BAB 1

1142 Kata
Malam itu, adalah malam dari awal semuanya terjadi. Aku pikir semua itu akan baik-baik saja seperti biasanya, karena memang mereka, ayah dan ibuku, selalu bertengkar hebat semacam itu setiap hari, jadi kupikir itu akan berakhir seperti hari-hari kemarin. Tapi ternyata anggapanku salah. 100% salah. Karena malam itu, mereka sangat serius. Mereka ingin bercerai, pisah, dan menolak untuk tetap hidup bersama dalam satu rumah lagi. “Besok, aku akan mengemasi barang-barangku dan pergi dari rumah sialan ini!” teriak Ayah setelah melontarkan berbagai makian kasar pada ibu di ruang tamu dengan berdiri tegak dan dua bola mata melotot. Sementara ibu membalasnya dari kamar dengan duduk kesal di atas ranjang. “Kalau begitu cepatlah! Aku udah bosan melihat wajah menjengkelkanmu di rumah ini! Jangan lupa bawa anak-anak denganmu! Jangan semuanya dibebankan padaku!” “Apa maksudmu!? Bukankah kau yang paling dekat dengan mereka! Maka kau yang mengurus anak-anak! Aku tidak ingin mereka bersamaku! Aku tidak bisa hidup bersama anak-anak yang punya darah sialan dari wanita sepertimu!” Mendengar itu, Ibu sangat marah lalu keluar dari kamar, memarahi ayah dengan perkataan yang sangat buruk, dan juga teriakannya sangat kencang dari sebelumnya, bahkan aku mendengar suara tamparan keras dari dalam kamarku. Sepertinya kali ini ada kekerasan fisik di antara pertengkaran mereka. Aku benar-benar muak harus mendengar semua itu, karena seharusnya aku sekarang tidur lelap seperti adik laki-lakiku di kamar mereka masing-masing, tapi aku lagi-lagi terbangun oleh pertengkaran orang tuaku. “Arnold, mulai saat ini, kau harus menjaga adik-adikmu. Ibu akan pergi beberapa bulan untuk mencari pekerjaan, ayahmu sudah tidak ingin bertanggung jawab atas kita lagi, ibu harus mencari cara agar kita bisa hidup tanpa harus mengandalkan uang dari ayahmu lagi. Apa kau paham?” Keesokan harinya, di kala matahari masih belum begitu bersinar, ibu datang ke kamarku dengan mengenakan pakaian yang sangat rapi, dan suara yang begitu lembut, tangan kanannya mengusap-usap kepalaku seraya mengatakan perkataan itu dengan mata yang sembab. Aku hanya terdiam dalam sesaat, memandang wajah ibu dengan hening, sebelum akhirnya membuka mulutku untuk berbicara. “Apa yang terjadi?” “Tidak, semua baik-baik saja, sayang.” “Jangan membohongiku, apa yang terjadi? Apakah ayah pergi?” “Ya, dia telah pergi meninggalkan kita.” “Lalu, kenapa Ibu harus pergi juga? Aku tidak peduli apapun alasannya, tapi bisakah ibu memikirkannya kembali? Tolong, aku tidak ingin Matthew dan Kevin sedih karena ayah dan ibu pergi meninggalkan mereka.” Sayangnya, segala permohonan yang aku ucapkan sama sekali tidak didengar oleh ibu dan dia tetap pergi meninggalkanku, meninggalkan rumahnya sendiri yang dibangun bersama ayah, dan juga meninggalkan tiga anak lelakinya di sana. Aku sangat sadar, meskipun dia bilang hanya pergi beberapa bulan untuk mencari pekerjaan, tapi pada akhirnya dia tidak akan kembali lagi. Ibu dan ayah, mereka berdua telah menelantarkan darah dagingnya sendiri, dan itu benar-benar membuatku muak. Karena aku adalah anak tertua, usiaku 17 tahun, dan baru saja lulus dari SMA, aku bertanggung jawab atas kehidupan dua adik laki-lakiku agar setidaknya mereka bisa hidup normal meski tanpa ibu dan ayah. Di minggu siang itu, setelah ibu pergi di pagi harinya, aku masuk ke dalam kamar Matthew dan Kevin untuk menjelaskan apa yang terjadi pada mereka berdua. Matthew, adik pertamaku yang berusia 15 tahun, kelihatan tidak peduli, sementara Kevin, adik bungsuku yang berusia 13 tahun, menangis terisak mendengar kabar tersebut. Setelah itu, aku meminta Matthew dan Kevin untuk bersiap-siap karena sekarang, kami juga harus pergi dari rumah ini, tidak ada hal yang membuat kami harus terus bertahan di rumah busuk ini, kami bertiga harus melanjutkan hidup. Oleh sebab itulah, aku meminta