional. Sebentar lagi ia lulus SMK. Semenjak kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika kenyataan begitu kejam menindas semua harapannya, Elsa jadi sama sekali tidak semangat sekolah. Ia jadi sering bolos, entah bolos sekolah atau bolos di jam pelajaran tertentu. Buat apa sekolah pintar-pintar kalau akhirnya dia tidak bisa jadi seperti apa yang dia mau? Itu prinsip yang Elsa pegang semenjak kenyataan itu menindas impiannya dengan begitu kejam. Keluar masuk BP/BK adalah hobinya. Dari sekian ratus siswa, dia masuk jadi siswi langganan diundang ke masuk ke ruang yang paling horor dan ditakuti seantero sekolah. Ia hampir kena D.O, kalau saja beberapa guru mata pelajaran tidak membelanya saat rapat kenaikan kelas, ia tahu betul itu. Reputasinya sebagai tukang bolos mengalahkan ketenarannya Dani, siswa paling rusuh dan tukang bikin onar. Kalau Dani, sudah tukang bikin onar, nilainya tidak pernah bagus, berbeda dengan Elsa. Oleh karena itu perbincangan mengenai Elsa lebih ramai di kalangan siswa dan para guru. "Kamu sebenarnya pintar, tapi kenapa sih nggak pernah mau masuk sekolah?" begitulah komentar beberapa guru terhadap dirinya. Banyak pula yang mengancam dan menakuti-nakuti Elsa bahwa ia tidak akan naik kelas jika terus hobi membolos. Namun nyatanya hampir semua guru mata pelajaran membelanya di rapat pleno kenaikan kelas. Karena meskipun sering bolos, tugas tidak pernah lupa ia kerjakan dan nilainya? Jangan ditanya! Selalu sempurna. "Bapak kagum sama kamu, El. Bapak harap setelah ini kamu bisa berubah, masuk SMA dan bisa lanjut kuliah. Sukur-sukur kamu bisa masuk fakultas kedokteran, kamu mampu kok, bapak bisa lihat potensi kamu." Itu kalimat yang keluar dari Pak Mulyono, guru biologi Elsa semasa SMP dulu, ketika ia kemudian dinyatakan naik kelas setelah beberapa guru menggosipkan kemungkinan dia tinggal kelas karena sering bolos. Ia memang terkenal sangat menonjol di beberapa mata pelajaran, terutama biologi dan bahasa Inggris. Hampir semua guru sayang padanya, namun hobinya tidak berubah, suka bolos, dan tiba-tiba hilang ketika ganti jam pelajaran. Semua teman-temannya sudah hafal betul itu. Dan ketika ia lulus SMP, keinginan masuk SMA mendadak lenyap. Tawaran salah seorang tetangga yang merupakan karyawan di salah satu SMK negeri favorit di kotanya membuat keyakinannya goyah. Sekolah tiga tahun tanpa membayar sepeserpun? Siapa yang tidak mau? Akhirnya ia masuk juga di SMK negeri itu. Masuk dan bertahan sampai sekarang. Setelah SMK, Elsa sembuh? Tidak juga! Rapornya selalu tertulis pengawasan khusus. Rekor akumulasi catatan alpa-nya tertinggi adalah empat belas hari. Sakit sepuluh hari, padahal ia tidak benar-benar sakit, belum surat izin palsu. Elsa benar-benar sudah tidak semangat lagi. Rasanya ia sia-sia sudah bersekolah, sia-sia dia pintar dan cerdas seperti yang dipujikan beberapa orang kepadanya, semua sia-sia jika pada akhirnya ia tidak bisa menjadi seperti apa yang dia mau. Elsa hendak memejamkan matanya ketika ponsel Made in China-nya itu berdering begitu nyaring. Elsa meraih benda itu dan tertegun ketika mendapati nomor Bu Rina-lah yang muncul, guru BP/BK yang sudah sangat sabar menangani dan membimbing dia sejak kelas sepuluh. Ada apa gerangan? Sampai Bu Rina meneleponnya? Rasanya ia sudah tidak lagi membuat masalah di detik-detik menjelang ujian ini. "Hallo, selamat siang Bu." "Elsa, besok temui ibu di ruang BP/BK, bawa fotokopi KK dan KTP orang tua. Sama jangan lupa transkrip nilai rapor dari semester satu ya." titah suara itu begitu tegas tapi lembut. Elsa mengerutkan keningnya, ia bergegas mencari kertas dan bolpoin untuk mencatat semua berkas yang diminta guru BP/BK-nya itu. Bawa fotokopi KK dan KTP orang tua? Untuk apa? "Baik, tapi sebelumnya kalau boleh tahu untuk apa ya, Bu?" Elsa selesai mencatat semua berkas-berkas itu, ia masih penasaran kenapa ia harus mengumpulkan semua itu? Untuk beasiswa lagi? Tapi kan dia mau lulus? Masa iya masih mau dapat beasiswa dari sekolah? "Kamu masuk salah satu siswa yang mau sekolah ikutkan Bidikmisi dan SNMPTN, besok saja ibu tunggu di ruang BP/BK nanti ibu jelaskan semuanya biar Elsa paham dan tidak bingung, oke?" SNMPTN? Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri? Astaga, bisakah ia lolos? Namun apa salahnya mencoba bukan? Dan oh ya, PTN ... PTN di Solo punya fakultas kedokteran bukan? Apakah kemudian nanti dia bisa ikut seleksi masuk ke sana? Dan Bidikmisi? Bidikmisi adalah beasiswa dari Dikti untuk mahasiswa tidak mampu lanjut kuliah bukan? Dimana semua biaya kuliah ditanggung oleh Dikti dan peserta Bidikmisi masih akan mendapat uang saku perbulan? Kalau ia bisa dapat Bidikmisi, berarti ia bisa kuliah gratis bukan? "Elsa, masih dengar ibu?" Sontak Elsa terkejut, ia masih melamun sementara di seberang sana masih menunggu guru BP/BK-nya itu. "Eh-iya Bu, maaf tadi Elsa catat hal-hal apa saja yang besok perlu Elsa bawa. Baik besok Elsa temui ibu di BP/BK ya, Bu." "Ok, ibu tutup dulu ya." Tut. Elsa sontak bangkit, ia bergegas menyambar kunci motornya dan melangkah keluar kamarnya. Ia harus pergi mencari tahu perihal syarat-syarat yang diperlukan untuk masuk fakultas kedokteran. Bidikmisi, itulah harapannya untuk bisa meraih mimpinya! Harapannya untuk kemudian bisa menjadi dokter seperti cita-cita masa kecilnya dulu. "Nak, mau kemana?" tanya Anita yang sudah selesai menyiapkan makan siang ketika melihat Elsa tergesa-gesa keluar dari kamarnya. "Ma, dapat tugas nih barusan guru telepon, izin ke warnet sebentar!" Elsa sudah buru-buru meraih helm dan melesat keluar, ia begitu bersemangat sampai mengabaikan perutnya yang sebenarnya sudah keroncongna itu. "Kamu nggak makan siang dulu?" teriak Anita yang masih mencoba nego. "Nanti saja, ini penting banget, Ma!" Elsa langsung menstater motornya dan meninggalkan halaman rumah. Ia harus cari info sebanyak-banyaknya, masih ada harapan bukan? Ia yakin bahwa ia masih punya harapan. Sedetik kemudian Elsa menyesal, kenapa ia tidak belajar sungguh-sungguh? Kenapa ia jadi suka bolos? Nilai rapornya jadi tidak sempurna karena presensi Elsa yang sering bolong itu. Seandainya ia rajin masuk, tentu ia bisa meraih nilai sempurna bukan? Namun ia tidak boleh menyerah, ia harus mencoba dulu! Elsa memarkirkan motornya di depan kios warnet itu, melepas helmnya dan bergegas masuk ke dalam. Ia memilih biling yang masih kosong, dan bergegas memasukkan nama untuk bisa mengakses internet. Syarat masuk fakultas kedokteran, itulah yang pertama kali dia cari. Ia begitu bersemangat ketika kemudian ia menemukan hasil scan surat edaran dari Konsil Kedokteran Indonesia itu. Senyumnya lenyap, matanya berkaca-kaca. Dan untuk pertama kalinya ia mengutuk keputusannya masuk SMK ketika lulus SMP dulu. *** Dokter Rino membetulkan letak kacamatanya, ia tampak menghela nafas panjang. Keringat dingin mulai mengucur dari dahinya. Bukan apa-apa, masalahnya orang tua pasien yang sedang ia tangani itu selain dokter senior, tapi juga pemilik rumah sakit tempat ia dinas. Dan sekarang ia hendak menanyakan sesuatu yang sangat sensitif kepada beliau, bagaimana dia tidak berkeringat dingin? "Bagaimana Dokter? Jadi apakah salah satu dari kami bisa menjadi pendonornya?" tampak sosok itu bertanya penuh harap, membuat d**a Rino makin sesak, jantungnya berdegub kencang. "Sebelumnya saya minta maaf, Dokter. Saya minta maaf kalau pertanyaan saja sedikit mengejutkan, namun saya terpaksa mempertanyakan hal ini," Rino mengangkat wajahnya, menatap sepasang suami isteri yang juga memakai seragam yang sama dengannya. "Apa yang ingin Anda tanyakan, Dokter?" Dokter Angela, pediatric senior itu mengerutkan keningnya, ia tampak sangat tegang. "Jangan sungkan, Dok. Tanyakan saja apa yang hendak Anda tanyakan." Dokter Bastian, seorang dokter bedah toraks kardiovaskular itu sama tegangnya. "Bisa saya minta agar Anda berdua menjalani tes DNA?" jantung Rino berdetak dua kali lebih cepat, keringat dingin makin deras mengalir. Ia yakin setelah ini dua orang dokter senior itu akan murka. "Tes DNA? Apa maksud Anda, Dokter?" tampak suara Dokter Bastian meninggi. "Sebelumnya saya minta maaf kalau saya lancang, Dok. Hanya saja saya curiga bahwa tidak ada kecocokan DNA antara putri Dokter dengan ...." "Jadi Anda pikir bahwa Vanessa bukan anak kandung saya?" Dokter Bastian memucat, ia sontak melirik sang isteri yang duduk di sebelahnya itu. "Baru dugaan saya, saya hanya ingin menguatkan dugaan saya, Dok. Karena bukan hanya ketiga kakaknya yang tidak bisa menjadi pendonor untuk Vanessa, tapi Anda berdua juga tidak bisa, Dok." "Tapi saya tidak pernah tidur dengan laki-laki lain selain suami saya, dan saya sendiri yang hamil dan melahirkan Vanessa, sama seperti ketiga kakaknya, bagaimana bisa ketiga kakaknya bahkan saya ibu kandungnya sendiri tidak bisa mendonorkan sumsung tulang belakang untuk dia, Dokter?" Tampak Rino menghela nafas panjang, "Untuk itu saya perlu melakukan tes DNA untuk menguatkan semua diganosa dan dugaan saya, Dok. Itu pun kalau Anda tidak keberatan." "Tidak, saya sama sekali tidak keberatan, Dok. Kapan pengambilan sampel untuk tesnya?" Dokter Angela langsung setuju, ia sama sekali tidak pernah menyimpang dari suaminya, tentu ia ingin buktikan bahwa Vanessa, putri mereka satu-satunya yang didiagnosis leukimia itu adalah sebenar-benarnya anak Bastian, sang suami. "Hari ini bisa, nanti biar saya buatkan surat pengantar untuk laboratorium." "Baik saya setuju!" kembali Dokter Angela bersuara, sementara Dokter Bastian hanya membisu di tempatnya duduk. Membuat suasana di dalam ruangan itu makin dingin dan mencengkam. Rino mengangguk pelan, ia bergegas menyiapkan segala dokumen dan prosedur yang diperlukan untuk menjalani tes DNA itu. Bukan apa-apa, hanya saja ia benar-benar curiga bahwa Vanessa tidak memiliki hubungan darah dengan seniornya ini. Kalaupun ia anak kandung dari Dokter Angela, tentu sumsung tulang belakang pediatric itu bisa kan didonorkan untuk Vanessa, tapi ini tidak! Jadi pertanyaannya, Vanessa anak siapa?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN