RATNA
Lengkuhan panjang tertahan ketika goyangan pinggul Ratna menerjang kejantanan Buyung. Mata hitam semu coklatnya mengerjap ketika lidah Buyung mengisap p****g s**u yang tersedia di hadapannya. Ratna menyukai posisi itu ketika dirinya berada di pangkuan Buyung layaknya seorang ksatria yang menunggang Kuda. Jariknya tersingkap sepanjang pinggul dan kancing kebaya-nya terbuka. Kembennya melorot sehingga kedua p****g susunya mengintip separuh di balik kain kembennya.
Buyung tahu benar apa yang disukai oleh sang Raden Ajeng sehingga lidahnya mencari bagian dimana ia selalu memainkan peranannya. Sudah dari sejak dulu mereka memainkan permainan kuda-kudaan ini.
Bagas, itu nama asli Buyung. Ia dipanggil buyung karena kakeknya memanggilnya seperti itu. Ia adalah cucu seorang abdi dalem Kedaton dan orang tua meninggal semenjak ia kecil. Ia lebih muda dua tahun dengan Ratna putri seorang penguasa Ardaka. Wajah Buyung lebar dengan bibir tebal, kulitnya hitam dengan perut sedikit tambun. Rambutnya keriting dan Ratna sering menarik-nariknya karena lucu.
Pertemanan mereka sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Tepatnya ketika Ratna berusia 6 tahun. Prabu Yudha Aryawangsa terlalu sibuk dengan Kedaton-nya. Ibundanya juga tak begitu mempedulikan putrinya, ibunda hanya mempedulikan Raden Mas Pangeran Sahastra, kakak kandungnya yang suatu saat akan menjadi seorang Prabu di Kedaton Ardaka dan penguasa tanah Jawadwipa. Hal itu membuat Ratna hanya punya satu teman, yaitu Buyung.
Di usia belia mereka bermain layaknya anak-anak biasa. Namun ketika usia Ratna menginjak 14 tahun. Permainan mereka berubah, apalagi ketika Ratna mulai mengeluarkan darah haidnya. Cerita menyenangkan itu bermula ketika Ratna menyeleseikan haid pertamanya. Ia senang karena perutnya tak lagi sakit dan ia bisa bermain kembali. Namun rasa lain mendera Ratna muda saat itu. Daerah kewanitaan Ratna begitu gatal tak tertahankan. Ia malu untuk mengatakannya kepada para dayang-nya. Tetapi justru ia malah menceritakannya kepada Buyung. Teman kecilnya yang selalu setia menemaninya.
“Jika gatal digaruk saja!” Ujar Buyung lugu yang masih berusia 12 tahun sembari memainkan mainan tanah liatnya.
“Sudah, tapi sakit jika terkena jari.” Bisik Ratna sambil mendesis ringan karena rasa gatal menggelayut di daerah kewanitaanya.
“Coba kulihat,” Kata Buyung yang lugu.
“Tidak, bodoh kau!” Sergah Ratna yang pipinya terlihat memerah padam. Lalu tangan Ratna berontak menarik rambut si Buyung yang ikal.
“Aduh, sakit!” Keluh Buyung yang merapikan rambutnya. Sebenarnya walau sudah dirapikan tetap saja berantakan. Untung saja Ki Harsono, kakek Buyung selalu mencukur rambut buyung ketika keritingnya sudah tak karuan.
Ratna sadar bahwa mungkin Buyung dapat membantu mengatasi rasa gatal yang mendera. Sejenak ia berpikir, “coba saja! Mungkin Buyung tahu obatnya. Kakeknya adalah seorang Amangkurat, dan ia bertugas sebagai penyembuh di Astana ini.” Ratna berkata dengan dirinya sendiri.
Lalu dengan lugasnya ia berdiri di hadapan Buyung. Ia menarik kain jariknya tinggi-tinggi dan memperlihatkan bagian kewanitaannya kepada si Buyung. Seketika, belahan merah jambu dengan bulu halus tipis terlihat oleh mata Buyung masih lugu.
Mata Buyung menatap nanar dan penuh keheranan kearah bulu-bulu j****t yang baru tumbuh itu. Buyung hanya terdiam dan meletakan mainan tanah liatnya.
“Lihat, merah seperti ini.” Ujar Ratna sembari mengusap daerah kewanitaannya.
Buyung hanya menggumam saja, “hmn.” Matanya tetap menatap kearah kewanitaan Ratna tanpa berkedip sedikitpun.
“Sekarang kau mau apa!?” Seru Ratna. Seruannya membuat Buyung terperanjat.
Lalu Buyung berbicara, “aku pernah melihat kakek melakukan pengobatan ini sebelumnya. Kalau tidak salah, Nyi Asri yang sedang sakit waktu itu.”
“Terus-terus,” sela Ratna yang menurunkan kembali jariknya. Ia kembali duduk di lantai menatap serius kearah Buyung.
“Saat itu tengah malam, aku keluar kamar untuk kencing. Aku melihat kakek sedang menjilati bagian itunya Nyi Asri.” Ujar Buyung sembari menunjuk bagian kewanitaan Ratna yang sudah tertutup oleh jariknya. “Aku melihat Nyi Asri tersenyum, mungkin pengobatan kakek berhasil.”
“Menjilati bagian ini ya,” ulang Ratna sembari menatap kosong ke arah mainan tanah liatnya.
Buyung yang lugu kembali berpaling ke mainannya lagi. Ia tak tahu bahwa ketika itu kakeknya sedang bercinta dengan Nyi Asri. Ki Harsono menjilat lembabnya daerah kewanitaan Nyi Asri yang tersenyum penuh kenikmatan. Nyi Asri adalah salah seorang dayang di Kedaton. Suaminya sudah uzur dan sakit-sakitan. Anak-anaknya bergabung menjadi prajurit dan dua diantara telah tewas di medan pertempuran. Tak ada yang perlu ia pikirkan lagi kecuali mencari kesenangan sendiri.
Kembali lagi ke Buyung dan Ratna. Ia sedang berpikir bagaimana caranya untuk meredam rasa gatal ini. Jika ia berbicara pada Ki Harsono, tentu saja ia akan malu dengan penyakitnya ini. Ratna terlihat pemalu jika bertemu orang lain. Namun dengan Buyung, ia selalu bercerita apapun, bahkan untuk rahasia seintim ini.
Lalu, Ratna memutuskan, “sekarang, kau harus jilat anu-ku!”
Buyung terkejut, matanya yang lebar semakin lebar ketika mendengar itu, “tidak ah! Bau!”
“Hey, aku seorang Raden Ayu disini. Aku putri Prabu Yudha Aryawangsa, Pemimpin Kedaton Ardaka, Titisan Raja Mataram Lama dan Penguasa Jawadwipa.” Ratna mengancam Buyung atas nama ayahnya, “kau harus menuruti semua perintahku!? Jika tak ingin dipasung selamanya!”
Buyung beringsut lesu, ia meletakan kembali mainan tanah liatnya. Buyung menatap Ratna yang melipat tangan di dadanya sembari menatap keji kearahnya.
Buyung menggaruk-garuk rambut ikalnya ketika Ratna mulai berdiri di hadapannya. Ia merasa, Ratna selalu menindas dirinya. Bahkan ketika ia menyimpan mainan baru, Ratna selalu tahu dan memintanya. Tentu saja dengan cara menyebut nama sang ayah. Tetapi Ratna adalah teman yang baik, Ratna gemar membagi apa saja ke dirinya, termasuk membagi rahasianya.
“Ayo! Tunggu apa lagi!” Bisik Ratna yang menyodorkan liang kewanitaan ranumnya kearah Buyung.
Buyung yang bingung memperhatikan sekitar. Setelah dirasa sepi, Buyung mendekatkan wajah tembemnya ke bagian sensitif milik Ratna. Sejenak ia mengendus aroma anyir aneh yang muncul dari balik lipatan keperawanan itu. Buyung lalu menyentuhkan ujung hidungnya ke bagian bibir kewanitaan itu.
Darah Ratna berpacu cepat seiring dengan detakan jantungnya yang menyusuri setiap denyut nadinya. Wajahnya memerah diikuti nafasnya yang tertahan. Lalu Ratna mendengus ketika Buyung menyapukan lidahnya searah dengan daerah kewanitaan Ratna. Rasa nikmat sesaat menjangkiti tubuh Ratna. Gatal yang melanda berubah menjadi rasa geli yang berujung dengan rasa getir antara keraguan dan kenikmatan.
“Ishh, menjijikan.” Buyung melepaskan jilatannya dan mengusap lidahnya sendiri.
Ratna merasa kesal dengan si Buyung yang menghentikan perlakuannya. Lalu dengan paksa Ratna menjambak rambut ikalnya dan membenamkan wajah Buyung di sela-sela pahanya.
“Hppfff,” Buyung mengeluh, namun mulutnya bungkam oleh liang kewanitaan milik Ratna.
Terpaksa, Buyung menjilati kembali liang kewanitaan Ratna. Rasa aneh melanda Buyung yang kala itu masih berusia 12 tahun. Kini ia tak menolak paksaan dari Ratna, malah Buyung seakan terbius oleh aroma aneh yang menguar dari liang kewanitaan gadis muda itu.
Tubuh Ratna seakan melayang ketika mendapati lidah Buyung seakan merangsek memasuki liang kewanitaanya. Bulu halusnya serasa basah oleh lendirnya dan air liur si Buyung. Dengusan lirih terasa menguarkan nafas panas yang menyiring di kedua hidungnya. Matanya membelalak menatap wajah Buyung memerah padam. Mata Buyung tertutup seakan menikmat lubang kewanitaan Ratna yang sedang dipermainkannya.
Saat itulah, Ratna dan Buyung memperoleh kenikmatan perdananya. Setelah itu, mereka lebih banyak diperdaya oleh nafsu belaka. Buah d**a Ratna begitu mengkal karena bertahun-tahun Buyung menyusu kepadanya, walau tak setetespun air susunya keluar dari p****g kecilnya. Ketika para dayang pergi meninggalkan mereka, saat itulah Ratna yang masih belia membuka kembennya dan membiarkan Buyung memainkan putingnya. Terkadang mereka melakukannya di gudang penyimpanan, taman Palasari atau di segala tempat yang hanya ada mereka berdua.
Sudah empat tahun berlalu dan Ratna sudah sangat dewasa. Usianya 18 tahun dengan tubuh semolek p*****r dari Kampung Baru. Namun ia seorang Raden Ajeng, kemolekan tubuhnya disebabkan oleh rangsangan belia yang diberikan oleh teman kecilnya itu.
Tentu saja, Buyung masih berusia 16 tahun dan ia sekarang di tempatkan sebagai pengurus kuda. Bermain dengan Ratna sudah bukan pekerjaannya lagi, namun sesekali Ratna mendatanginya untuk merasakan b***************n si Buyung yang tegak lurus menantangnya.
Seperti saat ini. Di sebuah bilik istal kuda. Mereka berdua yang sangat berbeda kasta~~sedang bercinta. Jerami menjadi alasnya dan ringkikan kuda bersatu dengan dengusan nafas mereka.
“Ahhhh,, shhhh,, ouuuhhh!” Desah Ratna yang sedang menunggangi Buyung.
Batang kejantanan Buyung sesekali terlihat ketika Ratna mengangkat pinggulnya. Lalu tenggelam kembali ke dalam liang kewanitaan Ratna. Cairan melapisi b***************n Buyung, menandakan sudah beberapa kali Ratna mencapai puncaknya. Buyung terlihat sangat terlatih dengan kegiatan panas ini. Sesekali Buyung menekan pinggang Ratna, sehingga kocokan Ratna terhenti. Lalu Buyung bereaksi dengan menghujamkan kejantanannya secara cepat ke lubang kenikmatan itu.
Ratna hanya bisa merasakan getaran birahi ketika Buyung melancarkan serangannya. Tubuhnya bergetar seiring dengan cipakan antara tepukan pinggulnya. Ketika Buyung melakukan hal itu, Ratna selalu mencapai puncaknya. Sehingga ia tertelungkup membenamkan wajah Buyung di buah dadanya, sembari berbisik, “auhhhh,, enaaaakkk, sudah Buyung,,,, akuuuhhhh keluarrr!”
Keluhan Ratna tak sedikitpun didengar oleh Buyung. Malah Buyung semakin mempercepat gerakan pinggulnya. Ratna mendesis tak karuan sembari merasakan gigitan diantara p****g susunya.
Lalu Buyung sejenak menghentikan perlakuannya. Lendir menetes di sela pahanya, bukan lendirnya, tetapi milik Ratna. Rasanya hangat mengeluarkan aroma anyir menggoda.
“Kamu kuat sekali, Buyung sayang!” ujar Ratna sembari mengikat rambutnya. Sehingga d**a mengkalnya menjadi incaran sesapan Buyung yang tergoda. Ratna sudah biasa membiarkan Buyung menghisap payudaranya. Buyung dengan kasar dan rakus seakan mengunyah p****g s**u milik Ratna, seperti ingin memakannya. “Auhh,,, pelan-pelan.”
Buyung melirik wajah Ratna yang memerah padam. Senyumnya membawa arti lebih di dalam diri Buyung. Ia adalah b***k sang Raden Ayu-nya. Tugasnya sekarang hanyalah melampiaskan nafsu b***t majikannya itu.
Dari sela lumatan bibirnya di buah d**a Ratna, Buyung berkata, “Raden Ayu masih kuat?”
Siang itu, Buyung menumpahkan cairan maninya tepat diatas perut Ratna. Desahan mereka tertahan merasakan getaran birahi yang tertumpah. Nafas Buyung bergetar mengelabuhi setiap akal sehatinya.
Di istal kuda itu. Ratna membenahi pakaiannya. Kemben dan stagennya harus diikat ulang berikut dengan jarik batiknya. Peluh membasahi sekitar ketiak di baju kebaya transparannya dan ia harus menyangguknya kembali.
Buyung masih terbaring terlentang di atas tumpukan jerami. Nafasnya terengah merasakan getiran nafsu yang menguap di angannya. d**a bidangnya bergerak mengikuti setiap udara panas yang memasuki sela hidungnya.
Ratna harus bergegas, jika tak ingin ketahuan oleh pihak Astana Kedaton. “Aku akan mendatangimu! satu purnama lagi,” bisik Ratna yang mencium bibir tebal milik Buyung.
•••
Ratna Raswati Aryawangsa, gadis berusia 18 tahun dan seorang raden ajeng di Kedaton Ardaka. Ayahnya adalah Prabu Yudha Aryawangsa dan ibunya Kanjeng Ratu Padmi Aryawangsa. Ia mempunyai seorang kakak lelaki bernama Raden Mas Pangeran Sahastra Aryawangsa.
Beruntung, ia terlahir sebagai salah satu putri Kedaton Ardaka yang berkuasa di seluruh Jawadwipa. Walau ia berada di balik bayang kakaknya yang akan menjadi penguasa selanjutnya. Ibunya berpesan bahwa kelak Ratna akan menjadi salah satu istri dari seorang Adipati di Kadipaten kekuasaan Kedaton Ardaka. Namun ia hanya bersungut saja mendengar perkataan ibunya. Selama ini, tak ada cinta yang bergelayut di hatinya. Namun nafsu membara selalu mendatangi setiap malamnya.
Wajah Ratna cukup dewasa dengan tahi lalat kecil di atas bibir kirinya. Bibirnya lentik dan membuat pria mana saja terpesona kepadanya. Rambutnya selalu tersanggul rapi layaknya seorang putri, lalu kebaya yang ia kenakan berbahan sutra asli dengan motif bunga-bunga transparan. Sehingga buah d**a mengkalnya tercetak jelas di setiap mata yang memandang, apalagi pria. Ketika ia berjalan, lenggokan pinggulnya bergerak seirama dengan setiap keanggunan langkahnya.
Hari ini, setelah menuntaskan emosi nafsunya di kandang kuda bersama Buyung yang sangat beruntung, Ratna berjalan menyusuri koridor Astana Ardaka yang bertiang kayu Ulin terpelamir mengkilat. Dindingnya juga dari kayu jati ukir dan atap-atap Astana berbentuk joglo yang meneduhkan. Kakinya pegal karena guncangan otot yang mendera barusan. Namun ia harus berlaku layaknya seorang Raden Ayu yang anggun. Ia melewati taman Palasari, taman bunga indah yang membentang tepat di dalam benteng Astana. Tiba-tiba, seorang dayang mendatangi Ratna.
“Raden Ayu Ratna,” panggil dayangnya yang bernama Darmi. Sejenak Ratna berbalik mendapati salah satu dayang mencarinya. Nafas Darmi mendesak kedua buah d**a besarnya yang hanya tertutup kain kemben tipis berwarna abu. Seperti itulah pakaian para dayang. Mereka mengenakan jarik lusuh dengan ikatan kain stagen tipis, lalu kemben menutupi buah dadanya, biasanya mereka mengenakan kain berwarna abu untuk menutupi salah satu lengan dan sebagian dadanya. Rambutnya terkucir namun tak seperti sanggul para Raden Ayu. Terkadang para Dayang yang masih muda menggerai rambutnya tanpa mengikatnya.
“Ada apa, Darmi?” Ungkap Ratna dengan nada bicara yang anggun. Walau rasa gugup melanda hatinya. Ia berpikir bahwa mungkin dayangnya ini curiga dengan kehilangannya.
“Kanjeng Gusti Prabu memanggil anda, Gusti Raden Ayu.” Ujar sang dayang sembari menunduk ke arah majikannya.
Sontak, rasa gugup melanda tubuh Ratna. Hatinya bergejolak dan pikirannya beraneka ragam. Apakah sang ayah mengetahui hubungannya dengan seorang kacung pengurus kuda? atau ada sesuatu hal lain yang membuat sang Prabu memanggilnya? Ia tak pernah yakin dengan semua itu.
“Aku harus mandi terlebih dahulu,” kata Ratna lagi. Aroma sangit dari jerami menghinggapi kulit kuning langsatnya. Belum lagi serpihan lembut jerami itu membuat gatal sekujur tubuh sintalnya.
“Hmn, maaf den ayu. Gusti Kanjeng Prabu sudah menunggu anda sejak lama.” Cegah sang dayang.
Ratna melemah, nafasnya mendengus kesal dengan perintah ayahnya. Perintah sang Prabu merupakan tugas dan tugas harus dikerjakan. Tidak terkecuali putri kecilnya yang telah dewasa ini. Ia berpikir sejenak, namun tak ada pilihan lain menemui sang ayah sekarang juga.
“Baik, antar aku.” Kata Ratna dengan ketegasannya. Sang dayang mengangguk pelan lalu berbalik membimbing majikannya menemui ayahnya.
Langkah sang dayang terlihat lebih cepat dari biasanya. Ratna menyangka bahwa perintah ini perintah yang penting sehingga dayang berusia setengah baya itu mempercepat langkahnya. Mereka melewati taman Palasari dan berjalan menyusuri koridor-koridor bertiang kayu dan beratapkan Joglo. Di ujung jalan itu, terdapat sebuah pintu besar dengan pahatan batu yang indah. Dua ekor badak bercula satu berdiri berdampingan membentuk sebuah arca yang menakutkan.
Dahulu Ratna takut dengan patung-patung menyeramkan itu, namun sang ibu menceritakan bahwa badak tak sepenuhnya menakutkan. Badak bercula satu hanya makan dedaunan. Mereka adalah pelindung hutan dari kebakaran. Jadi jangan menyalakan api terlalu besar jika berada di hutan, atau badak akan datang untuk mematikannya.
Ratna melewati kedua arca badak itu dan memasuki bangunan tempat Prabu berada. Tirai-tirai sutra bergelantungan membendung pandangan dari luar. Angin menyentuh tirai-tirai itu dan membuatnya bergelayut mesra. Ratna tak sekalipun menghindari gelayutan sutra-sutra halus itu. Ia membiarkan tubuhnya tersentuh, rasanya begitu lembut seperti berjalan di tengah guyuran air yang tak membasahi tubuhnya. Di tengah ruangan, ia melihat sang Ayah, Prabu Yudha Aryawangsa bersama kakaknya Raden Mas Pangeran Sahastra. Sang Prabu duduk diatas sebuah kursi dengan bantal lembut menumpu kakinya dan sang kakak Sahastra sepertinya barusaja membasuh telapak kaki sang ayah. Tradisi itu turun temurun dilakukan oleh pihak Kedaton Ardaka. Mereka para anak diharuskan membasuh telapak kaki orang tuanya dengan maksud mendidik sang anak agar lebih berbakti kepada orang tuanya.
Namun Ratna memandang kecut tradisi itu. Menurutnya, orang tuanya bisa membasuh kakinya sendiri. Apalagi ayahnya adalah seorang raja, ia dapat menyuruh siapa saja untuk membasuh kakinya.
Mata sang Prabu tertuju kepada Ratna yang berjalan mengendap dan menunduk mendekati sang ayah. Mata Prabu berubah sayu, alis tebalnya melengkung mengikuti celah matanya dan bibirnya tersenyum melihat kesantunan kedua anaknya itu. Kumisnya terkucir rapi membentuk cekungan di atas bibir lembutnya. Prabu Aryawangsa mengenakan beskap berwarna putih dengan corak burung batik berbunga, topi blangkonnya membuatnya lebih tampan di usianya yang menginjak kepala lima. Cincin berbatu akik bermata ungu membelenggu jarinya.
Sedangkan sang kakak, Raden Mas Sahastra Aryawangsa mengenakan beskap berwarna hitam sempurna. Topi blangkon bercorak batik coklat dan kain jarik sebatas lututnya. Walau pribadinya anggun dan tenang, namun ia baru saja menyeleseikan gelar krprajuritannya. Keahliannya adalah menggunakan tombak dan berkuda. Menurut Hastra, ia senang berada di garis depan. Maka dari itu, ia memilih berlatih dengan tombak dan pedangnya, agar ia dapat melihat kematian di mata-mata musuhnya.
Dalam keheningan dan suasana penuh khikmat itu. Prabu mulai berbicara, “kalian berdua, dengarkanlah?”
Tak ada yang berani menjawab perkataan dari seorang prabu. Mereka yang mendengar hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan oleh prabu. Hastra mendekati adik perempuannya yang sudah duduk di persimpuhan sang ayahanda.
“Wahai putra dan putriku, Hastra dan Ratna,” sapa sang Prabu dengan perangai lembut. “Tahukah engkau mengenai Raden Rangga Wirya yang mangkat satu purnama lalu.”
Mereka berdua sebagai anak tak harus menjawab, mereka hanya perlu menundukan kepala untuk menyahut pertanyaan sang Prabu.
“Sudah 40 hari semejak pemakamannya, tetapi Kedaton ini tak jua mendapati seorang Mangkubumi yang baru.” Ujar sang Prabu yang mulai serius, “satu minggu lagi, aku, ibumu dan Ratna putriku akan mengunjungi Kadipaten Yudanta. Kita akan mengunjungi keluarga Abikusno. Dan bapak akan meminta Raden Abikusno untuk menjadi mangkubumi di kedaton ini.”
Ratna senang-senang saja pergi bersama ayah dan ibunya untuk membicarakan tentang masalah Kedaton yang tak begitu ia hiraukan. Namun janjinya dengan Buyung bisa saja tertunda. Lamanya perjalanan dan perundingan akan memakan waktu dua purnama. Tetapi harapan masih tersisa, mungkin saja sang Prabu mengajak Buyung mengikuti perjalanan ke Yudanta. Buyung adalah salah satu pengurus kuda yang tahu benar bagaimana kuda-kuda Kedaton diperlakukan. Bahkan ia juga tahu benar bagaimana caranya memperlakukan Ratna layaknya seekor kuda.
“Engkau, Ratna putriku. Engkau sudah cukup dewasa untuk menikah. Ayah mendengar, Raden Abikusno memiliki seorang putra yang gagah berani. Kuharap engkau bersedia menjalin hubungan dengan putranya. Demi kelangsungan dan keutuhan Kedaton ini.” Tambah sang prabu.
Tubuh Ratna seperti tersengat petir. Nafasnya tercekat dan tangannya mengepal. Namun ia tak kuasa mengatakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Keputusan Prabu adalah mutlak adanya, apabila ia tak ingin dicoret dari garis keturunan ningrat Kedaton Ardaka.
Hastra melirik kearah Ratna yang tegang. Ia tahu bahwa sang adik tak bersedia dinikahkan secara paksa. Ia juga tahu bahwa sang adik punya sejuta rahasia yang membelenggu pikirannya. Namun Hastra sama saja, ia hanya dapat terdiam mendengar perkataan sang ayah.
“Dan engkau, Raden Mas Pangeran Sahastra Aryawangsa, penerus takhta kedaton Ardaka. Tepat satu purnama lagi, usiamu sudah menginjak 20 tahun. Aku juga mendengar, Raden Abikusno juga mempunyai seorang putri yang cantik jelita. Kuharap, aku bisa memboyong kemari untukmu.” Pungkas sang prabu.
Hastra tak bereaksi apa-apa. Ia sadar bahwa hidupnya untuk melayani Kedaton Ardaka. Dinikahkan dengan siapa saja, ia rela. Toh, suatu saat jika Dewa-Dewi menghendakinya menjadi seorang Prabu. Ia bebas memilih beberapa orang selir yang dapat memuaskannya ketika malam tiba.
Hastra mengangkat wajahnya sejenak, lalu berkata, “terima kasih, prabu. Terima kasih, ayahanda.”
Suasana berbeda melingkupi hati Ratna. Ia cemas dan was-was ketika ia harus dinikahkan dengan pria lain. Hal itu bisa saja menyakiti hati Buyung yang telah menjamahi tubuhnya selama bertahun-tahun ini. Jika Buyung terluka, maka ia akan membeberkan aib ke telinga Prabu. Atau keseluruh Kedaton, atau bahkan ke seluruh Jawadwipa. Tetapi bukan itu yang ia permasalahkan, Buyung sudah pasti akan dituduh mencemarkan keluarga Kedaton. Hukuman rajam, gantung dan pancung akan membayanginya~~atau Buyung akan mendapatkan ketiga-tiganya dengan kejam.
Sesaat sebelum mereka keluar dari persinggahan Prabu, Ratna ingin sekali berkata kepada sang Prabu. Namun hakikat dan kodrat mengikat bibirnya. Ia ditakdirkan untuk menjadi seorang ningrat dan ningrat hanya akan kawin dengan seorang ningrat. Kesetaraan membuat kejayaan yang abadi di dalam status strata kehidupan Kedaton Ardaka dan Kadipaten di sekitarnya. Akhirnya, Ratna beserta kakaknya meninggalkan sang Prabu dalam kesendirian menikmati sore harinya.
Ratna tetap mencemaskan apa yang akan terjadi kepada dirinya. Langkahnya sunyi diikuti sang kakak ketika ia melewati sebuah pintu ber-arca badak bercula itu. Lalu keheningan langkah Ratna terhenti ketika sang kakak memanggilnya.
“Ratna adikku,” ujarnya lembut. Namun Ratna berasa lain, ia mendengar kelembutan itu sebagai ejekan kepada dirinya. Mau tak mau, Ratna berbalik menghadap sang kakak.
Sahastra, pemuda calon pewaris tahta Kedaton Ardaka. Wajahnya tegas seperti ayahnya, mata runcing diujungnya seperti ibundanya. Kata orang, setiap wajahnya mewarisi ibundanya. Bibirnya tipis dengan hidung pipih. Kulitnya sawo matang dengan d**a bidang nan kekar. Perangainya halus, namun ganas di medan pertempuran. Ketika ia dibawa ke Mayapada untuk mempelajari pertempuran, ia berhasil menumbangkan tiga prajurit sekaligus. Tetapi menurut cerita, prajurit-prajurit itu takut melawan sang pangeran. Siapa yang berani memukul kepala sang pangeran, itu sama saja dengan menjatuhkan diri ke jurang yang dalam.
Ratna tak bergerak sedikitpun. Perseturuannya dengan sang kakak sudah berlangsung lama. Ia anak kedua dan wanita, sedangkan kakaknya anak pertama dan pria. Sudah pasti seluruh perhatian orang tuanya akan tertuju kepada sang kakak yang dimanja. Bagi Ratna, Hastra hanyalah bayang-bayang saja. Ratna sekarang hanya memikirkan kesenangan sendiri, tanpa memikirkan Kedaton yang pewarisnya akan silih berganti.
“Kangmas tahu, engkau tak setuju dengan perintah Ayahanda, bukan?” Ujar Hastra dengan nada naik-turun seakan kata-kata itu merupakan lelucon bagi Ratna.
“Jika engkau menerima pinangan Abikusno, engkau akan tinggal bersama di Yudanta sana,” ujar Hastra. Lalu Hastra menambahkan sesuatu yang diselingi dengan seringai sinis tepat diwajah Ratna, “dan engkau tak perlu lagi mendatangi si Buyung di kandang kuda.”
Ratna seakan terserang serangan jantung. Nadinya berdenyut cepat seiring dengan wajahnya yang memerah, bagai seluruh darah mengumpul di wajahnya. Ia memberanikan diri untuk menatap wajah kakaknya. Matanya melebar dan bibirnya bergetar. Ia tak sadar bahwa sang kakak mengetahui rahasianya selama ini. Ia ingin sekali mengumpat namun umpatan itu hanya tercetus di batinnya saja. Menurut Ratna, ia pria paling licik yang pernah ada di Jawadwipa. Bagaimana jadinya jika Kedaton ini dipimpin olehnya.