mereka untuk ikut bersamaku ke rumah nenek, karena di sanalah kami akan memulai hidup baru. “Jadi begitulah situasinya, Nek. Aku harap Nenek tidak keberatan kami tinggal di rumahmu untuk sementara.” Sesampainya di sana, aku menjelaskan segala hal yang terjadi pada nenekku, dan dia terlihat sangat terkejut mendengar penjelasanku. Kemudian dia memeluk kami bertiga dan mengelus-elus kepala kami seraya mengatakan bahwa rumah ini adalah rumah kami juga, dia berkata tinggallah selama mungkin di sini karena ia sangat senang cucu-cucu kesayangannya tinggal di rumahnya. Aku tersenyum senang, setidaknya ada orang yang sangat baik di antara keluargaku dan aku benar-benar bersyukur memiliki nenek yang sangat penyayang. Keesokan harinya, aku sudah bersiap-siap dengan mengenakan pakaian yang rapi dan membawa sebuah dokumen riwayat hidupku, untuk mencari pekerjaan. Ketika aku sedang memakai sepatuku di teras rumah, nenek menemukanku dan terkejut melihat penampilanku. “Kamu mau kemana, Arnold? Pagi-pagi begini?” “Aku sudah besar, Nek. Aku harus cari pekerjaan.” Nenek sepertinya semakin terkejut mendengar jawabanku, entahlah, meski usia dan tubuhku sudah tinggi besar, dia masih saja menganggapku sebagai anak-anak yang tidak jauh berbeda dengan Matthew dan Kevin, dan mungkin dia tidak bisa membayangkan salah satu cucunya kini sudah mulai berpenampilan seperti layaknya pria dewasa. “Pekerjaan? Untuk apa? Bukankah kamu masih sekolah?” “Tahun lalu aku sudah lulus SMA, dan sekarang, sudah waktunya untukku memiliki pekerjaan, Nek.” “Kenapa kamu tidak melanjutkan pendidikanmu, Arnold?” “Aku tidak mau lagi merepotkan orang lain, Nek.” Setelah mengatakan itu, aku segera pamit pada nenek dan keluar dari halaman rumah itu, untuk memulai hidup yang segar. Aku berharap aku bisa mendapatkan pekerjaan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupku dan keluarga kecilku. Aku tersenyum saat mendapatkan sebuah petunjuk dari koran yang kutemukan di bangku pinggir jalan, disitu tertulis ada beberapa daftar lowongan pekerjaan dengan upah yang lumayan besar. Aku tergiur melihat jumlah nominalnya, dan segera kuingat-ingat alamat dari tempat-tempat yang membutuhkan pekerja tersebut. “Kau mau apa?” Sesampainya di depan sebuah gerbang dari pabrik otomotif, seorang satpam laki-laki bertubuh tambun dan berjenggot rimbun, berdiri dan mendekatiku dari balik gerbang, memelototiku seakan-akan aku adalah seorang pencuri. “Kudengar pabrik ini sedang membutuhkan pekerja baru, aku datang karena bersedia.” Mendengar omonganku, satpam itu memicingkan mataku, dan memandangiku dari bawah kaki sampai atas kepala, seolah-olah penampilanku sangat aneh di matanya. “Kau pencari kerja? Berikan dokumenmu, biar aku cek kelengkapannya dahulu.” Aku segera memberikan dokumen riwayat hidupku yang kupegang pada satpam laki-laki itu, dan membiarkan dia melihat dan membuka lembar demi lembar dokumenku, sementara aku hanya menunggu sambil berdiri tegak di depan gerbang. Beberapa menit kemudian, dia mengembalikan dokumenku dengan mata yang menyipit. “Ada yang belum lengkap,” kata satpam itu dengan suara yang berat. “Kau belum menyisipkan surat bukti kesehatanmu dari dokter.” Aku terkejut mendengarnya. “Begitu, ya. Apakah ada yang lain lagi, selain itu?” “Tidak, hanya itu saja.” Aku tersenyum lebar dan menganggukkan kepalaku. “Baiklah. Aku akan melengkapinya secepat mungkin. Terima kasih banyak, Pak.” Kemudian, aku segera bergegas untuk pergi ke rumah sakit, demi melengkapi dokumen riwayat hidupku agar memperoleh pekerjaan besar di pabrik tersebut. Aku sangat senang karena telah diberi peluang oleh satpam itu, jika dia tidak memberitahu kekurangan dari dokumenku, mungkin aku bisa ditolak mentah-mentah oleh pihak pabrik. Syukurlah, aku masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kelengkapan dari dokumenku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN