Sore harinya setelah berbincang serius dengan Papa Lily, Maya menelepon salah satu koleganya berusaha mencari lowongan pekerjaan untuk anak gadisnya, berharap ia dapat membantu perekonomian keluarga.
Maya memilih untuk menelepon salah seorang sahabat karibnya semasa sekolah dulu, orang itu bernama Dina. Mereka berdua alumnus dari sekolah menengah atas yang sama dan juga alumnus dari perguruan tinggi yang sama pula.
Beberapa waktu lalu, Maya mendengar jika Dina telah menjadi salah seorang manager senior di salah satu bank swasta. Maka, tanpa ragu dia menekan nomor telepon wanita itu pada layar ponselnya.
Beberapa nada dering berbunyi, akhirnya telepon pun diangkat.
"Halo," sapa Dina dari ujung telepon.
"Halo, Din. Ini aku, Maya. Masih ingatkah?”
"Oh, Maya. Tentu aku ingat. Tumben kau meneleponku?"
"Iya, aku ingin meminta bantuanmu. Umm ... begini, apakah ada lowongan pekerjaan untuk Lily di kantormu?"
“Untuk sementara tidak ada lowongan di kantorku, maaf Maya. Oh ya, coba kuingat-ingat sebentar, sepertinya aku pernah diminta untuk mencarikan seorang guru privat. Oke, aku akan mengingatnya terlebih dahulu, setelah ingat aku akan meneleponmu kembali. Bagaimana?” ucap Dina.
“Baiklah, Din. Terima kasih,” jawab Maya penuh harap.
“Sama-sama, aku senang dapat membantu keluargamu. Aku akan mengabarimu segera.”
“Baik, aku tunggu, Din.”
Setelah percakapannya dengan Dina berakhir, Maya pun duduk termenung di sofa yang berada di ruang keluarganya. Dia berdoa di dalam hatinya, semoga untuk kali ini Lily benar-benar akan mendapatkan pekerjaan.
Lalu, Maya menaruh ponselnya pada nakas di samping sofa, kemudian dia berjalan ke arah kamar Lily, mengetuk pelan pintu kamar anak gadisnya seraya memanggil namanya.
“Lily, keluarlah. Ayo kita makan malam,” ajak Maya.
“Iya, Ma. Sebentar lagi aku keluar,” jawab Lily dari dalam kamar.
“Oke, Mama tunggu di ruang makan.”
“Iya, nanti aku ke ruang makan.”
Maya pun bergegas pergi ke ruang makan, meninggalkan Lily yang masih mengunci dirinya di dalam kamar. Saat Maya sedang sibuk menyiapkan makanan untuk makan malam, datanglah Lily yang berjalan perlahan dengan raut wajah kusut.
“Ya ampun, tampangmu kusut sekali. Kamu cuci muka dulu sana,” ucap Maya.
“Namanya saja orang habis bangun tidur, tampangnya pasti seperti inilah, Ma,” jawab Lily sambil menuangkan air minum ke dalam gelasnya.
“Ya, tapi tidak gitu juga. Sudah sana ke kamar mandi, bersihkan wajahmu.”
“Oke, Ma.” Lily berjalan meninggalkan ruang makan dan masuk ke dalam kamar mandi.
Selesai membasuh wajahnya, Lily kembali duduk di meja makan sambil menopang dagunya menggunakan kedua tangannya, memperhatikan sang mama yang sedang sibuk menuangkan makanan ke piring besar yang telah dia siapkan sedari tadi.
Tidak lama kemudian, ponsel Maya kembali berdering. Dengan sigap, wanita itu berjalan menuju ruang keluarga dan meraih ponselnya. Diangkatlah panggilan masuk yang berasal dari Dina.
“May, sebelumnya aku mau tahu, Lily mengambil jurusan apa waktu dia kuliah dulu?” tanya Dina.
“Dia kuliah Sastra Inggris, apa ada lowongan kerja untuknya?
“Ada, baru saja aku dikabari. Apa Lily bisa menjadi guru les privat seorang anak perempuan berusia enam tahun?”
“Sepertinya dia bisa, aku akan menyampaikan ini padanya. Setelah itu, aku akan mengabarimu. Terima kasih Dina untuk pertolonganmu.”
“Sama-sama, Maya. Aku senang dapat menolong keluargamu. Semoga pekerjaan ini cocok untuk Lily.”
“Semoga saja, aku sangat senang dan terharu.” Air mata mengalir membasahi wajah Maya, hatinya sangat terharu begitu mendengar kabar baik yang disampaikan oleh Dina, sahabatnya.
“Kau menangis, May?” tanya Dina penasaran.
“Sedikit, tangis bahagia.” Maya menyeka sisa-sisa air mata yang masih menggenangi kedua pelupuk matanya.
“Katakan padaku jika kau membutuhkan pertolongan, aku pasti akan berusaha untuk menolong semampuku.”
“Terima kasih, Dina. Ini sudah lebih dari cukup.”
“Baiklah, aku akan mengirim pesan w******p padamu, alamat rumah yang membutuhkan guru privat tersebut. Sampaikan salamku pada Lily. Bye.”
“Baiklah, bye Dina.”
Setelah menutup panggilan masuk dari Dina, dengan raut wajah bahagia, Maya berjalan menuju ke ruang makan tempat Lily duduk sambil menikmati makan malamnya bersama sang ayah.
“Lily,” panggil Maya seraya memeluk gadis itu dari belakang.
Lily merasa heran dengan tingkah laku mamanya yang secara tiba-tiba memeluknya dari belakang. Gadis itu menoleh menatap wajah mamanya.
“Ada apa, Ma? Sepertinya bahagia sekali,” tanya gadis itu penasaran.
“Ada lowongan pekerjaan untukmu dari sahabat Mama yang namanya Dina, kamu ingat?” jawab Maya.
“Oh, ingat. Dimana lowongan pekerjaannya, Ma?
“Jadi guru privat anak perempuan umur enam tahun, kamu bisa, kan? Andai tidak bisa coba dulu saja, siapa tahu itu langkah awal menuju tangga kesuksesanmu.”
Karena terkejut, Lily yang sedang menenggak air minum menjadi tersedak dan ia terbatuk-batuk. Maya yang panik segera mengelus lembut punggung anak perempuannya.
“Lily, makanya hati-hati kalau minum, tidak perlu tergesa-gesa gitu,” ujar Maya.
“Aku kaget Ma, bukan tergesa-gesa.”
“Kenapa kamu kaget?”
“Aku kaget ketika mendengar kata jadi guru privat. Gimana aku tidak kaget coba? Aku baru saja lulus dari jurusan Sastra Inggris, seumur-umur tidak pernah mengajar siapapun, paling-paling hanya segelintir teman yang aku ajari. Sekarang aku harus mengajar anak umur enam tahun, mana aku bisa?”
“Dicoba dulu saja Lily Sayang, besok pagi kamu datangi rumah yang mencari guru privat untuk anaknya itu. Oke?”
Dengan enggan Lily terpaksa mengiyakan permintaan mamanya, ia tidak ingin mengecewakan harapan orang tuanya yang telah berusaha mencarikan pekerjaan untuknya.
“Oke, Ma. Demi Papa dan Mama. Doakan saja semoga aku bisa menjalani pekerjaan ini dengan baik,” jawab Lily.
Malam itu, Lily dan kedua orang tuanya menikmati makan malam dengan santai sambil bersenda gurau, meski beban yang mereka miliki cukup berat.
Keesokan paginya, Lily bangun lebih awal. Tidak lupa, ia mengawali semuanya dengan doa. Lalu, ia berpamitan kepada papa dan mamanya.
Pagi itu, ia diantar oleh Stefan yang mengendarai mobil Innova Hitam keluaran tahun 2019. Pria itu duduk di teras rumah Lily sambil memainkan ponselnya. Stefan ini merupakan sahabat Lily yang dipertemukan pada saat kompetisi Bahasa Inggris.
“Van, ayo kita berangkat sekarang,” ajak Lily yang pagi itu mengenakan rok hitam selutut yang dipadupadankan dengan kemeja lengan pendek berwarna merah muda. Sepasang flat shoes hitam dan tote bag ikut mempercantik penampilannya hari itu.
Melihat penampilan Lily pagi itu, Stefan cukup terkejut. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga.
“Ini bener kamu, Ly?” tanyanya terkagum-kagum.
“Iyalah, memang kamu pikir siapa? Aneh-aneh saja. Ayo berangkat sekarang,” ajaknya untuk yang kedua kalinya.
“Ke mana tujuan kita?”
“Sebentar, aku lihat dulu alamatnya.”
Lily membuka tasnya dan meraih catatan kecil dari dalam, lalu membacanya dengan teliti.
“Perumahan Pondok Indah No. 18, Jakarta Selatan,” ucapnya singkat.
“Pondok Indah? Yakin kamu, Ly?”
“Kenapa memangnya?”
“Itu kawasan konglomerat, Ly. Astaga, masa kamu enggak tahu?”
“Aku tidak pernah memperhatikan hal seperti itu. Ayo cepat kita berangkat.”