Vanya terbangun dari tidurnya karena dia mencium aroma masakan yang sangat enak. Dia terduduk di ranjang, melirik ke sampingnya ternyata Feli sudah bangun lebih dulu darinya. Vanya mengambil ponselnya untuk melihat jam berapa sekarang. Pukul 08.30, ternyata Vanya kesiangan, maklum karena hari ini weekend, Vanya tidak perlu bangun pagi-pagi. Vanya menyingkap selimutnya lalu beranjak ke kamar mandi.
Karena kamar mandinya bersebelahan dengan dapur, di sana dia melihat ibu dan Feli sedang memasak. Rupanya ibunya yang masak, pantas baunya sedap. Vanya sangat merindukan ini, masa dimana Vanya terbangun karena mencium aroma masakan sang ibu. Itu dulu sekali, saat Vanya masih bersekolah.
"Kalian masak apa?" Tanya Vanya, dia menaruh handuknya di leher, lalu dia mendekati meja. Di sana sudah ada ayam goreng serundeng, lalapan dan sambel.
"Wah, sepertinya enak sekali." Ucap Vanya yang hendak mencomot ayam goreng, namun tangannya di tepis ibunya.
"Jangan sentuh masakan mama kalau kau belum mandi, sana mandi dulu!" Perintah Ibu Vanya dengan tegas, anaknya itu bahkan belum cuci muka dan sikat gigi, tapi sudah main comot-comot saja.
Vanya mengerucutkan bibirnya, "Tapi Vanya lapar, Vanya makan dulu ya."
"Kau ini, mandi dulu baru boleh makan. Kau tidak lihat Feli? Dia sudah mandi, dan bantu mama masak. Sedangkan kau malah bangun siang dan tidak membantu mama sama sekali."
Vanya lemas, pagi-pagi sudah dapat omelan dari ibunya, "Ini weekend, Vanya sudah terbiasa bangun siang ma. Lagipula, Vanya lelah karena akhir-akhir ini banyak sekali pekerjaan."
Ibu Vanya menghela nafas, dia jadi merasa kasihan dengan anaknya. Vanya berusaha keras untuk membantunya melunasi hutang-hutangnya, "Ya sudah, kau mandi dulu. Ada hal yang ingin mama bicarakan denganmu."
Vanya mengangguk, dia lantas melanjutkan niatnya ke kamar mandi. Feli menaruh tempe goreng di meja.
"Fel, apa Vanya bekerja terlalu keras? Tante rasa, Vanya terlihat lebih kurus, berbeda saat terakhir kali tante bertemu dengan Vanya."
Ibu Vanya jelas masih ingat, sebelum Vanya merantau ke Jakarta, tubuh Vanya lebih berisi daripada yang sekarang. Tapi menurut Feli, tubuh Vanya yang sekarang justru proporsional, Vanya tidak gemuk, juga tidak kurus.
"Tante kan tau sendiri, Vanya itu pekerja keras. Vanya melakukan itu demi om dan tante, Vanya akan melakukan apa saja untuk kebahagiaan kalian."
Ibu Vanya mengangguk lemas, dalam hati dia ingin meminta maaf pada anaknya karena sudah banyak merepotkan nya. Gara-gara hutangnya pada rentenir, membuat Vanya harus merantau ke Jakarta untuk membantunya melunasi hutang-hutangnya.
"Bantu tante pindahan makanan ke sana ya." Ucap Ibu Vanya menunjuk pada ruang tamu.
Feli mengangguk, satu persatu dia membawa makanan ke ruang tamu.
Vanya keluar dari kamarnya, perutnya sudah sangat lapar minta diisi makanan. Vanya melihat orang tuanya, Feli, Leon dan juga Devan sudah berada di ruang tamu.
Sejak kapan Devan datang ke kontrakan? Kenapa Vanya tidak tau? Devan juga tidak memberitahu sebelumnya.
Vanya terdiam saat melihat keberadaan Devan di rumah.
"Ve, ayo kesini. Katanya kau lapar kan?" Ujar ibunya.
Dengan rasa kebingungannya, Vanya bergabung dengan mereka. Vanya masih menatap Devan yang juga tengah menatapnya. Devan tersenyum padanya, dia tau kalau Vanya pasti heran kenapa dia bisa ada di kontrakannya tanpa memberitahunya. Devan akan menjelaskannya nanti.