Lalu Hastra tersenyum dengan penuh kemenangan. Sepertinya ia sudah melemahkan adik satu-satunya. “Putra Abikusno pasti sangat tertarik denganmu,” kata-kata Hastra tersebut diselingi dengan sentuhan lembut tangannya di buah d**a mengkal milik Ratna.
Ratna hanya bisa mendesis penuh kebisuan ketika jemari kakaknya meremas buah dadanya beberapa kali, lalu jemari sang kakak menemukan tonjolan p****g s**u yang mencuat. Ratna sadar bahwa buah d**a merupakan kelemahannya, selain hati dan selangkangannya. Namun ia tetap sadar bahwa barusaja sang kakak merendahkannya. Dengan kasar Ratna menepis tangan nakal sang kakak, lalu dengan langkah kesal ia meninggalkan kakaknya.
Sang kakak tak mengindahkan perlakukan kasar adiknya. Hastra menatap tubuh adiknya melangkah pergi, sembari menyiratkan senyum sinis kemenangan. Sudah berjuta-juta kali, ia membuat adiknya menangis. Sekali ini saja, tentu tak akan jadi masalah bagi kelangsungan Kedaton Ardaka.
Ratna melangkah cepat menyusuri setiap koridor Astana. Terdapat sejumlah bangunan di taman Astana Kedaton Ardaka ini. Areal kedaton dikelilingin dinding penghalang yang terbuat dari batuan tebal. Dinding-dinding itu berada diatas perbukitan sehingga membuat setiap musuh berpikir dua kali untuk menyerang. Pintu gerbangnya besar dengan gapura bercorak burung garuda. Tempat di pintu itu, terdapat sebuah taman bunga yang luas, bernama taman Palasari. Taman Palasari dikelilingi oleh beberapa bangunan beratap joglo dan berdinding kayu ulin yang sekuat besi. Setiap bangunan mempunyai fungsi berbeda-beda, diantara sebagai singgasana Prabu, rumah mangkubumi, tempat tidur keluarga, rumah singgah tamu kehormatan, dapur astana, balai pengobatan, ruang prajurit, gudang senjata, kandang kuda dan beberapa bangunan kecil untuk menampung abdi dalem Kedaton. Semua berada dalam satu dinding yang sama, namun atapnya berbeda. Areanya cukup luas sehingga membuat siapa saja tersesat jika pertama memasukinya.
Langkah Ratna terus mengayun ketika ia memilih jalan pintas di tengah taman Palasari. Semerbak harum bunga melati tak membuat hatinya tenang. Malah justru sebaliknya, matanya sembab ketika rimbunnya pekarangan menutupi tubuhnya dari pandangan. Sehingga kesunyian melanda dirinya saat ini.
Ratna tak sanggup lagi menahan tangisnya, sehingga ia menjatuhkan diri diatas jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan yang tercukur rapi. Air matanya meleleh, lalu menetes menyentuh rerumputan. Ia terisak meratapi keputusan sang ayah dan kebiadaban sang kakak. Walau ia tahu, mereka tidak sepenuhnya salah. Ia tak sanggup menahan semuanya, namun ia juga tak sanggup membebankan semuanya ke orang lain. Bisa jadi malah ia membeberkan aib sendiri. Apalagi jika sang ibunda tahu, sudah dipastikan ibu akan marah besar dan mengusirnya pergi dari Kedaton. Hal itu yang selalu ia takutkan, tinggal di luar kedaton dengan segala keterbatasan. Belum lagi ia harus menghadapi perampok dan pemerkosa di pasar kutowinangun. Ratna bergidik ngeri jika memikirkan hal itu.
Malam sunyi menjelang. Saat ini, Ratna ingin mandi di sungai yang tak jauh dari dinding kedaton. Kereta kuda dan para dayang dipersiapkan untuk mengamankan arak-arakan putri sang penguasa. Sorotan mata Ratna seakan kosong menatap jalan setapak yang sunyi. Ia berada di atas tandu yang tertutup oleh dinding kayu jati tebal dengan lubang ukiran, sehingga cahaya rembulan yang terang merangsek memasuki bilik sempit tempat Ratna terduduk lesu. Empat orang kacung mengusung tandu yang berat itu dan delapan prajurit penjaga dengan siaga mengamati setiap pergerakan di luar sana. Tiga orang dayang mengikuti pelan disamping kacung-kacung pembawa tandu itu.
Setelah sampai di tepi sungai, para penjaga memastikan tiada seorangpun disana kecuali sang Raden ayu Ratna yang akan membasuh tubuhnya di air sungai yang segar. Musim kemarau membuat kulit kuning langsatnya mudah sekali berkeringat. Balutan kain jarik putih dengan motif batik menghiasi tubuh Ratna ketika ia mulai melangkahkan kakinya keluar dari tandu. Wajahnya datar tanpa menatap apapun mulai melangkah diikuti para dayang astana yang selalu setia. Para penjaga membalikan tubuhnya untuk menjaga daerah sekitarnya.
Sentuhan batuan kerikil terasa pedih di telapak kaki Ratna yang halus. Namun kepedihan itu tak sebanding dengan kepedihan di hatinya. Langkahnya begitu pelan sehingga dayang-dayangnya meragu dan mencoba untuk membantunya menyusuri batuan terjal. Namun Ratna masih kuat berjalan dalam kesunyiannya.
Dalam kesunyian diiringi suara derasnya air sungai, Ratna berkata,” tinggalkan aku, aku akan mandi sendiri.”
Para dayang saling berpandangan, namun mereka menunduk dihadapan Ratna. Lalu berbalik meninggalkannya.
Kini Ratna sendirian, ia melanjutkan langkahnya dan tumitnya mulai terendam oleh permukaan air. Kakinya serasa digelitik oleh arus sungai yang pelan ketika ia mulai menanggalkan kain jariknya. Seketika kain jarik itu melorot dan kemolekan tubuh Ratna terpancar cahaya rembulan terang. Buah dadanya menggantung sempurna dan bulu halus selangkangannya tercukur rapi. Ia tidak mengijinkan para dayang untuk mencukur bulu-bulu selangkangannya itu, ia berpikir jika para dayang yang mencukur maka mereka akan tahu bahwa keperawanan sudah tak ada lagi di diri Ratna.
Semakin lama melangkah, tubuh Ratna semakin terendam. Sungai itu tak dalam, permukaan airnya hanya setinggi perut Ratna.
Ratna menyelam menenggelamkan sekujur tubuhnya. Di dalam air dengan arus ringan itu, kegelapan menghinggapi dirinya. Tak ada penerangan kecuali cahaya rembulan, dan cahayanya tak sanggup menembus permukaan air yang tertutup batuan. Sempat terpikir olehnya untuk mengakhiri semuanya disini. Di bawah permukaan air yang dingin ini. Jika itu terjadi, maka seluruh masalahnya akan berakhir, berikut dengan kehidupan kelamnya.
Ratna menahan nafasnya sepanjang mungkin. Gelembung udara menyuar di sekitar mulut dan hidungnya. Tubuh kuning langsatnya terlihat pucat di kedalaman air. Rambutnya tergerai terbawa arus air.
Mata Ratna mengamati dasar sungai. Ia menatap ikan-ikan kecil berenang melawan arus sungai yang cukup deras bagi mereka. Segerombolan ikan itu bergerak bersamaan dan ada beberapa yang terlontar terbawa arus sungai, tapi salah satu ikan yang terlontar itu tetap berenang menyusul kawanannya. Bersamaan dengan itu, nafas Ratna telah habis. Tenggorokannya terasa tercekik ketika ia belum sempat berpikir untuk menggali sebuah pelajaran dari ikan-ikan kecil itu. Lalu dengan sigap, ia menjejakan kakinya dan udara kembali mengisi paru-parunya.
Nafasnya terengah ketika paru-parunya memompa terlalu cepat. Matanya pedih karena terlalu lama berada di dalam air dan hidungnya terasa sesak kemasukan air.
Ratna menghembuskan nafas panjangnya. Sejenak ia berpikir tentang ikan-ikan yang tak kenal menyerah itu. Pribadinya yang keras membuatnya sadar, bahwa menyerah bukan hal yang ada didirinya. Ia harus menghadapi segala masalah yang ia hadapi, walau harga dirinya harus dipertaruhkan, bahkan kalau perlu nyawapun akan ia berikan.
Lalu Ratna berbalik dan melangkah ketepian. Di sekelilingnya, para penjaga masih membelakanginya. Ketika baru saja ia sampai ketepian, para dayang sudah menyambutnya dan menutupi tubuh Ratna untuk menyeringkannya.
Lalu arak-arakan itu kembali ke Astana.
###
Author Note :
Ini bukan kumcer(kumpulan cerita) ya? Author menulis per-part sesuai dengan sudut pandang masing-masing karakter. Agak susah dan membingungkan sih? Tpi lebih rapi seperti ini daripada harus ditulis, #authorpov, #anupov, #ratnapov, dll di atas naskah.
Peringatan!!! Jangan tanya kapan Ahras, Melanie,Saras atau alicia kapan keluarnya? Dua cerita sebelumnya sudah menampilkan mereka. Kini giliran yang lainnya. Hahahahahaahahahh peace^^v
Glosarium
Kedaton : kerajaan
Kadipaten : region
Prabu : Raja.
Raden : Sama halnya dengan tuan muda.
Raden Ajeng : Ratu
Raden ayu : tuan putri
Mangkubumi : perdana menteri
Tumenggung : pemimpin pasukan
jika ada yang kurang, tanya aja di coment... :) :) :)
Selamat menik dan mati!!!
Xixixixixixixxi