Vanya masih bingung apa yang harus dia lakukan. Jika Vanya memutuskan untuk mengundurkan diri, dimana lagi dia harus bekerja? Udah sukur ada perusahaan yang mau menerimanya sebagai karyawan. Kalau sampai keluar, apa yang akan ia katakan pada orang tuanya di kampung? Tidak mungkin Vanya memberitahu mereka alasan dia mengundurkan diri karena Vanya tidak ingin bertemu Devan. Lagipula, jika Vanya nganggur, darimana dia mendapatkan uang untuk makan sehari-hari? Membayar kontrakan? Vanya tidak mungkin mengandalkan Feli kan? Vanya dan Feli juga sama-sama merantau di Jakarta. Dia dan Feli sama-sama mempunyai tanggungan.
Tapi jika Vanya tidak keluar? Apa dia masih sanggup jika setiap hari harus bertemu dan melihat wajah laki-laki yang sangat ia benci. Melihat wajahnya saja, sudah membuat Vanya kembali mengingat masa itu.
"Kau tidak mungkin keluar gara-gara Devan kan? Kau tidak bisa memikirkan perasaanmu sendiri Ve, kau juga harus memikirkan bagimana perasaan orangtuamu di kampung. Mereka mengandalkan kau bekerja disini, berharap kau bekerja keras untuk membantu mereka. Kalau mereka tau kau keluar, kau pasti tau kan bagaimana kecewanya mereka?"
Vanya terdiam, hati dan egonya saling berlawanan. Tapi lagi-lagi Vanya teringat dengan kedua orang tuanya. Feli benar, dia tidak boleh egois. Vanya harus bisa melawan egonya, menerima kenyataan jika dia memang harus di pertemukan kembali dengan Devan.
"Aku tau. Aku memang harus berani melawan rasa trauma sama dia. Aku bukan lagi Vanya yang dulu, dan tidak boleh terlihat lemah di matanya."
Setidaknya, tidak seperti dulu. Lanjut Vanya dalam hati.
Feli mengembangkan bibirnya, dia senang melihat Vanya tidak menyerah begitu saja. Dengan begitu, Vanya tidak pasti bisa melawan rasa traumanya itu, "Aku akan selalu mendukungmu, kau harus ingat itu Ve."
Vanya mengangguk, dari jaman sekolah, Feli memang tidak pernah meninggalkan Vanya. Sampai sekarangpun mereka tidak bisa terpisahkan. Bahkan sampai sekarang, mereka pun memutuskan untuk merantau bersama dan kebetulan mereka bekerja di tempat yang sama pula. Hal itu membuat ikatan persahabatan mereka semakin erat.
"Terima kasih Feli."
******
Di dapur Vanya terlihat sedang mengaduk kopi s**u yang sengaja ia buat untuk menghilangkan rasa kantuknya. Baru jam 10 pagi, Vanya sudah mulai mengantuk dan terus-terusan menguap. Mungkin karena semalam dia tidak bisa tidur. Vanya bisa tidur nyenyak sekitar pukul 02.00 dini hari, dan terbangun pukul 05.00, itu artinya Vanya hanya tidur selama 3 jam saja.
Saat hendak berbalik menuju tempat kerjanya, Vanya tidak sengaja menabrak seseorang, untung saja kopinya tidak sampai tumpah.
"Maaf, saya tidak sengaja." Vanya membersihkan kopi yang sedikit mengenai pakaian orang tersebut.
"Vanya Anastasia."
Suara itu. Suara tegas nan dingin itu menyebutkan namanya. Vanya membeku saat mendongakkan kepalanya melihatnya, "Pak---?"
"Devan." ucap Devan.
"Pak Devan, saya--" ucap Vanya menundukkan kepalanya.
"Apa yang kau lakukan disini?"
Vanya terlihat gugup sekaligus canggung berhadapan langsung dengan Devan. Vanya bahkan tidak berani menatap matanya, karena dengan menatap matanya, Vanya selalu saja teringat dengan kejadian paling memalukan itu, "Saya mengantuk, jadi saya membuat kopi pak."
"Ya sudah, kau bisa kembali ke ruangan mu."
Vanya mengangguk, dengan jantung yang berdebar-debar, ia buru-buru pergi dari sana. Dia tidak mau masalah ini menjadi panjang. Dahi Devan saling bertautan, dia seperti mengenal perempuan itu. Namanya pun tidak asing di telinga Devan. Devan mengendik, mencoba untuk tidak mempermasalahkan itu.
Vanya duduk di kursinya, lalu menghembuskan nafasnya kasar. Tidak tau kenapa jantung Vanya berdebar begitu cepat saat berada di dekatnya tadi. Atau mungkin Vanya hanya takut kalau sampai Devan mengetahui identitasnya?
"Ve, kau kenapa? Ada masalah?" Tanya Feli yang melihat Vanya terlihat gusar.
"Tidak apa-apa, aku tidak apa-apa Fel. Hanya saja, aku tadi bertemu dengan Devan di pantry."
"Apa Devan tau kalau kau itu--" Feli menggantungkan kalimatnya.
"Tidak. Dia tau namaku Fel, tapi dia tidak tau identitas ku, dan semoga saja dia tidak mengetahui itu."
Vanya tidak tau apa yang harus ia lakukan kalau saja Devan tau siapa dia, asal-usulnya, dan Vanya akan semakin khawatir jika Devan tau dialah Vanya Anastasia, perempuan yang pernah Devan jadikan bahan taruhan dengan teman-temannya.
"Aku yakin, Devan tidak akan tau. Lihat? Kau banyak merubah penampilanmu Ve. Devan pasti tidak akan tau siapa kau sebenarnya." Feli mencoba memberikan Vanya ketenangan, dia tidak ingin Vanya terlalu khawatir karena itu justru akan membuat Devan curiga.
Vanya mengangguk, dia kembali fokus dengan pekerjaannya. Dia sedikit tenang mendengar perkataan Feli.
Sudah pukul 16.00, Feli sudah selesai dengan pekerjaannya. Dia bersiap-siap untuk pulang. Sedangkan Vanya masih saja sibuk dengan komputernya.
"Ve, kau belum selesai?"
"Belum, kau pulang saja dulu. Aku harus menyelesaikan ini lebih dulu." Ucap Vanya. Sebenarnya, itu bisa di lanjutkan besok, tapi Vanya itu tipe orang yang tidak suka menunda-nunda pekerjaan, jadi Vanya memutuskan untuk menyelesaikannya sekarang.
"Kau yakin? Kenapa tidak kau selesaikan besok saja?"
"Tidak Fel. Kau tau aku tidak suka menunda-nunda pekerjaan, lagipula tinggal sedikit lagi. Kau pulang saja." Ujar Vanya yang masih fokus mengetik.
Feli mengangguk, "Kalau begitu, aku pulang dulu. Ingat Ve, jangan pulang sampai malam, kau mengerti?"
"Hm. Hati-hati di jalan."
"Sip!"
Kini tinggal Vanya sendirian di sana, semua rekan kerja sudah pulang. Vanya sudah biasa dengan itu, dulu pun Vanya sering pulang larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannya. Vanya masih setia dengan pekerjaannya, sampai dia tidak sadar kalau sekarang sudah pukul 9 malam. Vanya mengetik kata-kata terakhir, sampai akhirnya semua sudah selesai. Vanya meregangkan otot-ototnya yang terlihat kaku, meremas-remas jari-jarinya yang kesemutan karena terlalu banyak mengetik.
Vanya melirik jam tangannya, "Jam 9 malam? Astaga, kenapa aku sampai tidak sadar kalau hari sudah malam?"
Vanya melihat sekelilingnya, sudah tidak ada lagi manusia yang tinggal kecuali dirinya. Dia kemudian menutup komputernya, dan merapikan map-map yang berantakan. Setelah itu dia beranjak dari sana. Saat Vanya melewati ruangan bosnya, dia menghentikan langkahnya saat melihat ruangan Devan yang lampunya masih menyala. Itu berarti Devan belum pulang juga.
Vanya terdiam memandang pintu ruangan itu, saat Vanya hendak melangkah mengetuk pintu, untuk mencari tau apa Devan memang belum pulang atau sudah, namun dia mengurungkan niatnya. Vanya tidak jadi, dia melanjutkan langkahnya untuk pergi dari sana. Namun bersamaan dengan itu pintu ruangan Devan terbuka. Devan keluar dari ruangannya dan melihat Vanya, "Anastasia?"
Otomatis. Langkah Vanya terhenti ketika suara tegas itu menyebutkan nama belakangnya. Vanya membalikkan badannya, "Ya? Bapak memanggil saya?"
"Ya, memang siapa lagi? Hanya kau yang ada disini. Apa kau melihat orang lain lagi?"
Vanya menggeleng pelan, memang tidak ada orang lain selain Vanya dan Devan. Namun saat Devan memanggilnya Anastasia, dia merasa kurang sreg karena tidak ada yang pernah memanggilnya Anastasia.
"Kau belum pulang?"
"Belum, tadi masih ada yang perlu saya kerjakan." Jawab Vanya menundukkan kepalanya.
Devan heran, kenapa perempuan di depannya ini selalu saja menunduk saat berhadapan dengannya, "Angkat wajahmu! Apa kau tidak tau, tidak sopan jika kau terus menunduk padahal sedang berbicara dengan atasannya."
"Maaf pak." Vanya mengangkat kepalanya, dan matanya kini bertemu dengan mata Devan.
"Kenapa kau selalu menunduk saat bertemu denganku? Kau takut?"
Vanya langsung menggeleng, "Tidak pak, maaf kalau sikap saya sudah menyinggung bapak."
"Lain kali, kau tak perlu menundukkan wajah saat berhadapan denganku. Kau tenang saja, saya tidak akan memakan mu." Devan tersenyum tipis.
Senyum itu, mengingatkan Vanya saat pertama kali Devan mendekatinya. Senyum tipis yang selalu Devan berikan, sudah sangat berarti untuk Vanya. Namun itu dulu, sudah lama sekali. Dan sekarang, senyum itu Vanya sudah tidak menginginkannya, justru Vanya membencinya.
"Kalau begitu, saya pulang duluan pak."
"Tunggu, kau mau saya antar? Sudah malam, tidak baik kalau perempuan pulang sendirian."
Vanya langsung menolaknya, "Tidak usah pak, saya pulang sendiri saja."
"Kau takut saya berbuat jahat padamu?"
"Tidak pak, bukan begitu. Saya--" Vanya terlihat gugup.
"Kau tenang saja, saya tidak akan berbuat jahat. Ayo, saya antar kamu pulang."
Devan melangkah lebih dulu di depan Vanya. Vanya bingung harus bagaimana, dia sudah menolak tapi Devan tetap memaksanya.
"Ayo! Apa kau tak mau pulang!" Ucap Devan yang melihat Vanya diam saja.
"I--iya pak." Vanya kemudian menyusul Devan, dia tidak punya pilihan lain lagi.
Sesampainya di parkiran, Vanya masuk ke dalam mobil milik Devan. Kemudian mobil itu melaju meninggalkan pelataran kantor.
Di dalam mobil, mereka saling diam. Mungkin Devan merasa biasa saja, berbanding terbalik dengan Vanya yang terlihat canggung. Setelah sekian lama dia tidak duduk si samping Devan, kini dia mengalaminya lagi. Namun dengan keadaan yang berbeda.
Semoga saja Devan tidak mendengar suara degup jantung Vanya. Ya, Vanya tidak suka dengan situasi yang seperti ini, jantungnya pun tidak bisa berkompromi.
"Dimana rumah mu?" Tanya Devan yang masih fokus menatap depan.
"Nanti ada pertigaan belok kanan pak." Ucap Vanya menunjukkan arah.
Diam lagi. Hanya itu percakapan mereka di sepanjang perjalanan, sampai akhirnya mereka sampai di depan kontrakan Vanya. Vanya melepas sabuk pengaman, sialnya Vanya tidak bisa, dia terlihat kesusahan membukanya.
"Kenapa?" Tanya Devan.
"Ini pak, sabuk pengamannya susah di buka."
Devan menggeser duduknya untuk lebih dekat dengan Vanya, dia menundukkan badannya membantu Vanya. Vanya terdiam saat tubuh Devan sangat dekat dengannya. Vanya dapat mencium wangi parfum Devan. Membuat jantung Vanya semakin tidak karuan.
Klik. Akhirnya Devan bisa melepas sabuk pengamannya. Devan kembali ke posisi semula, dia melihat Vanya yang masih tercengang, "Sudah bisa, kau bisa turun sekarang."
"Hah?" Saking deg-degannya, Vanya sampai lupa kalo sabuk pengaman itu sudah terlepas.
"Ah iya pak. Makasih sudah mengantar saya pulang, makasih juga sudah membantu saya melepaskan ini."
Devan mengangguk pelan, Vanya kemudian membuka pintu dan turun dari mobil. Setelah itu, Vanya menunggu mobil Devan melaju. Setelah mobil Devan sudah melaju jauh, Vanya memegang dadanya sendiri.
"Perasaan apa ini? Kenapa jantung ku berdebar-debar seperti ini?" Ucap Vanya pada dirinya sendiri. Dia lalu berjalan masuk ke dalam kontrakan.
Vanya membuka pintu, namun di kunci. Untung Vanya punya kunci cadangan, dia memasukkan kunci itu dan berhasil di buka. Vanya lalu masuk ke dalam.
Vanya meletakkan tasnya, lalu bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai, dia menuju kamar. Di sana Feli terlihat sudah tertidur, Vanya ikut merebahkan dirinya disana. Berhubung kontrakan mereka kecil, hanya ada satu kamar, satu kamar mandi, dan satu ruang tamu, Vanya dan Feli tidur satu kamar. Mereka sengaja memilih kontrakan yang apa adanya karena biaya kontrakan pun tidak terlalu mahal. Menurut mereka, mempunyai tempat tinggal di luar kota, walaupun kecil pun sudah cukup.
Pikiran Vanya melayang pada kejadian beberapa saat yang lalu, saat dia dan Devan begitu dekat sampai jantung Vanya berdebar-debar tidak karuan. Semoga saja ini terakhir kali mereka sedekat itu, Vanya tidak mau lagi. Vanya sudah melupakan laki-laki itu selama bertahun-tahun, Vanya tidak boleh jatuh cinta hanya karena Devan mau mengantarkannya pulang. Vanya tidak bodoh lagi, dia tau apa yang harus ia lakukan.
"Kau memikirkan Devan?" Ucap Feli yang tiba-tiba bangun dari tidurnya.
"Fel, maaf kalau aku mengganggu tidurmu."
Feli setengah duduk dan bersender di kepala ranjang, "Sebenarnya aku belum tidur, aku menunggumu pulang."
"Hah? Ku kira kau sudah tidur." Ucap Vanya.
"Kau tadi di antar Pak Devan kan?"
"Kau tau?"
"Hm, tadi aku mendengar suara mobil, jadi aku melihat dari jendela. Walaupun aku tidak melihat siapa orang yang mengantarmu, aku tau betul kalau itu mobil Devan."
Tadi siang, Feli tidak sengaja melihat Devan keluar dari mobil yang sama dengan mobil yang mengantar Vanya pulang, jadi dia tau kalau itu memang mobil Devan. Plat mobilnya pun sama.
"Sebenarnya aku sudah menolak Devan mengantarkan ku pulang, tapi dia memaksa. Aku tidak punya pilihan lain."
"Itu bagus Ve. Kalau kau pulang sendirian, itu justru lebih berbahaya. Setidaknya Devan berniat baik, daripada nanti kau kenapa-kenapa di jalan."
Vanya menghela nafas, benar juga. Tapi kalau Feli tau apa yang ia terjadi di mobil tadi, Feli pasti tau apa yang Vanya rasakan. Untung saja Devan tidak mendengar suara detak jantungnya yang berdegup kencang, kalau Devan sampai tau, Vanya pasti akan sangat malu.
"Ve, apa kau tidak bisa berdamai dengan masa lalu? Aku rasa, Devan sudah berubah."
Vanya tersenyum miring, "Aku tidak perduli Fel. Aku justru punya rencana yang sangat bagus."
Walaupun Devan sudah berubah, tetap saja Devan dulu pernah membuatnya sakit hati. Bahkan sakit itu masih membekas di hatinya sampai sekarang.
"Rencana? Maksudmu?"
"Aku akan membuat Devan jatuh cinta padaku, bertekuk lutut mengharapkan cinta ku. Saat dia sudah benar-benar jatuh cinta padaku, aku akan membuat dia merasakan apa yang aku rasakan dulu. Devan harus merasakan bagaimana rasanya di campakkan." Ucap Vanya menyeringai.
*******