Setelah mereka selesai makan, Devan memulai percakapan, dia ingin meminta izin orang tua Vanya untuk mengajak Vanya pergi, "Om tante, apa boleh saya mengajak Vanya pergi?"
Vanya kaget saat Devan meminta izin pada orang tuanya untuk mengajaknya pergi. Apa sebenarnya yang Devan inginkan? Pertama, Devan datang ke kontrakannya tanpa memberitahunya, dan sekarang, laki-laki itu ingin mengajaknya pergi.
Ibu Vanya menyentuh tangan putrinya itu, "Gimana Ve, kau mau pergi dengan nak Devan atau tidak? Kalau kau ingin, mama sama ayah akan mengijinkan kalian."
Vanya menelan ludahnya sendiri, apa yang harus ia lakukan sekarang? Kalau Vanya tidak mau, dia tidak enak hati karena menolak ajakan Devan. Vanya menatap Feli, sahabatnya itu justru memberi kode Vanya untuk mau saja pergi dengan Devan. Leon sendiri, dia diam saja. Namun dalam hatinya, dia berharap Vanya tidak akan pergi.
Karena Feli duduk di dekat Vanya, dia membisikan sesuatu padanya, "Kau terima saja, ini kesempatanmu untuk membuat Devan jatuh cinta padamu, iya kan?"
Benar juga apa yang Feli katakan. Semakin Vanya dekat dengan Devan, semakin Vanya mudah untuk menjalin hubungan lebih dekat dan membuat Devan jatuh cinta padanya.
Vanya akhirnya mengangguk, Devan lega sekali.
"Kalau begitu, aku siap-siap dulu." Vanya berdiri dan pergi ke kamarnya.
Sedangkan Devan menunggunya di teras. Jujur Devan merasa panas ketika berada di dalam, tapi Devan tidak mau mengatakannya. Ia takut kalau Vanya dan keluarganya tersinggung dengan kata-katanya.
Beberapa menit, akhirnya Vanya selesai bersiap-siap. Dia dan Devan berpamitan untuk pergi ke luar.
Di dalam mobil, seperti biasa Devan fokus melihat jalanan, sedangkan Vanya fokus dengan jantungnya yang masih saja berdebat-debar saat berdua dengan Devan.
"Dev, bagaimana kau bisa ke kontrakan? Kau tidak memberitahuku sebelumnya." Vanya bertanya agar suasana tidak sepi, takutnya Devan bisa mendengar detak jantungnya.
"Aku memang sengaja, aku ingin memberimu kejutan."
Hati Vanya mencelus ketika Devan berkata dia ingin memberinya kejutan. Tapi untuk apa Devan melakukannya?
"Sebenarnya, kau bisa memberitahu ku dulu. Jadi, aku dan mama bisa menyiapkan makanan yang enak untukmu."
Vanya akui kalau makanan tadi sangatlah sederhana, tapi menurutnya itu lebih dari cukup. Tapi untuk Devan, dia mungkin tidak menyukainya. Karena di rumah Devan pasti menyediakan makanan yang lebih enak dan mahal.
"Masakan ibumu menurutku enak sekali. Dan aku juga bukan tipe laki-laki pemilih dalam hal makanan. Aku bisa makan apa saja yang penting bisa membuat kenyang."
Vanya mengangguk, "Kau belum memberitahuku kemana kita akan pergi kan?"
"Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat. Aku yakin kau pasti suka."
******
Leila mengendarai mobilnya sampai di depan rumah megah milik Devan. Rumah dengan gaya eropa, dinding yang terbuat dari marmer berwarna kuning keemasan. Leila berjalan melewati pintu layaknya seorang yang sudah terbiasa keluar masuk rumah itu. Wajar saja Leila berjalan seperti di rumah sendiri karena dia sudah sering bolak-balik berkunjung ke rumah keluarga tunangannya itu.
Di ruang keluarga, terlihat ibu Devan tengah membaca majalah di sofa. Leila lalu berjalan menghampiri calon mertuanya itu.
"Hai ma?" Leila menyapanya.
Ngomong-ngomong Leila itu sangat dekat dengan Ibu Devan, jadi dia memanggil calon ibu mertuanya dengan sebutan 'mama', namun berbeda dengan ayahnya Devan, Leila memanggilnya 'Om'. Keluarga Devan memang sudah sangat akrab, apalagi kedua orang tua masing-masing menjalin bisnis bersama-sama.
Ibu Devan mendongak, melihat calon mantu berdiri di dekatnya, dia balik menyapanya, "Leila, sini duduk."
Leila tersenyum tipis, "Tidak perlu ma, aku mau cari Devan. Dia ada di rumah kan ma?"
Seperti biasa, setiap Leila berkunjung ke rumah Devan, itu karena dia ingin bertemu Devan.
"Devan sudah pergi dari tadi pagi, mama kira dia pergi menemui mu."
Leila menggeleng, Devan bahkan tidak menghubunginya sama sekali. Sebenarnya kemana laki-laki itu pergi? Leila sudah mengirimi sms tapu tidak di balas, Leila juga sudah meneleponnya tapi tidak di angkat. Hari ini weekend, tidak mungkin Devan bekerja.
"Mama tidak menanyakan kemana Devan pergi?"
"Tidak, tapi mama mengira kalau Devan bertemu denganmu. Dia bahkan keluar pagi-pagi."
"Kalau begitu, aku pamit dulu ma."
Setelah mengatakan itu, Leila pergi begitu saja.
Ibu Devan menghela nafas, itu lah kenapa Ibu Devan kurang menyukai Leila. Leila sering bolak-balik berkunjung ke rumah Devan, hanya karena ingin bertemu Devan. Ketika Devan tidak ada, Leila pergi begitu saja. Leila tidak pernah berkunjung ke rumahnya hanya untuk sekedar mengobrol dengan ibunya Devan. Padahal ibu Devan ingin mengobrol banyak dengan calon menantunya, membahas apapun itu sepertinya menyenangkan.
Leila tidak tau harus mencari Devan di mana lagi, dia mengendarai mobil tapi tidak tau kemana arah tujuannya. Berulang kali dia melihat ponselnya, tapi tidak ada kabar apapun dari Devan. Karena kesal, Leila membanting ponselnya.
Leon sudah selesai mengemasi barangnya ke dalam tas, hari ini dia berniat untuk pulang ke rumahnya di Bogor. Dan kini dia tengah berdiri melamun di depan teras kontrakan. Ada hal yang membuatnya merasa ada yang kurang. Vanya, perempuan itu pergi dengan Devan sejak pagi, sudah siang tapi mereka belum pulang juga. Padahal Leon ingin sebelum dia pulang, dia bisa melihat Vanya untuk yang terakhir kali. Tapi mungkin mereka belum bisa pulang.
Feli yang baru pulang dari supermarket, dia melihat Leon di depan. Feli meletakkan barang belanjaannya di teras kontrakannya, lalu berjalan menghampiri Leon.
"Kau mau pulang sekarang?" Tanya Feli. Melihat tas berisi milik Leon di lantai, ia berpikir kalau Leon pasti akan pulang sekarang.
Leon mengangguk pelan, "Ya. Aku sudah harus pulang, orang tuaku menyuruhku untuk segera pulang. Ada banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan."
Sayang sekali Leon hanya tinggal selama satu malam disini. Padahal Feli ingin mengajak Leon untuk jalan-jalan berkeliling kota Jakarta. Kebetulan Leon juga membawa mobil kesini.
"Kau mau berangkat sekarang atau mau menunggu Vanya pulang?"
Leon menggelengkan kepalanya, "Sepertinya mereka tidak akan pulang sekarang, aku tidak bisa menunggu Vanya."
Feli melihat ada guratan kecewa di wajah Leon. Leon pasti berharap kalau Vanya ada disini untuk perpisahan. Entah kemana Devan membawa Vanya pergi, padahal mereka pergi sejak pagi, dan sekarang sudah siang.
Feli mengusap bahu Leon, "Leon, kalau kau mencintai Vanya, kenapa kau tidak mengatakan terus terang saja."
"Kenapa kau berbicara seperti itu?"
"Aku bisa melihat dari cara kau menatap Vanya, cara kau memperlakukan Vanya. Aku bisa merasakan ketulusan cintamu pada Vanya. Aku tau kalau kau juga cemburu saat Devan mengajak Vanya pergi, iya kan?"
Feli sudah paham kalau masalah seperti ini. Leon memang bersikap biasa saja, tapi hatinya, Feli yakin Leon tidak baik-baik saja. Leon mencintai Vanya, tapi dia tidak berani untuk mengungkapkan perasaanya.
"Aku tidak bisa berbohong kalau selama ini aku memang mencintai Vanya. Tapi kau tau kan? Vanya hanya menganggap ku sebagai sahabatnya, tidak lebih."
Leon juga takut jika dia mengutarakan isi hatinya kalau sebenarnya dia mencintai Vanya, hubungan mereka tidak akan nyaman seperti sekarang. Di antara mereka pasti akan ada yang merasa canggung. Leon tidak mau persahabatan mereka menjadi hancur karena perasaan mereka. Leon juga sadar kalau Vanya tidak pernah mencintainya. Leon tidak mau menanggung rasa sakit hati ketika cintanya tidak terbalaskan.
"Aku tau, tapi kau tidak boleh menyerah begitu saja. Kalau kau benar-benar mencintai Vanya, kau harus berjuang untuk cintamu itu. Selalu lakukan hal baik, lakukan hal yang membuat Vanya jatuh cinta padamu."
Leon mengangguk, sampai kapanpun cinta Leon pada Vanya tidak akan pernah berubah. Leon berjanji, dia segera pindah ke Jakarta dan memperjuangkan cintanya pada Vanya.
"Kalau begitu, aku pulang dulu ya."
Leon berjalan ke mobilnya bersama Feli.
Ibu Vanya terpogoh-pogoh menghampiri Leon dengan membawa ranjang berisi masakannya, "Leon, ini tante masak untukmu. Jangan lupa di makan ya."
Leon menerimanya, "Terima kasih tante."
"Leon, kau belum menghubungi Vanya? Katanya, Vanya akan mengantarkan mu pulang hari ini, tapi dia malah belum pulang."
"Mungkin Vanya sedang sibuk. Leon berangkat sekarang saja."
"Hati-hati di jalan."
Leon mengangguk, dia masuk ke dalam mobil dan kemudian pergi dari sana.
Tidak lama setelah Leon pulang, mobil hitam milik Devan sampai di depan kontrakan. Vanya buru-buru keluar dari mobil, dia kemudian masuk ke kontrakan orang tuanya. Vanya sudah berjanji untuk mengantarkan Leon pulang, semoga saja Leon belum pergi dari sini.
Namun, Vanya hanya melihat orang tuanya saja di kontrakan itu, "Ma, Leon kemana? Dia belum pulang ke Bogor kan?"
"Leon sudah pulang, belum lama juga, sekitar 15 menit yang lalu."
Vanya lemas, kenapa Leon tidak menunggunya pulang? Salah Vanya juga, harusnya tadi dia tidak pergi dengan Devan. Atau harusnya Vanya tidak lupa kalau Leon pulang hari ini.
"Leon sudah menunggumu, tapi kau belum pulang juga."
Vanya merasa bersalah karena sudah mengingkari janjinya. Vanya tidak berkata apa-apa lagi, dia keluar dengan raut wajah sedih dan lemas. Devan yang sedang berdiri di dekat mobil, mengernyitkan dahinya kala melihat Vanya yang terlihat tidak baik-baik saja.
"Kau kenapa? Ada masalah?"
"Leon sudah pergi. Ini semua salahku, padahal aku sudah berjanji akan mengantarkan Leon pulang."
Devan tidak tau kenapa Vanya bisa sesedih itu saat Leon pergi, dia merasa kalau Vanya mempunyai perasaan pada Leon.
"Seharusnya aku yang minta maaf, karena aku yang mengajakmu pergi."
"Ini bukan salahmu. Dev, aku mau istirahat dulu."
Devan mengelus lengan Vanya, Vanya sedikit tersentak, "Kau istirahat saja, aku akan pulang sekarang."
"Terima kasih sudah mengajakku jalan-jalan."
Devan mengangguk dan tersenyum tipis, dia kemudian mengemudi mobilnya dan pergi dari kontrakan Vanya.
Vanya menyeringai, pelan-pelan dia berhasil membuat Devan tertarik padanya. Vanya akan menunggu saat Devan mengemis-ngemis cinta padanya.
******